oleh : GUS IMAM (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai instrumen fiskal pemerintah telah lama menjadi pilar utama dalam perekonomian Indonesia. Rencana untuk menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen memicu perdebatan yang tidak hanya berkutat pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi sosial, politik, dan bahkan agama. Kenaikan ini mengundang berbagai pertanyaan besar, khususnya mengenai dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan negara, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan program sosial. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat atau justru memperburuk ketimpangan sosial?
Peningkatan tarif PPN, meskipun terkesan kecil, memiliki dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Harga barang dan jasa akan mengalami lonjakan, yang tentu akan memperburuk daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah. Bagi sebagian besar masyarakat, beban yang ditimbulkan oleh kenaikan tarif PPN ini bisa sangat besar, karena banyak barang dan layanan yang mereka konsumsi sehari-hari akan menjadi lebih mahal. Dalam perspektif ekonomi, kenaikan tarif PPN dapat mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu motor penggerak perekonomian. Jika konsumsi berkurang, maka pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Oleh karena itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih dalam jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung peningkatan pendapatan riil masyarakat.
Namun, di balik kebijakan peningkatan PPN ini, ada peluang untuk memperluas basis pajak yang dapat memperbesar rasio pendapatan negara. Ekonomi digital, misalnya, adalah sektor yang berkembang pesat namun belum sepenuhnya terawasi dalam sistem perpajakan. Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan untuk mengenakan pajak pada sektor ini, sehingga potensi pendapatan negara dari pajak bisa lebih optimal. Namun, ini juga memerlukan peningkatan sistem administrasi yang lebih transparan dan efisien, serta pengawasan yang ketat agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapan pajak tersebut.
Dalam perspektif agama, kebijakan ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan penting. Islam, sebagai agama yang mengajarkan prinsip keadilan sosial, menggarisbawahi pentingnya pemerataan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya. Dalam konteks ini, kebijakan kenaikan PPN harus dilihat dari sudut pandang keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah: 286). Prinsip ini mengajarkan bahwa kebijakan ekonomi harus memperhatikan kapasitas individu dan kelompok dalam masyarakat. Jika kenaikan PPN justru memberatkan golongan masyarakat yang sudah terbebani, maka kebijakan ini bisa dipandang sebagai tidak adil.
Selain itu, dalam Islam juga ada konsep zakat, yang berkaitan dengan distribusi kekayaan dan penanggulangan kemiskinan. Zakat adalah kewajiban untuk membersihkan harta dan mendistribusikannya kepada mereka yang membutuhkan. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil tidak hanya berfokus pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga pada pencapaian tujuan sosial, yakni mengurangi kesenjangan sosial dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Jika kebijakan pajak ini tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan yang kurang mampu, maka kebijakan tersebut berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam.
Selanjutnya, dalam Islam terdapat konsep "ghisab", yaitu mengambil sesuatu secara tidak adil dari orang lain, yang berkaitan erat dengan perlakuan terhadap pajak yang memberatkan. Pajak yang dipungut secara tidak adil, yang membebani mereka yang tidak mampu, dapat dilihat sebagai bentuk pengambilan yang tidak sah. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan kenaikan pajak, khususnya PPN, tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara merata.
Bagi masyarakat, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menyiasati pengeluaran mereka agar tetap dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah lonjakan harga akibat kenaikan PPN. Mengedepankan prinsip konsumsi yang bijaksana, efisiensi dalam pengeluaran, dan perencanaan keuangan yang lebih matang menjadi kunci untuk bertahan dalam situasi ini. Dalam konteks ini, teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dalam mengelola keuangan mereka. Aplikasi perencanaan keuangan dan belanja, misalnya, dapat memberikan panduan praktis bagi masyarakat untuk mengatur pengeluaran, mencari produk yang lebih terjangkau, serta merencanakan investasi jangka panjang.
Namun, lebih dari sekadar adaptasi individu, kebijakan ini seharusnya memicu sebuah gerakan sosial politik yang mendorong perubahan. Masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek dari kebijakan pajak, tetapi harus menjadi subjek yang aktif dalam mengawasi dan menilai kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Gerakan sosial yang mendesak pemerintah untuk memperhatikan dampak sosial ekonomi dari setiap kebijakan akan mendorong terciptanya iklim pemerintahan yang lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Pada akhirnya, kebijakan kenaikan PPN ini seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali arah kebijakan fiskal negara. Harapan kita adalah agar kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada pencapaian angka-angka ekonomi semata, tetapi juga pada pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya mementingkan peningkatan pendapatan negara, tetapi juga mencerminkan komitmen untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Sebuah perubahan yang berkelanjutan dan inklusif hanya akan terwujud jika ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.