Indra sebagai host dari acara Prime Time News dengan narasumber yang betul-betul merepresentasi posisi yang berseberangan plus seorang sejarawan Asvi Marwan.
Suasana debat (tidak ada dialog saat itu, karena jika dua mulut bercakap berbarengan secara teori kemampuan pendengaran langsung berkurang secara ekstrim) saat itu sangat menarik dimana Adian dengan justifikasi bahwa Soekarno dan Soeharto tidak bisa disamakan karena Soekarno adalah proklamator. Saat itu padahal yang dijadikan topik adalah pengusulan gelar kepahlawanan nasional bagi Soeharto.
Dan Adian tahu persis kemampuan rotarika seorang Fachri Hamzah yang juga bekas aktifis dari sayap kanan. Ke-kiri-an seorang Adian memang secara naluri dan 'sunnatullah' akan direspon oleh ke-kanan-an seorang Fachri. Adian hanya bisa memamerkan giginya yang tidak beraturan setidak beraturannya konsep debat dimulutnya. Apalagi semboyan Fachri yang suka ribut seperti yang sering dilontarkannya pada berbagai kesempatan. Kesukaan Adian yang gemar memancing keributan mendadak "senyap" di acara tersebut.
Fachri lebih santun untuk mendeskripsikan seorang Jokowi karena yang dibicarakan adalah patut atau tidaknya seorang Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional tanpa perlu cerewet perihal gambar Garuda sebagai ikon dari Koalisi Merah Putih.
Sejarawan Asvi yang hadir ditengah-tengah kedua seteru tersebut memang pada akhirnya lebih menyodorkan keseniorannya ketimbang kepakarannya. Lebih sabar menunggu dan tidak berusaha menyela percakapan antara dua anak muda tersebut.
Dan sepertinya cara Fachri yang berucap, suka-suka Prabowo dong untuk membuat janji toh pada akhirnya Prabowo yang akan menentukan untuk memenuhi janjinya atau tidak. Kurang lebih demikian isi tukasan Facri terkait ketidaknyamanan seorang Adian mendengar janji Prabowo.
Karena jika kampanye tidak dipenuhi oleh janji-janji maka kampanye tersebut tak ubah sebagai sebuah lomba stand up comedy dan berusaha membuat para audiens cekakakan mendengar banyolan berupa sarkasme atau satire saat tampil sebagai comic.
Penulis padahal sangat berharap Fachri terpancing untuk counter attack terkait janji politik yang disampaikan pada saat kampanye. Misalnya lupa atas janji Jokowi untuk tetap akan memimpin Jakarta selama 5 tahun penuh dan janji untuk menghapus kemacetan dan menghilangkan banjir dari Jakarta. Adian Napitupulu aktifis Forkot mendadak menjadi pelupa terkait hal tersebut.
Yang menjadi masalah pahlawan itu apa sih? Yang memberikan perlindungan, kenyamanan, harapan atau apa? Penulis perhari ini masih belum mengerti landasan apa seorang RA Kartini mendapatkan gelar kepahlawanan nasional. Toh wanita-wanita perhari ini tetaplah wanita yang sama saat Indonesia dipimpin oleh lebih dari 5 kali penggantian presiden. Tetap misalnya dilecehkan di Transjakarta, susah mendapatkan cuti haid, tidak diberikan waktu dan tempat untuk menyusui anaknya saat jam kerja, dikirim keluar negeri sebagai TKW dan pulang dalam dua bentuk yang berbeda; terbujur kaku atau berbadan dua.
Adian sebaiknya fokus untuk menggemukkan Jokowi dan me-maintain sisi psikologis Jokowi yang kelam. Ditambah pula role model Jokowi seperti Megawati yang pendendam (kasus tidak mau berjabat tangan dengan SBY dan tetap duduk melengos saat diKPU). Jokowi yang gagap saat pidato di KPU menunjukkan adanya tekanan psikologis yang berkelindan didalam dirinya. Mimik muka yang tegang menunjukkan ketidaksiapannya memimpin 250 juta warga yang perhari ini disibukkan dengan pertengkaran yang mematikan.
Negeri yang keras ini tidak  bisa diselesaikan oleh kumpulan orang-orang yang disibukkan dengan persoalan masalalu. Masa depan atau masa datang jauh lebih memikat dan menjanjikan untuk disongsong lebih baik. Persoalan ke-masalalu-an yang dijadikan sebagai subyek kampanye adalah bentuk kekalutan dan ketidakmampuan mengelola negara ini.