Mohon tunggu...
Imam Syafii
Imam Syafii Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Akuntansi Syari'ah IAIN Jember

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money

Halalkah Riba?

28 Februari 2019   05:31 Diperbarui: 28 Februari 2019   12:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

1. Pengertian riba
Secara bahasa riba berasal dari bahasa arab al-ziyadah (tambahan) atau al-nama (tumbuh), pertambahan disini bisa disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Secara istilah riba berarti mengambil tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Menurut Shaleh ibn Fauzan riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam. Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan, yaitu penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. (Idri, 2015: 181)

2. Sebab-sebab dilarangnya riba
Baik Al-qur'an maupun Hadits Nabi mengharamkan riba, bahkan dalam hadits nabi dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba seperti orang yang mentransaksikan, memakan, mewakili, dan mencatat, serta menjadi saksinya dilaknat oleh Rasulullah.
Menurut al-Farh al-razi, sebab diharamkannya riba yaitu sebagai berikut:

a). Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa ada imbalan.
b). Riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia mudah membiayai hidupnya cukup dengan bunga berjangka itu.
c). Jika riba dibolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walaupun bunganya sangat tinggi. Hal ini akan merusak tata hidup saling tolong-menolong, saling menghormati, dan sifat-sifat baik lainnya serta perasaan berhutang budi.
d). Dengan riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam menjadi semakin miskin. Sekiranya riba dibenarkan, orang kaya akan menindas orang miskin dengan cara ini.
e). Larangan riba sudah ditetapkan oleh nash. (Idri, 2015: 195)

3. Riba dalam Perspektif Hadits Nabi
Hadits-hadits yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. Misalnya hadits yang diriwayatka oleh Muslim yang artinya:

Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama salah.(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dijelaskan:

Dari Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, Jangan kalian jual beli emas dengan emas kecuali yang sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama. Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian. (HR. al-Bukhari). (Idri, 2015: 187)

Dari kedua hadits diatas dijelaskan bahwa jual beli dengan barang yang sejenis seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma harus dilakukan dengan ukuran, takaran, dan timbangan yang sama. Jika jual-beli (tukar-menukar) itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda, maka termasuk kategori riba, kecuali objek yang di perjual belikan berbeda, misalnya emas dengan perak, emas engan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda. Karena itu, tidak boleh jual beli satu dirham dengan dua dirham dan satu dinar dengan dua dinar, sebagaimana sabda Nabi:

Dari Utsman bin Affan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, janganlah kalian berjual beli saru dinar dengan dua dinar dan satu dirham dengan dua dirham. (HR. Muslim)

Di samping itu, Rasulullah mengutuk kepada orang-orang yang terlibat dalam riba baik yang memakannya, mewakili dalam transaksi riba, menulis atau menjadi saksinya. Rasulullah bersabda:

Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW mengutuk orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, orang yang mencatatnya, dan dua orang yang menjadi saksinya. Nabi bersabda, mereka itu sama (dosanya). (HR. Muslim). (Idri, 2015:190)

Hadits diatas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahaynya riba , sehingga digambarkan bahwa Rasulullah SAW melaknat seluruh perilaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya, maupun saksinya. Semua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW : Mereka semua adalah sama. 

Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para perilaku riba menggambarkan betapa mungkarnya perbuatan riba, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, tetapi keburukan tersebut membawa kemudaratan yang luar biasa, baik dalam skala individu bagi para pelakunya maupun masyarakat secara luas. Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan diri dari dari praktik riba dalam segenap aspek kehidupannya.

Sebagai penyakit sosial, riba tidak diharamkan sekaligus, melainkan melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar:
a). Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipat gandakan harta. Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang meraka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Allah menggambarkan pematahan paradigma mereka dalam QS. ar-Ruum: 39.
b). Tahap kedua dengan memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
c). Tahap ketiga: gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda. Lalu pada tahapan ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakternya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya.
d). Tahap keempat: Pengharaman segala bentuk dan macam riba . Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam hal ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Baqarah: 278-279:

Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dan riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (Harahap, 2015: 196)

Adapun beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh riba ataupun bunga menurut Muhammad SyafiI Antonio antara lain:

a). Dampak ekonomi, diantaranya dampak inflantoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. 

Dampak lainnya adalah bahwa dampak utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan. 

Contoh paling nyata adalah utang Negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang mengutang yang terus-menerus dan ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan yang structural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.

b). Dampak sosial kemasyarakatan, karena riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak riil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan (misalnya dua belas persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkan). (Fauzia, 2014:283).

Daftar Pustaka

Idri. 2015. Hadis Ekonomi Ekonomi dalam Perspektif Hadis Pertama. Jakarta: Kencana.
Harahap, Isnaini. 2015. Hadis Hadis Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Fauzia, Ika Yunia. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah. Jakarta: Kencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun