Demikian seringkali tergaung bahwa unsur yang dominan dan paling menonjol dari ejawantah demokratisasi adalah kebebasan berbicara. Dalam sejarah Indonesia, awal dari kebebasan ini adalah masa kerja singkat dari seorang BJ Habibie yang menggantikan Soeharto. Lalu tidak bisa dipungkiri pula adalah seorang Jenderal Peragu, demikian julukannya untuk Soesilo Bambang Yudhoyono. Bahkan sampai sebuah aksi teatrikal yang kebablasan dengan membuat olok-olokan seekor kerbau untuk personafikasi pria Pacitan ini tetap tidak membuatnya bergeming dan bereaksi.
Kebebasan berbicara yang terkadang menjadi kebebasan mengekspresikan pendapat ini seringkali ditunjukkan oleh banyak pihak selama kampanye pilpres kemaren. Saling menghunjam dan bahkan terkadang mengabaikan antara fitnah dan fakta yang saling melingkupi masa kampanye kemaren.
Ekspresi terhadap suatu hal dalam rentang 15 tahun terakhir ini telah menunjukkan banyak hal, betapa Indonesia membutuhkan sebuah pendewasaan dan pembelajaran, mana sebuah fakta yang disuarakan atau digaungkan sedemikian rupa atau mengantisipasi fitnah menjadi sebuah sikap yang tidak bisa ditolerir. Namun dalam hal sebuah sikap rakyat kepada penguasa, demokrasi yang diunggul-unggulkan sebagai produk peradaban dan kebudayaan manusia yang paling adi luhung ini ternyata sangat multi tafsir. Setidaknya begitu menurut pendapat penulis.
Seorang Jokowi yang konon adalah pion terhebat dari sebuah nilai demokratisasi ternyata memulai hari pertamanya sebagai presiden RI dengan intepretasi yang kaku dan sangat otoritarian pada level pelaksana dan pemangku kebijakan di negeri ini. Kasus seorang pedagang sate, atau lebih tepatnya seorang pria yang masih muda, tamatan SMP pula dan bekerja sebagai pembantu seorang penjual sate telah di gelandang ke kantor kepolisian karena disangkakan telah melakuakn bullying kepada Jokowi yang juga katanya adalah sisa-sisa dari masa kampanye lalu.
Pertanyaannya adalah, apakah intepretasi yang prematur dari aparat penjilat pantat kekuasaan atau memang Jokowi secara personal dan subyektif meng-inisiasi kepada semua aparatnya untuk bertindak tanpa ampun kepada mereka yang bertendensi merongrong kewibawaannya sebagai presiden?
"MA ditangkap di rumahnya pada Kamis 23 Oktober 2014 oleh empat penyidik Mabes Polri berpakaian sipil. Dia dilangsung dibawa ke Mabes Polri, dan dalam waktu 1x24 jam langsung dilakukan penahanan" demikian dikatakan oleh Irfan Fahmi, kuasa hukum dari MA kepada Okezone Selasa (28/10/2014).
Begitu banyak dugaan bisa ditafsirkan kepada kejadian ini, salah satunya adalah pimpinan tertinggi, Jenderal Sutarman yang notabene masih 'berbau' Jokowi. Sutarman yang pada masa kampanye kemaren ditengarai terlibat secara aktif dalam pemenangan Jokowi di duga mengambil tafsir secara subyektif terhadap bagaimana aplikasi dari kosakata "menjaga kewibawaan simbol-simbol negara" yang selama ini absen dipergunakan oleh SBY selaku presiden Indonesia.
Irfan Fahmi, mengatakan MA terjebak panasnya situasi politik saat pemilihan presiden Juli lalu. Saat itu ia memang memuat beberapa gambar yang didapatnya dari Internet tentang rupa dan kata-kata bermuatan SARA terhadap Jokowi. "Dia hanya ikut-ikutan saja, terjebak situasi politik saat itu," ujar Irfan saat dihubungi Tempo, Selasa, 28 Oktober 2014
Bayangkan, sebuah era yang telah tertinggal dalam lajunya hari masih bisa dipergunakan oleh Sutarman sebagai pintu masuk dirinya memberikan sinyal-sinyal yang kuat dan tegas kepada musuh-musuh politik Jokowi untuk jangan bermain api di media internet sekalipun. MA (tersangka kasus pencemaran nama baik) adalah martir bagi masa kepemimpinan Jokowi untuk berikutnya memberikan sinyal yang lebih lugas kepada para calon-calon pelaku pencemaran nama baik Jokowi (katanya).
Demokratisasi yang kerap menjadi jualan -terutama- oleh kubu Jokowi telah memberikan makna menyimpang bahwa freedom of speech or expression adalah bentuk takhayul dari penerapan nilai-nilai demokratis. Kebebasan adalah hantu yang tidak bisa dipegang secara hakiki.
Kembali penulis ingin utarakan pertanyaan yang sangat mengganjal, apakah betul demokratisasi itu memiliki unsur terpenting yakni kebebasan berbicara a.k.a berpendapat a.k.a berkekspresi?