Oleh GUS IMAMÂ
Dalam ranah pemerintahan modern, wacana menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) mengguncang kesadaran kolektif masyarakat. Sebagai salah satu instrumen paling efektif dalam memberantas korupsi, OTT tidak hanya menjadi simbol transparansi, tetapi juga representasi dari mekanisme pengawasan yang mampu menekan perilaku kleptokrasi dalam tubuh birokrasi. Namun, pertanyaan besar menyeruak: apakah gagasan menghapus OTT adalah lompatan ke depan menuju reformasi sistemik, atau justru langkah mundur ke dalam kubangan otoritarianisme terselubung?
Mereka yang mendukung wacana ini sering menggunakan narasi reformasi struktural, menyebutkan bahwa OTT hanyalah solusi temporer yang tidak menyentuh akar persoalan. Dalam pandangan ini, yang diperlukan adalah perbaikan tata kelola kelembagaan melalui teknologi mutakhir seperti blockchain auditing, sistem pelaporan berbasis artificial intelligence (AI), dan digitalisasi menyeluruh dalam birokrasi. Pendekatan ini, meski terdengar progresif, mengandung risiko melanggengkan status quo apabila tidak diiringi komitmen politik yang nyata. Tanpa tekanan langsung dari OTT, peluang bagi korupsi sistemik justru meningkat, tersembunyi di balik algoritma digital yang rumit.
Di sisi lain, mereka yang menolak penghapusan OTT berpendapat bahwa langkah ini menciptakan ruang moral hazard bagi para pemangku kekuasaan. OTT bukan hanya sarana pemberantasan korupsi; ia adalah peringatan keras bagi siapa saja yang berniat menyalahgunakan amanah publik. Dalam konteks ini, penghapusan OTT dapat dilihat sebagai kemunduran monumental, karena menghilangkan elemen pencegahan langsung dalam ekosistem antikorupsi.
OTT dan Peradaban Demokrasi
Korupsi adalah penyakit kronis yang tidak hanya merusak struktur ekonomi, tetapi juga menghancurkan legitimasi demokrasi. OTT hadir sebagai mekanisme untuk menjaga transparansi dalam ekosistem politik yang rentan. Dengan mengekspos perilaku koruptif di hadapan publik, OTT menegaskan bahwa hukum adalah entitas yang tidak pandang bulu. Wacana penghapusan OTT, oleh sebagian pihak, dipersepsikan sebagai upaya mengembalikan kekuasaan absolut kepada para elit, yang merasa terancam oleh pengawasan langsung ini.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa di balik narasi penghapusan OTT, ada risiko politisasi hukum. Tanpa OTT, bagaimana publik dapat memastikan bahwa hukum tetap berjalan di jalur yang benar? Apakah kita benar-benar percaya pada janji penguatan sistem tanpa adanya pengawasan langsung yang bersifat preventif dan korektif? Ini adalah dilema besar bagi sebuah bangsa yang sedang berjuang membangun demokrasi yang sehat.
Kemajuan Berbasis Teknologi atau Ilusi Reformasi?
Teknologi memang menjadi janji manis di era digitalisasi. Namun, mengandalkan teknologi tanpa pengawasan manusia yang ketat dapat menciptakan fenomena baru: korupsi berbasis teknologi (cyber corruption). Algoritma, sebagaimana manusia, dapat dimanipulasi. Sistem berbasis AI, meskipun canggih, tidak memiliki moral compass untuk membedakan antara yang etis dan tidak. Dalam kerangka ini, OTT tetap menjadi elemen penting, karena ia melibatkan dimensi manusia dalam mengungkap kejahatan korupsi yang sering kali terselubung.
Para pendukung penghapusan OTT sering mengklaim bahwa langkah ini akan memperkuat kepercayaan publik melalui reformasi struktural. Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana reformasi ini dapat dijamin berjalan tanpa pengawasan langsung? Dalam sejarah politik, reformasi yang tidak diiringi transparansi cenderung menjadi alat legitimasi kekuasaan untuk melanggengkan kontrol atas masyarakat.