Beberapa kali tayangan teve swaste mempertontonkan masyarakat marginal yang ada di kantong-kantong pemukiman kumuh dan sederhana yang sebelumnya (baca: era Jokowi jadi gubernur) dijadikan etelase keberpihakan negara kepada rakyatnya menyadari bahwa kebijakan A Hok yang elitis alias hanya merepresentasikan keberpihakan negara atau pemerintahan daerah kepada kaum jet-set dan mapan saja. Selebihnya adalah tontonan garing versi "pemda DKI" yang menggunakan Youtube untuk mengunggah sinetron para peranakan cina meminta pertolongan ke A Hok dan beberapa warga yang merasa tidak mendapatkan perlakuan tidak adil. Sekilas dramatis namun selanjutnya menjadi terasa bahwa pemerintahan A Hok memang tidak berjalan semestinya.
Beberapa kali dalam video norak tersebut terlihat A Hok dengan pede dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja, akan dia bereskan sementara sambil memecat sana-sini aparat yang sekiranya melanggar ketentuan yang ada. A Hok lebih mempertontonkan rasa takut ketimbang keberanian.
Ketakutan A HOk ini pada akhirnya menggelinding menjadi fase distrust dari pemimpin kepada jajaran bawahannya. Pembaca bisa membayangkan betapa sinergitas dan koneksitas antara gubernur dengan segenap perangkatnya hanya diselimuti kalimat, "banyak bajingan dan maling di dalam aparatur pemerintahan saya".
Asli ungkapan sinis yang sama sekali tidak menunjukkan kekuatan seorang pemimpin mengorganisir dan menyusus sistim kerja yang padu dan terbangun landasan filosofi saling mempercayai. SIkap paranoid ini pada akhirnya di pungkasi dengan tidak maunya sang petahana mengambil cuti di masa kampanye nanti karena begitu kuatnya syak wasangka kepada siapa saja. HIngga para camat-camat pun tidak memiliki arti dimata A Hok. Dia berfikir disaat-saat dirinya cuti akan menjadi momen krusial dimana para pembenci dirinya akan menggunakannya untuk merusak "bangunan" prestasi yang pernah dia capai.
Profil karakter dan kebijakan A Hok yang berlandaskan prasangka buruk dan menghilangkan peluang saling mempercayai antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya membuat masyarakat akhirnya membangunan tembok pemisah, antara si lalim yang penuh prasangka dan para tertindas yang menjadi obyek tudingan miring sang penguasa.Â
Di mulai dari camat hingga para pengelola lingkup sosial seperti RT/RW. Gerakan 3 Juta KTP Tolak A Hok adalah gerakan yang merepresentasikan gerakan membalikkan bangunan citra yang pernah dibangun para penggiat gerakan elitis menindas marginal berjudul Sejuta Dukungan buat A Hok. Gerakan perlawanan ini mulai menggeliat dan membangunkan persepsi baru bahwa A Hok bukanlah sosok yang diinginkan oleh DKI Jakarta. Gerakan yang menunjukkan bahwa persepsi yang penuh muslihat dan rekayasa sejumlah kecil para pengusung A Hok ini lebih kental dengan nuasan SARA.
Silahkan protes asumsi dan anggapan miring ini namun susah dipungkiri A Hok hanya akan di usung oleh para peranakan cina yang memiliki KTP Jakarta dan diupayakan sedemikian rupa memiliki KTP DKI Jakarta as soon as possible. Kita tidak akan menolak bahwa membuat KTP sehari jadi adalah hal yang sederhana di ibukota. Para minoritas ini menginginkan Jakarta yang  ramah investasi dan hedonisme. Mereka mendukung penggusuran di beberapa tempat yang sekiranya membuat view landskap beberapa bisnis properti premium menjadi buruk pandangan.
Namun entah karena perlawanan sosial yang dilakukan oleh kaum marginal dan kelompok mayoritas yang malahan sekarang jadi obyek tindasan mendadak proyek penggusuran oleh Pemda DKI Jakarta mendadak mandeg dan tidak berkesinambungan. Takutkah Anda wahai Sang Tiran?
Entah Megawati sedang berhitung dengan kontestasi besar di tahun 2019 yang tetap berharap kaum marginal (baca: wong cilik) akan menjadi sumber raihan suara bagi partai banteng bermoncong putih itu? Yang terasa anak biologis Bung Karno ini sangat kalkulatif dan berhati-hati. Desakan di anak cabang dan ranting dari partainya untuk segera meruntuhkan arogansi A Hok di kontestasi 2017 menjadi hal yang sangat dilematis. Pun dengan polah A Hok yang oportunis dan mencla-mencle menjadikan Megawati belum juga menjatuhkan jangkar politiknya.
Beberapa parpol yang pragmatis menangkap peluang kevakuman trias politica pasca hilangnya sinergi antara eksekutif dan legislatif membuat mereka mendapatkan momen yang krusial yakni memenangkan DKI Jakarta. Rakyat sebagai stake holder terpenting dari semua ini cenderung menjadi tunggangan gratis saja. Tapi apapun itu, rakyat marginal yang populasinya melebihi jumlah para taipan papan atas, taukeh Glodok atau Mangga Dua dan beberapa ornamen golongan minoritas menjadi sebuah pertunjukan yang mempertaruhkan nilai dasar demokrasi yakni Vox Populi Vox Dei. Apakah rasa sakit hati "diludahin" oleh A Hok menjadi seharga ratusan ribu rupiah oleh serangan politik uang. Mereka yang minoritas tersebut adalah kaum tajir yang memiliki dana tidak berseri. Mass media telah mereka beli, dunia maya adalah rumah mereka.
Selamat datang SARA, Kamu kami rindukan!