Seorang pengamat intelijen memprediksi bahwa PDI Perjuangan akan merobohkan sendiri bangunan politik mereka. Kemenangan pada pemilu 2015 (baca: naiknya Jokowi sebagai presiden) akan mereka tanggalkan sendiri.
“Mega sakit hati terhadap Jokowi karena dianggap menggagalkan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Kalau Mega sudah sakit hati, tak ada yang bisa dimaaafkan. Seorang SBY saja tidak diajak ngomong, apalagi seorang Jokowi bisa dihancurkan sendiri,” tegas Umar Abduh.
Bisa saja analisa ini menjadi benar adanya jika melihat rekam jejak prilaku politik Megawati yang jauh dari kata 'mendidik'. Banyak kejadian yang tidak diperlukan sama sekali keahlian meng-analisa prilaku sebagaimana Megawati yang per hari ini tidak mau sama sekali melakukan islah kepada SBY. Kehadiran Megawati pada upacara upacara di Istana saat perayaan hari kemerdekaan pun saat Jokowi yang menjadi presiden.
Bahkan konon trio kwek-kwek ( Rini Soemarno, Andi Widjajanto dan Luhut Panjaitan) pun dalam bidikan anak biologis Soekarno ini untuk dijadikan sasaran reshufle kabinet Kerja di awal semester 2015. Ketiga orang ini dianggap mbalelo karena tidak menghadiri kemeriahan hari ulang tahun Megawati di Teuku Umar.
Bisa dibayangkan dalam skenario yang dimungkinkan terjadi sesaat Komjen BG tidak jadi dilantik oleh Jokowi. Presiden ketujuh ini akan segera di 'dakwa' telah melakukan pembangkangan politik dalam pemerintahan bayangan yang dipimpin langsung oleh Megawati. Jokowi yang pada awal quick count di sinyalir mendapatkan nilai terpaut jauh dibawah Prabowo dan pengumpulan rekapitulasi yang dilakukan oleh aparat Polsek dimana TPS berada ter-arsip dengan rapi di Trunojoyo.
Hasil rekapitulasi inilah yang santer terdengar disebut sebagai kartu truf yang di genggam erat oleh BG. Dan Megawati pun menyadari adanya simbiosis yang harus terbangun secara mutualis. Apesnya Jokowi terlanjur menggunakan pendekatan terukur untuk screening seluruh jajaran elitis di pemerintahannya. Menggunakan KPK dan PPATK sebagai alat saring integritas dan kebersihan dari calon pejabat negara dilakukannya pada pemilihan menteri-menteri yang akan mengisi slot di Kabinet Kerja dan hal ini pun dituntut publik berlaku pada slot Kapolri dan Jaksa Agung. Dan konyolnya pula atas kemungkinan desakan dari stake holder kemenangan Jokowi di pilpres lalu membuatnya harus menarik kebijakan strategis dan sistimatis tersebut. Jaksa Agung lolos tanpa screening KPK dan PPATK. Tapi nanti dulu, publik mensyaratkan Cakapolri harus melalui ini.
Desakan publik yang kuat ternyata diabaikan oleh Jokowi, Komjen BG yang diajukan oleh Kompolnas diaminkan oleh Jokowi dan menyodorkannya ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Dasar begundal politik dan dipenuhi oleh manusia oportunis, Komjen BG pun dinyatakan layak jabat. Gegerlah publik saat sebelum dilakukan uji kelayakan dan kepatutan tersebut sesaat KPK mengumunkan BG sebagai tersangka untuk kasus gratifikasi.
Publik gaduh! Konstelasi politik menjadi berpendar tidak karuan. Jokowi pada titik ini mendapatkan benturan kenyataan pahit. Para penopang kemenangannya menagih kavling kekuasaan.
Dalam sebuah artikel menarik dari Ellen Maringka menyatakan diamnya Megawati di gaduh politik yang kian menunjukkan kebodohan dan jauhnya fatsun dari tauladan bangsa bak tukang photo (istilah dari tindakan perampokan yang didahului dengan menggambarkan sasaran yang akan dituju). Megawati yang sudah lazim terkenal dengan 'keheningannya' penulis baca sebagai penakut yang menunggu pulung. Wanita ini betul-betul membiarkan Indonesia menjadi riuh untuk hadiah yang kadung dia janjikan kepada upaya pemenangan PDI Perjuangan (baca: Jokowi sebagai presiden).
Analisa Umar Abduh kian mendekati kenyataan. Chaos atau kerusuhan yang kemudian dilabeli sebagai politik bumi hangus oleh Teuku Umar sejatinya sudah mulai menyeruak. Sesaat Prabowo dan Luhut yang memiliki rekaman militer dan kuat dengan kontra inteligen melakuan pertemuan tertutup. Sepertinya mereka mulai membuat skenario tandingan. Bagi penulis, Prabowo memilih untuk mencintai tanah airnya ketimbang hasratnya yang memang ternyata tumbang oleh realita.
AM Hendropriyono yang jauh-jauh hari memberikan tekanan moral kepada publik bahwa penundaan dan pembatalan pelantikan Komjen BG akan menjadi trigger untuk konflik horizontal antara Syiah dan Sunni (baca: Islam) dan bukanlah sebuah kebetulan belaka adanya penyerangan oleh sekelompok penganut ajaran sesat tersebut menyerang pemukiman dimana berdiamnya Ustadz Arifin Ilham.