Keteguhan dalam menjalankan ajaran agama (istiqamah fi iqomatuddin) adalah konsekuensi iman yang paling mendasar. Namun, fleksibilitas dalam metode dan pendekatan, yang relevan dengan konteks zaman, adalah bagian dari tuntutan sunnah. Sejarah umat Islam di Indonesia mengajarkan kita bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam bukanlah perkara rigiditas dogmatis, melainkan perjalanan dinamis yang terjalin dalam realitas sosial-politik.
Dalam konteks keindonesiaan, pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai wadah perjuangan umat Islam adalah hasil dari pilihan terbaik yang diambil melalui proses panjang ijtihad politik. Seperti halnya pendirian Negara Islam Indonesia (NII) pada masa lalu, NKRI juga dibangun atas fondasi semangat perjuangan umat Islam yang dirintis oleh para ulama. Tidak berlebihan jika kita menyebut HOS Cokroaminoto sebagai salah satu guru perjuangan yang menjadi titik temu sejarah NII dan NKRI.
Namun, sejarah mencatat bahwa takdir kemenangan berpihak pada NKRI. Dalam perspektif manhaj Ahlussunnah Wal Jama'ah, yang mengutamakan stabilitas, maslahat umat, dan kepatuhan kepada pemimpin yang sah, mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI adalah langkah yang sesuai dengan sunnah. Para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai representasi sawadul a'dhom umat Islam di Indonesia, telah sepakat bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah konsensus terbaik yang memungkinkan keberlangsungan dakwah dan kemaslahatan bersama.
Hal ini bukan berarti menghapus jejak perjuangan umat Islam di masa lalu, termasuk kontribusi NII dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebaliknya, pengakuan terhadap NKRI adalah bentuk penerimaan terhadap kenyataan bahwa Allah SWT telah memberikan izin kemenangan kepada negara ini sebagai wadah perjuangan umat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 286: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
Maka, menerima realitas NKRI bukanlah bentuk kompromi terhadap iman, melainkan langkah strategis untuk menjadikan negara ini sebagai wahana iqomatuddin. Pancasila, sebagai dasar negara, adalah hasil dari ijtihad politik ulama-ulama terdahulu, yang dengan cerdas merumuskan nilai-nilai universal Islam dalam konteks kebangsaan. Sila-sila dalam Pancasila, jika dihayati dan diamalkan dengan sungguh-sungguh, sejalan dengan maqashid syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Era mulkan jabariyah—kekuasaan yang cenderung absolut dan terpusat secara internasional—menjadi tantangan yang tidak terelakkan. Dalam situasi ini, sinergi antara umat Islam dan negara adalah kunci untuk menjaga eksistensi nilai-nilai Islam di tengah globalisasi yang sering kali mengikis identitas keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam di Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk aktif dalam membangun negeri ini, memastikan bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga menjadi pilar dalam setiap kebijakan publik dan dinamika sosial.
Bukan hal yang utopis untuk membayangkan terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur di Indonesia. Namun, visi ini hanya dapat dicapai jika umat Islam memosisikan iqomatuddin sebagai misi utama, motivasi, dan tujuan dari setiap aktivitas. Artinya, pengisian kemerdekaan dalam bingkai NKRI harus dilandasi oleh semangat memperjuangkan keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan keberlanjutan nilai-nilai Islam.
Di tengah derasnya arus perubahan global, tantangan terbesar bagi umat Islam adalah menjaga relevansi dakwah tanpa kehilangan substansi. Fleksibilitas metode yang tetap berpijak pada nilai-nilai dasar Islam adalah kunci untuk menghadapi dinamika zaman. NKRI, dengan segala keterbatasan dan peluangnya, adalah arena perjuangan yang Allah takdirkan untuk kita. Oleh karena itu, segala upaya yang dilakukan untuk memperbaiki, membangun, dan menjaga NKRI adalah bagian dari amal shalih yang dituntut oleh iman.
Kesimpulannya, keberhasilan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan tidak hanya akan menentukan nasib bangsa ini, tetapi juga menjadi penentu masa depan dakwah Islam di Indonesia. Dengan istiqamah dalam iqomatuddin dan fleksibilitas dalam strategi, kita dapat menjadikan NKRI sebagai negeri yang penuh berkah, keadilan, dan kemakmuran, sesuai dengan cita-cita para ulama dan pejuang kemerdekaan. Wallahu a’lam.
Gus Imam (21/11/2024)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H