[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Prabowo Subiyanto /Kompasiana (kompas.com) "][/caption] Ketimbang Jokowi yang ndak pernah mikir dan lebih kental nuansa selebritas media nama Prabowo Subianto lebih patut untuk dikedepankan menjadi proposal bangsa Indonesia memperbaiki diri. Melihat gestur media massa yang secara massive dan sistemik 'memasarkan' Jokowi patut mempertimbangkan latarbelakang kehadiran tim-tim siluman (di twitter, facebook dan instagram) dan tim-tim resmi seperti Jasmev, Kompas (bahkan Kompasiana), Detik dan beberapa media online lainnya yang tiada henti selalu meletakkan Jokowi sebagai obyek pemberitaan. Jokowi lebih kurang menjadi Farhat Abbas dalam konteks lain. Tidak kurang dan tidak lebih. Menimbang Prabowo Subianto sebagai figur pemimpin bangsa lebih patut untuk mulai ditelisik. Perihal tim Mawar yang dituding melakukan 'pembungkaman' terhadap aktifis pro demokrasi (katanya) adalah juga bentuk negative campaign. Dan sah-sah saja seteru politik Prabowo untuk melakukan itu. Namun apakah betul hanya dengan cerita tahun 1998-an tersebut membuat Gerindra dan Prabowo tersingkir dari panggung besar bernama Indonesia? Konstelasi dari sejumlah partai yang mendulang suara versi quick count semakin dinamis. Dinamika para ketua partai pun mulai menyiratkan betapa latar belakang dan track record akan tetap masih harus disuarakan. Rekam jejak Jokowi yang hanya sekedar blusukan, masuk gorong-gorong kota dan memamerkan ekspresi ndak pernah mikir ini membuat sebagian besar rakyat pemilih meragukannya untuk disorongkan sebagai alternatif anak bangsa yang kelak memimpin negeri. Latar belakangnya yang kerap meninggalkan tanggung jawab membuat persepsi publik (popular vote) cenderung meninggalkannya. Silau media tidak serta merta menjadikan Jokowi kinclong didepan publik. Para pemilih telah menjatuhkan palunya, penghakiman telah diberikan. Jokowi tidak memberikan konstribusi signifikan. Pergerakan perolehan suara PDI Perjuangan versi beberapa lembaga survei menyiratkan betapa efek dari kemilau Jokowi tidak banyak membantu. Slogan Jokowi Yes dan PDI- P No tidak terkorelasi penuh atas fenomena raihan partai banteng bercongor putih tersebut. Lain hal dengan peraihan suara Gerindra. Partai bersimbolkan garuda emas ini malahan melejit dan melesat jauh. Bahkan Demokrat pun disalibnya. Apakah figur Prabowo yang memberikan dampak positif tersebut? Tentu saja tidak bisa diingkari bahwa sosok putra dari Begawan Ekonomi Pro Kerakyatan ini memberikan konstribusi positif terlepas negative campaign yang dilancarkan membuat riak-riak kecil menerpa biduk partai dan satu-satunya partai yang mensosialisasikan program-program pada masa kampanye. Menghitung Prabowo sebaiknya dengan formulasi yang sederhana yakni, jika sipil diberikan peluang memimpin negara maka pertanyaan sederhana; bagaimana mengelola negara yang sangat majemuk dan rentan dengan pergesekan ideologis ini? Sikap cengengesan Jokowi dan konsep kerja yang belum jelas di DKI Jakarta plus prilaku suka meninggalkan gelanggang atau arena membuat publik patut cemas dan waspada Indonesia akan lebih mengerikan ketimbang Myanmar. Sikap pro negara yang diperlihatkan Prabowo saat menciduk para aktifis pada era suksesi rejim Soeharto dari tampuk kepemimpinan Indonesia harus dilihat dari berbagai perspektif tidak melulu dari sudut pandang mereka yang diamankan tersebut. Dalam konteks demokrasi, Amerika Serikat yang pelopor dan kampiun dalam persepsi demokratisasi (katanya) malahan menunjukkan paradoksal, satu sisi menyatakan kebebasan berekspresi dalam tajuk lainnya membuat UU yang memberikan cek kosong kepada aparatnya untuk melakukan pre-emptive terkait keamanan negara. Jadi? Mengutip makna hak-hak kebebasan tidak sepenuh bisa sangat bebas. Prabowo Subianto lebih patut dikedepankan dalam makna keindonesiaan. Ketidakmauan pria ini bersinergi dengan cukong-cukong bermental tauke yang terafiliasi kepada ras tertentu memang menampilkan perlawanan asimetris. Dimana sebagian capres lainnya yang berduyun-duyun mendatangi atau didatangi oleh para tauke tersebut. Sebut saja Sofyan Wanandi yang mulai intens membangun kesamaan kesepahaman dengan tim sukses Jokowi. Juga bicara faktor ekonomi, tidak bisa dipungkiri Subianto lebih Indonesia konsep ke-ekonomian-nya (jika merunut dalam falsafah yang digenggam erat Profesor Soemitro Djojohadikusumo) ketimbang Jokowi yang perhari ini belum memperlihatkan manifes yang akan disosialisasikan ke khalayak. Jokowi memang lebih terlihat sebagai boneka yang dikendalikan remote control ketimbang calon pemimpin yang mestinya mandiri dan berintegritas. Jikalau akhirnya Jokowi tetap diajukan sebagai capres dari usulan PDI Perjuangan kepada koalisi yang niscaya terbentuk maka background dari Kebagusan Pasar Minggu tidak lagi menjadi anasir tunggal dan kelak akan berubah menjadi spektrum multicolor. Dan tentu saja semboyan wong sithik dan wong cilik semakin lumer dan alhasil akan semakin membingungkan calon pemilih. Prabowo? Mungkin saja. Salam Cari Pemimpin Yang Tegas dan Konseptual! Rujukan http://soedoetpandang.wordpress.com/2014/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H