Pada film dengan durasi yang jauh lebih pendek, seluruh rangkaian dijahit kembali. Disusun menjadi lebih pendek. Karena itu pada film dokumenter seperti ini jarang ditemui yang menggiring pada satu konklusi. Biasanya malah digantung, diserahkan kepada penonton untuk menafsir dan menyimpulkan.
Apakah lalu boleh ada yang terkaget dan melontarkan kesimpulan; jangan-jangan bukan Jessica pembunuhnya?
Boleh saja, jika mereka memandang ada hal yang menurutnya tidak masuk akal, ganjil dan secara hukum ada celah.
Ini sama halnya dengan pihak beseberang yang mengatakan bahwa seluruh fakta di film sudah jelas dan tidak terbantah. Karena mereka memandang seluruh argumentasi yang membawa kepada putusan hakim adalah benar.
Kita tidak perlu menyalahkan Netflix atau tim pembuat film. Kecuali jika ada data dan fakta yang diubah, diganti atau disalahgunakan. Itu berarti ada manipulasi kenyataan. Maka, silakan dibawa ke jalur hukum.
Sementara bila rangkaian atau plotnya tidak menyenangkan satu pihak, kita harus tetap menghargai proses kreatif yang mereka buat dalam proses pembuatan story line sebuah film. Selama tidak ada pemalsuan, atau pemutarbalikan, film tersebut punya hak untuk ditonton.
Di hari ulang tahun Jessica, ia dikadoi orang-orang yang sedang berseteru tentang peristiwa itu kembali. Hanya saja kelihatannya masyarakat pro dan kontra seimbang, ketimbang dulu saat menjelang ia divonis.
Apakah netizen khususnya yang empati pada Jesicca cukup kuat mendorong tim kuasa hukumnya untuk melakukan aksi penegakan hukum kembali? Tentu aja ini urusan lain. Bukan pula bagian dari misi film ini mengapa dibuat dan diputar.
Yang jelas sebuah film ada karena merupakan produk dari kemampuan nalar diolah dan kreativitas digunakan. Muatan pesannya kadang sampai mengubah cara berpikir seseorang dan membuka pandangan baru. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H