Agak susah menterjemahkan arti dari 'pseudo' karena tergantung frasa dibelakangnya. Pseudo bisa saja diartikan sebagai 'fake' atau 'not real' dan juga 'semu'. Banyak sekali istilah yang menggunakan kosakata ini, misalnya: pseudoscience, sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah.
Penulis merasa 'tergelitik' untuk menuliskan tentang psedo ini karena ada sebuah postingan komentar dari sebuah artukel yang diunggah oleh kompasianer Nararya bahasan tentang buku karangan Stephen Hawking. Buku yang nyaris menjadi seperti kitab suci bahkan telah dituding oleh beberapa pihak termasuk Nararya sebagai kitab suci bagi penganut Ateisme.
Beberapa komentar yang masuk sangat beragam, namun satu komentar yang berhasil menarik minat penulis adalah ungkapan, "Anda itu lebih tepat disebut pseudo-ateis"
Wah, istilah yang menurut penulis menjadi sebuah olok-olok cerdas bagi mereka yang masih terombang-ambing antara membenci (salah satu) agama dan sekaligus cinta secara amuk kepada ateisme. Penulis telah berkali-kali menghardik dan mengumpati perangai kebanci-bancian tersebut. Yakinlah dengan segenap keyakinan dan jangan menjadi banci ditengah-tengahnya. Ateis abal-abal, begitu penulis melabelinya.
Namun penggunaan kosakata pseudo ini lebih mewakili sebuah fakta yang terunggah berulang kali di dalam banyak interaksi. Kepalsuan dan ketidaknyataan sikap dari seorang ateis yang seharusnya lebih memperlihatkan apatisme kepada peran Tuhan dan bukan berarti membenci peran Tuhan. Sikap kritis dan ketus jelas berbeda, ketus dan menghina lebih jelas lagi perbedaannya.
Pernyataan Hawking yang paling fenomenal adalah " God did not create Universe" dan tentu saja astrofisikawan ini tidak dengan bercanda mengungkapkan hal tersebut. Ungkapan did not create tersebut bagi penulis adalah sebuah sikap kritis yang bisa disinyalir sebagai penghinaan kepada eksistensi manusia. Bagaimana mungkin kita bisa memahami kita tercipta begitu saja dan mati lalu selesai? Dalam fisika saja ada pendekatan konsekwensi dan mana mungkin penciptaan alam semesta tidak mengarah kepada konsekwensi keterciptaannya?
Tapi sudahlah, mendiskusikan cara anut keyakinan dari ateisme ini bak menggambarkan keindahan alam di batang pohon pinus yang bergelombang penuh parut. Gambarkanlah sesuatu di bidang yang sekiranya akan bisa mengekspos sesuatu lebih detil dan mendekati realita.
Pseudo ateis adalah sebuah karakter yang kelam dan bisa diduga memiliki rekaman masa kecil yang buram. Pertanyaan-pertanyaan yang dicetuskan dalam sudut pandang polosnya anak manusia yang tidak mendapatkan jawaban yang semestinya atau mungkin saja prilaku semu dan penuh kepalsuan ini berangkat dari intimidasi orang-orang terdekat tentang nilai-nilai yang seharusnya humanis dan bening. Dugaan ini berangkat dari sikap-sikap antagonis dari pseudo ateis tersebut kepada satu agama saja. Kebencianya berusaha dikemas dalam bentuk apatisme dalam mencari kebenaran illahi.
Bahkan seorang Hawking bisa jadi meluapkan rasa 'dongkolnya' kepada Tuhan atas eksistensi dirinya yang brilyan dan memiliki IQ yang super jenius tapi terperangkap dalam disabilitas secara fisik. Padahal jika saja profesor ini mau berbagi ruang dengan satu kebenaran di dalam dirinya meskipun sebesar atom saja maka tidak mungkin pria ini mulai bisa menerika kenyataan yang dia terima. Subtitusi atau anggaplah sebuah kompensasi yang langka yang diberikan Tuhan kepadanya seharusnya membuatnya bisa lebih 'merapat' kepada Penciptanya ketimbang malah menjauhi 'partikel-partikel' dari wujud kebesaran Tuhan yang sebenarnya bersemayam didalam dirinya.
Sungguh, membenci Tuhan dan berlaku bak untuk mengingkari kuasa Tuhan adalah sebuah lakon yang melelahkan di jagat ini.