Mohon tunggu...
Imam  Yuwono
Imam Yuwono Mohon Tunggu... Dosen - Optimis dan kerja keras

kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, kerja ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikat Dosen dan Jurnal Ilmiah 'Bodong'

30 Agustus 2016   14:36 Diperbarui: 30 Agustus 2016   14:54 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paling tidak 10 tahun yang lalu sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 yang ditetapkan pada 30 Desember 2005, semua dosen wajib memiliki Sertifikasi Dosen (Serdos). Bagi dosen yang belum memperoleh sertifikat pendidik, maka pemerintah (untuk dosen PNS) atau Kopertis/Yayasan  (untuk dosen PTS) akan menjatuhkan sanksi kepada dosen yang bersangkutan dalam bentuk : 1) Dialihtugaskan pada pekerjaan tenaga kependidikan yang tidak mempersyaratkan kualifikasi dan kompetensi; 2) Dicabut segala tunjangan yang diberikan; dan 3) Diberhentikan dari jabatan dosen.

Hasilnya memang ampuh. Serdos “diburu” dosen. Institusi perguruan tinggi menyerukan kalimat lantang agar Dosen Tetap segera mengurus jabatan akademik sebagai syarat untuk mendapatkan serdos. Karena sertifikat pendidik tidak bisa diterbitkan begitu saja, maka Sertifikat untuk dosen akan diberikan setelah memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan Pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Serdos merupakan sebuah kewajiban sekaligus juga kehormatan sang dosen, selain akan memperoleh kehormatan, tunjangan juga menjadi haknya seorang dosen yang ber-serdos. Sebagai sebuah hak, boleh saja ditinggalkan oleh dosen yang bersangkutan. Tentu saja hal itu tidak mungkin. Tunjangan merupakan “tambahan” finansial, yang besarnya bervariasi tergantung jenjang kepangkatan akademiknya, mulai dari Asisten Ahli (dalam jabatan akademik terendah), Lektor, Lektor Kepala, sampai Guru Besar (Jabatan tertinggi). Oleh karena Serdos merupakan kewajiban, bukan berarti dosen yang tidak membutuhkan tunjangan, tidak perlu ikut Serdos. Serdos wajib, karena Serdos menjadi kualifikasi akademik dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Disinilah titik awal “perburuan” dosen untuk memperoleh Serdos. Karena Serdos mensyaratkan kualifikasi jenjang jabatan akademik minimal Asisten Ahli, dan salah satunya syarat pemenuhan jabatan akademik dalam bentuk angka kredit tersebut adalah karya publikasi ilmiah, maka dosen-dosen yang tinggal “terima beres” tanpa bersusah payah untuk menulis dalam jurnal, mencari terobosan dan kasak-kusuk untuk dapat secara “bimsalabim” namanya tercantum dalam Jurnal Ilmiah. Jurnal ilmiah yang dimasud tentu saja bukan jurnal ilmiah yang bereputasi apalagi terakreditasi, alias “jurnal ilmiah bodong”.

Daftar jurnal internasional dan nasional yang masuk daftar black list dan/atau perlu diklarifikasi sehingga tidak/belum dapat dinilai sebagai angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional dosen, menurut versi ITB yang dipublikasikan lewat lamannya, terdapat 6 jurnal nasional. Untuk jurnal internasional khususnya Academic Journal Publisher bidang Medical Sciences sebanyak 28 jurnal; bidang Social Sciences 9 jurnal; bidang Biological Sciences 25 jurnal; bidang Agricultural Sciences 11 jurnal; bidang Physical Sciences 9 jurnal; bidang Engineering 10 jurnal; bidang Arts And Education 15 jurnal; bidang Legal Studies 1 jurnal; Other Journals 3 jurnal. Euro journals Publisher terdapat 14 jurnal yang masuk dalam daftar black list yang perlu diklarifikasi. Untuk  Common Ground Publishing sebanyak 22 jurnal.

Dalam sebuah penelusuran yang dilakukan, untuk masuk dalam jurnal ilmiah dengan cara “bimsalabim”, ternyata tidak sulit. Seorang dosen yang memerlukan jasa tersebut tinggal menyerahkan nama, lengkap dengan nama perguruan tingginya, serta bidang ilmunya untuk menyempurnakan sebuah karya ilmiah yang akan dipublikasikan. Jadilah nama sang dosen muncul dalam jurnal. Soal harga memang relatif murah, antara 1 – 2 juta. Soal nomor terbitan, tidak usah khawatir, akan disesuaikan dengan kebutuhan. Soal  “bimsalabim” dalam jurnal ternyata bukan saja untuk Serdos, tetapi juga dimanfaatkan oleh “oknum” perguruan tinggi untuk melengkapi salah satu instrument dalam borang akreditasi yang terkait dengan Karya Publikasi Ilmiah dosen yang dimilikinya.

Yang membuat miris atas penerbitan jurnal ilmiah tersebut, justru karya tulis pesanan diambil dari karya-karya tulis orang lain yang bertebaran di website, baik berupa skripsi, thesis, disertasi atau jurnal ilmiah yang judul aslinya diubah sesuai pesanan,alias copy paste.

Untuk membuktikan dugaan tulisan  copy paste, penelusuran diteruskan secara mendalam. Dari tulisan jurnal yang telah diterbitkan oleh sebuah perguruan tinggi “nakal” tersebut, ternyata benar. Sebuah karya publikasi ilmiah seorang dosen, isinya sama persis dengan skripsi mahasiswa S.1 dari sebuah perguruan tinggi negeri. Judulnya mirip. Isinya plek sama Cuma dalam pembahasannya dibolak-balik urutannya. Tidak hanya itu. Setumpuk naskah siap terbit tanpa nama sudah menanti untuk “dipinang”. 

Dosen adalah sebuah profesi yang harus dilakukan secara profesional. Sama halnya dokter yang juga profesi, harus mempu menangani pasien secara profesional. Salah diagnosa, fatal akibatnya. Bagaimana dengan dosen? Jika sang dosen berperilaku demikian, mungkinkah dapat menghasilkan Insan yang Cerdas dan Kompetitief?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun