[caption id="" align="alignleft" width="318" caption="Jakarta International School"][/caption] Menyeruaknya kasus Kekerasan Seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) beberapa waktu silam mulai menunjukan titik terang. Meski diawal penyidikan pihak berwajib menunjuk hidung para tersangka dengan tuduhan ‘pelecehan seksual’, namun belakangan fakta berbicara sebaliknya. Para tersangka yang juga bekerja sebagai petugas kebersihan di sekolah tersebut, mulai berani untuk mengatakan kejadian yang sebenarnya Keempat terdakwa masing-masing Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zaenal Abidin, dan Syahrial didakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang perbuatan pidana secara bersama-sama juncto Pasal 64 KUHP ayat 1 tentang turut serta melakukan tindak pidana. Dalam sebuah berita di MetroTVnews.com, Syahrial yang merupakan satu dari lima terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur di lingkungan Taman Kanak-kanak Jakarta Internasional School (JIS), mengaku dizalimi. Ia bersama-sama terdakwa lain akan mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan yang disidik oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. "Kami semua mencabut BAP karena sama sekali tidak melakukan perbuatan ini. Semua fitnah, kita dizalimi," kata Syahrial usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya Nomor 133, Ciledug, Jakarta Selatan, Pada Rabu (27/8/2014). Para terdakwa mencabut BAP karena mereka tidak melakukan sodomi terhadap korban AK, siswa TK JIS, seperti yang dituduhkan dalam BAP. Para terdakwa mengaku mendapat pukulan dan siksaan pada saat penyidikan. Bahkan Robert Noviga, pengacara terdakwa Zainal, mengaku kaget atas pernyataan kliennya yang secara lisan disampaikan kepada majelis hakim dalam persidangan. Hasil visum medis menguak fakta dibalik BAP Babak baru perlawanan keempat petugas kebersihan (Cleaning Service) JIS dimulai, selain mereka merasa tak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan, hasil visum dari pihak medis turut melegakan mereka yang selama ini tertekan selama proses penyidikan. Kali ini Ahli Forensik dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI), dr Ferryal Basbeth SAF mengatakan fakta medis kasus tersebut lemah dan dipaksakan. "Dalam kasus pedofilia pelakunya hanya satu dan korbannya banyak, sementara dalam kasus JIS, korbannya satu pelakunya banyak. Sejak awal kasus ini muncul, alat buktinya lemah. Apalagi rekam medis yang telah ditunjukkan sejumlah saksi di persidangan tidak menunjukkan adanya sodomi," jelas Ferryal, Selasa (21/10/2014). Dari hasil pemeriksaan terhadap AK disimpulkan bahwa si anak tidak mengalami kekerasan seksual. Fakta medis tersebut bertolak belakang dengan cerita yang tertulis dalam BAP para terdakwa. Dalam BAP disebutkan selama periode Desember 2013-Maret 2014, AK (6th) siswa TK JIS diduga telah mengalami sodomi sebanyak 13 kali. "Dengan frekuensi sodomi sebanyak itu mustahil kondisi lubang pelepas korban masih normal. Saya sudah lihat hasil visumnya dan kasus ini cenderung dipaksakan, tidak ada fakta medis yang mendukung sodomi itu terjadi," jelasnya. Ferryal menambahkan, dengan fakta medis yang lemah kasus ini akan semakin sulit untuk dibuktikan. Menurutnya untuk membuktikan melalui tes DNA juga lebih sulit. Selain belum ada alatnya, pemeriksaan medis yang sudah dilakukan sudah jelas, tidak ada kerusakan pada lubang pelepas korban. Sebelumnya hasil visum RSCM terhadap MAK (6th), siswa TK JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, menunjukkan bahwa lubang pelepasnya dalam kondisi normal. Sementara dalam laporan yang tercatat di BAP Polisi, selama rentang waktu Desember 2013 - Maret 2014, MAK dikatakan mengalami tindak kekerasan seksual hingga 13 kali. "Logikanya jika seorang anak 6 tahun mengalami mengalami sodomi sebanyak 13 kali pasti ada bekas lukanya. Tapi hasil visum RSCM dan beberapa rumah sakit lainnya menunjukkan bahwa lubang anus korban tidak mengalami masalah. Makanya kesaksian dr Oktavinda hari ini akan menentukan nasib dan hidup para petugas kebersihan ini," jelas Patra M. Zen, pengacara Agun Iskandar dan Virgiawan Amin, kepada wartawan sebelum sidang, Senin (20/10). Baik hasil visum RSCM maupun RSPI, keduanya turut memperkuat laporan dari klinik SOS Media tanggal 22 Maret 2014. Dari hasil pemeriksaan terhadap MAK disimpulkan bahwa si anak tidak mengalami kekerasan seksual. Bahkan, dr Narain Punjabi, dokter yang pertama kali memeriksa MAK atas dugaan kasus kekerasan seksual, menegaskan dalam kesaksian sebelumnya bahwa korban MAK tidak pernah mengalami kekerasan seksual. Mengenai penyakit herpes yang diderita MAK, Narain Punjabi mengatakan bahwa penyakit tersebut sangat mungkin terjadi akibat kesalahan diagnosa. Makanya Narain menyarankan agar MAK kembali lagi dalam seminggu untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Namun hal itu tidak pernah dilakukan, sampai kasus ini meledak di media dan menempatkan lima pekerja kebersihan menjadi terdakwa. Sementara satu orang pekerja kebersihan JIS tewas saat proses penyidikan di Polda Metro Jaya. Mencermati kasus JIS Dalam kasus JIS ini, banyak hal yang patut dicermati. Berbagai kejanggalan yang terjadi diungkapkan oleh Patra M Zain, pengacara Agun dan Awan yang menjadi terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap AK, mantan siswa TK Jakarta International School (JIS), mempertanyakan hasil visum MAK yang dilakukan di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI). "Kalau visum RSCM, di berkasnya ada nama ahli yang memeriksa (yaitu) Oktavinda. Kalau RSPI, nggak ada," kata Patra seusai sidang, Rabu (22/10/2014). Menurut Patra, ada kejanggalan karena dokter RSPI yang memvisum MAK tidak diperiksa dalam BAP. Oleh karena itu, Patra tidak bisa mengkonfirmasi kebenaran dari hasil visum tersebut. Hal itu tidak seperti hasil visum dari SOS Medika dan RSCM. Dua dokter dari lembaga tersebut, dokter Narain (SOS Medika) dan dokter Oktavinda (RSCM), sudah dihadirkan dalam persidangan. Kejanggalan lain terkait visum dari RSPI, menurut Patra, adalah waktu dikeluarkannya hasil visum lebih dulu dari waktu pengajuan permohonan visum. "Biasanya kan ngajuin dulu baru keluar hasil visum. Ini waktunya, hasil visum dulu baru pengajuan visum," kata Patra. Kejanggalan lain yang sangat miris adalah pada proses penyidikan terdakwa yang diduga sarat intimidasi dan kekerasan, bahkan meyebabkan salah seorang tewas. Hingga hari ini, kepada media jpnn.com, para petugas Cleaning service (CS) yang menjadi terdakwa atas kasus tersebut masih kebingungan atas proses hukum yang dijalaninya. Saat berada di sel sementara Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (17/9) sambil menunggu sidang, keempat terdakwa masing-masing Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zaenal Abidin, dan Syahrial menceritakan kasus yang menimpanya. Awan mengaku kalau dia dan teman-temannya sampai kini tidak tahu kenapa menjadi kambing hitam dalam kasus JIS. ”Awalnya saya dijemput di rumah. Saya diminta membersihkan sekolah yang di Jalan Pattimura,” ulas Awan. Ternyata, bukan ke Jalan Pattimura, justru dibawa ke Polda Metro Jaya (PMJ), tepatnya di unit PPA. Setelah itu Awan ditinggal begitu saja. Setelah itu, Awan ditunjukan foto seorang anak seraya ditanya apakah Awan mengenal. ”Spontan saya langsung jawab tidak kenal karena memang tidak kenal,” aku Awan. Setelah itu, keempat temannya, termasuk Azwar yang dikabarkan meninggal dunia akibat bunuh diri, dihadirkan juga. Dan saat ditanya apakah selama proses penyidikan mereka mendapatkan kekerasan fisik, Awan membenarkan. Demi meyakinkan pernyataan itu, Awan meminta Agun, Zaenal dan Sjahrial untuk bergabung dan menceritakan semuanya. Lalu, mereka secara bergantian menceritakan pengalaman tragis mereka. ”Saya pernah ditonjok, disabet pakai selang bahkan ditodong pistol. Saya dipaksa mengaku kalau saya dan teman-teman inilah yang melakukan kejahatan,” jelas Awan. Dan, keterangan Awan diamini Zaenal yang mengaku sempat disundut rokok sampai disteples. ”Bahkan, saya dibanting seperti dismack down. Gara-gara itu, akhirnya saya jadi sulit bernafas,” ungkap Zaenal. Dan mereka menjelaskan selama melakukan penyiksaan, orang-orang yang diidentifikasi sebagai ’penyidik’ selalu menggunakan sarung tangan. Sementara, mata Zaenal dan kawan-kawan tiap kali diperlakukan kasar kerap ditutup lakban hitam. ”Semua ditutup pakai lakban. Apa memang proses penyidikan seperti itu,” tanya Zaenal. Tersangka lainnya, Agun menceritakan saat proses penyidikan dirinya sempat melawan karena dipaksa untuk mengakui kejahatan yang tak pernah mereka lakukan. Menurut Agun, selama bekerja di JIS dirinya tak pernah melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan tersebut. ”Saya sama sekali tak pernah melakukan seperti yang dituduhkan. Makanya kepada penyidik saya bilang, di sana saya cuma kerja, kerja dan kerja. Hidup saya sudah susah mas,” ujar Agun. Agun juga menjelaskan dirinya mengetahui proses meninggalnya Azwar meninggal. Dia menjelaskan saat itu azwar meninggal bukan karena bunuh diri. Agun menduga meninggalnya Azwar karena tidak kuat menerima siksaan. ”Saat itu saya melihat muka dia sudah lebam bahkan dari kupingnya terus menerus mengeluarkan darah,” ungkap Agun. Ia juga meyakini jika dirinya dan keempat rekannya saat ini tidak bersalah dan hanya menjadi tumbal. Menindaklajuti dari temuan tersebut, Komnas HAM juga akan melakukan investigasi dan membentuk tim khusus terkait dengan laporan tersebut," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, di Jakarta, Selasa (16/9/2014). Atas dasar fakta-fakta itu, Patra yakin jika kliennya tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. ”Yang jelas fakta yang ada tidak sesuai dengan berkas perkara,” tegas Patra. Senada dengan hal tersebut, Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Husein mengingatkan agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta diminta agar berhati-hati dalam menanggani kasus dugaan tindakan asusila di Jakarta International School (JIS). Husein mengatakan sebaiknya kejaksaan tidak memaksakan kasus tersebut jika memang bukti-buktinya lemah. Sebab kasus ini tidak hanya menjadi perhatian secara nasional, namun juga dunia internasional. "Sebaiknya kejaksaan tidak memaksakan kasus JIS ini ke fase penuntutan jika memang alat buktinya lemah. Kasus ini sangat sensitif, menjadi perhatian luas dunia international dan kredibilitas kejaksaan ikut dipertaruhkan," ujarnya di Jakarta pada 23 Oktober lalu. Halius melanjutkan, saat ini masyarakat juga mengharapkan adanya perubahan kinerja dari penegak hukum pasca pergantian kepemimpinan nasional. Untuk itu, kejaksaan jangan merusak citra dengan mengambil keputusan yang salah dalam kasus ini. "Kejaksaan harus berani mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya. Jangan sampai masyarakat yang tidak bersalah kemudian dihukum dengan bukti-bukti yang lemah atau bahkan tidak ada," katanya. Kecurigaan Patra bahwa ada rekayasa kasus dalam dugaan tindakan asusila di JIS ini, semakin menguat. Sebab, bersamaan dengan peristiwa dugaan kekerasan seksual ini, ibu korban MAK yang bernama Theresia Pipit Kroonen, istri seorang pekerja Philips Morris di Indonesia, juga menggugat JIS senilai US$ 125 juta atau hampir Rp 1,5 triliun. Wanita ini menyewa Andi Asrun dan OC Kaligis sebagai pengacaranya untuk bisa memenangkan gugatan yang sangat besar tersebut. Angka ini dinilasi sangat fantastis dan tidak masuk akal. Terkait dengan sidang sebelumnya, Menurut Patra, keterangan ibu korban MAK saat memberikan kesaksian di pengadilan pada sidang sebelumnya bertolak belakang dengan fakta yang terjadi pada korban. Dia mengungkapkan, ada dua fakta yang disampaikan ibu korban di persidangan dan sesuai BAP para terdakwa, yang tidak sesuai dengan kondisi korban sebenarnya. Patra sempat menunjukkan foto-foto itu pada persidangan pekan lalu. Itu guna mengantisipasi kesalahan persepsi. Pertama, setelah mengalami kekerasan seksual oleh Azwar, Syahrial dan Zainal pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 10.00 WIB, ibu korban mengatakan bahwa anaknya mengalami trauma berat pada tanggal 18-20 Maret 2014. Namun, berdasarkan foto di JIS tertanggal 20 Maret 2014 pukul 11.37 WIB, yang diajukan pengacara terdakwa kepada majelis hakim pada sidang 24 September lalu, memperlihatkan kondisi MAK tampak ceria sedang bermain dengan teman kelasnya. Menurut Patra, korban tidak mungkin bisa bermain dengan wajah ceria bila mengalami tindakan kekerasan. Apalagi unsur traumatik seperti yang disampaikan ibu korban sama sekali tidak terlihat dalam dokumen foto tersebut. Kejanggalan kedua, pada 21 Maret 2014 pukul 10.00 WIB, disebutkan bahwa korban MAK kembali mengalami kekerasan seksual oleh empat orang yaitu Azwar, Zainal Abidin, Virgiawan dan Syahrial. Akan tetapi, dari keterangan foto di JIS tertanggal 21 Maret pukul 11.37 WIB, MAK sedang bermain di dalam kelas dengan rona wajah gembira. “Sangat tidak masuk akal seorang anak yang mengalami kekerasan seksual bisa tersenyum ceria hanya 1 jam setelah kejadian. Kebenaran dari foto-foto yang kami sampaikan kepada majelis hakim dapat diverifikasi dan diuji forensik,” kata Patra. Sejatinya, hukum harus ditegakan seadil-adilnya. Bila melihat dari berbagai fakta yang terungkap, maka tidak selayaknya para petugas kebersihan tersebut diperlakukan sebagai pesakitan di meja hijau. Sebab kenyataan semakin memperkuat keyakinan bahwa kasus ini memang tidak pernah ada. Oleh : Imam Santoso Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H