Setya Novanto sudah mundur. Berarti tujuan dari kelompok KIH sudah setengah jalan, tinggal mendongkel Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Jika kedua orang ini mundur, selesai sudah perjuangan kelompok yang merasa berhak atas Gedung Rakyat. Jusuf Kalla tidur pulas dan Jokowi sekarang menghabiskan waktu untuk melihat bacotnya Sule ngomong sembarangan dan plesetan-plesetan dari Cak Lontong. Indah sekali!
Konstelasi bintang seharusnya indah dipandang mata dimalam hari. Ada rasi Libra, Sagitarius, Cancer, Aries dan melihat galaksi Bima Sakti yang semburat seperti taburan intan.
Tapi konstelasi yang terjadi di Indonesia naga-naganya tidaklah seindah taburan bintang di langit. Bintang-bintang di Senayan, Teuku Umar dan Istana Kepresidenan lebih memerihkan mata. Luhut Panjaitan mungkin merasa tidak perlu lagi respek kepada saudagar dari Makasar itu. Senioritas tidak berlaku bagi pedagang. Di otaknya hanya ada fulus dan fulus.
Sudirman Said merasa kartel abang yang di bangun dengan sepenuh hati seperti re-charge dan reborn setelah sempat terganggu sebentar oleh kasak-kusuk Faisal Basri yang genit-genit penyanyi dangdut koplo. Mana mungkin Ari Sumarno melepaskan jaring ikan yang bisa menyauk ikan bawal, ikan kakap dan tenggiri untuk dibakar dibelakang rumah mewahnya sambil bernyanyi rian dengan para pengamen pinggir jalan. Cukup dibayar 500 ribu sudah sempoyongan para anak muda dengan dandanan ala kadarnya.
Jokowi masih terbahak-bahak dengan lelucon Sule dan mengalahkan terbahak-bahaknya dengan lelucon MKD kemaren hari. Tengkorak kepalanya saat ini sudah terisi oksigen kembali setelah sekian lama berusaha menghilang sisa-sisa asap kebakaran hutan yang terperangkap di kepalanya. Apalagi ternyata setelah sempat duduk-duduk dengan Suku Anak Dalam ternyata membuat komunal nomaden ini menjadi bambung dan merasa jagoan di Merangin Jambi. Mereka mengajak ribut tetangga hidup mereka selama ini. Asap hanya memerihkan mata, begitu logikanya.
Kaum elitis ini lupa sensasi dunia dimana harga minyak mentah semakin terperosok dan dollar tetap dikisaran 14 ribuan. Tidak menjadi atensi mereka karena saat ini tengah sharing hasil kemenangan yang tertunda kemaren.
Rakyat tetap menjadi pesakitan. Rakyat tetap terpinggirkan. Mereka hanya menjadi kapital disaat pemilu dan menjadi buih ketika tahta telah ditangan. Mempercayai keinginan luhur kaum elitis tersebut membangun Indonesia seperti melihat anak-anak ceria yang membangun istana pasir di tepian pantai. Membangun dengan canda dan menafikan bencana yang mengintai sejauh mata memandang.
Lihatlah, lihat dunia sekitar ketika median mainstream telah menjadi sundal yang sibuk dengan kapitalnya. Fungsi pewarta telah mereka kooptasi dengan kepentingan pemilik modal. Isi gelas kaca semakin membuat mual perut dan menjauhkan rakyat dari ingatannya guna menagih obral janji mereka. Boro-boro membangun, hutang kian membengkak yang membuat pak Tua yang sudah istirahat di Imogiri dulu menjadi bulan-bulanan karena hanya mewarisi hutang buat anak cucu kita. Memang tabiat kaum elit bermain muka. Muka srigala dan muka domba, tergantung hari ini ber-agenda apa.
Rakyat kian menggemis dinegerinya sendiri. Saat mereka merubung mengadu para pemiliki modal media membungkamnya. Mereka lebih suka menyibukkan diri membela sesama. Yang satu menuduh yang lain dan yang lain menuduh satu yang lain. Tidak terbersit keinginan mereka membuka mata rakyat mengapa harga belum terjangkau dan tangisan anak kekurangan susu formula.
Dinamika setelah ketua Dewan berganti rupa adalah gaduh bertabuh-tabuh dan kaum topeng monyet di Kompasiana akan semakin riuh menjauh dari harapan rakyat yang menuntut para pemimpinnya. Sihir telah digunakan dan tersungkurlah mereka dengan muka sederhana dan kesukaannya menyederhanakan masalah pelik yang melanda.
Semoga Tuhan senantiasa memberikan matahari, rembulan, air hujan, angin dan indra yang membuat asa tetap terjaga.