Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM), Dailami menuturkan, bahwa sudah sejak lama Merliana melakukan protes terhadap suara yang keluar dari pelantang masjid. “Terakhir, 5 hari sebelum kerusuhan dia (Meriana, red) menyampaikan keberatannya soal suara dari masjid,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Tanjungbalai, Senin (01/08/2016).
Namun setelah melaksanakan sholat maghrib pada Jum’at (29/07), dirinya bersama seorang pengurus masjid lain bernama Haristua Marpaung memutuskan untuk mendatangi rumah Merliana yang berada persis di depan Masjid Al-Makshum, guna menanyakan ihwal kebaratannya tersebut. Namun, kata Dailami, setelah membuka pintu, Meriana justru menjawab pertanyaan dirinya dan Haristua dengan nada yang dinilai menantang.
“Itu bising kami terganggu. Kau tahu! Pekak telingaku dengar suara dari corong tu, tak tentram aku,” ucapnya dengan logat Medan menirukan Merliana. Sejurus kemudian, sambungnya, ikut keluar juga dari rumah Meriana, anak laki-laki dan suaminya.
“Anaknya juga menantang. Kalau suaminya dia justru minta maaf,” diakui Dailami.
Ia mengungkapkan, cekcok tersebut cukup mengundang kemarahan jamaah. Bahkan, kata dia, sampai pak Zul (penggilan salah seorang pengurus masjid yang dituakan dan dikenal pendiam) juga ikut kesal dengan perkataan Merliana hingga mengeluarkan kata-kata makian. Kejadian itu, tambah Dailami, sekaligus menyulut keramaian warga yang juga dikarenakan posisi tempat mereka adu mulut berada tepat di pinggir jalan.
*****
Kronologis kejadian diatas sebenarnya sudah sangat cepat bisa diambil kesimpulan bahwa asal muasal kejadian kerusuhan adalah hilangnya kearifan lokal yang sudah terbangun sekian lama, semenjak teknologi speaker menggantikan peran beduk di masjid-masjid atau mushala. Speaker telah menguat peran suara melalui hantaran volume yang sekiranya bisa merambah hingga radius ratusan meter untuk mengingatkan bahwa waktu shalat telah tiba. Komponen masyarakat di seantero nusantara pun sudah mahfum adzan adalah panggilan lima waktu sehari yang mesti dikumandangkan.
Ungkapan ngawur dari beberapa kompasianer yang mengatakan adzan mengganggu adalah ungkapan kegelisahan menyaksikan adanya rasa saling menerima perbedaan antara umat beragama.
Penulis ingin membagi sebuah suasana yang terbangun saat mudik kemaren dimana saat jamaah di masjid tengah khusyuk berdentang lonceng gereja yang berbunyi setiap pagi hari (waktu shalat dhuha), tengah hari saat dzuhur dan sore hari di waktu maghrib. Lantunan ayat suci yang dibacakan imam shalat ditimpuki suara lonceng. Dan asal tahu, kegiatan membunyikan lonceng ini adalah sesuatu kegiatan yang baru-baru saja dilakukan oleh pengelola peribadatan di gereja di desa kami. Sejauh ini kami bisa menerima "kegiatan baru" tersebut, Semua baik-baik saja.
Upaya dari suami Merliana memimta maaf menunjukkan betapa perangai isteri dan anaknya adalah perangai buruk tak beretika. Mempermasalahkan suara yang seharusnya sudah mereka lazimi sebagai rutinitas harian yang akan didengarkan. Yang tidak lazim adalah provokasi sesama etnis cina di Kompasiana yang seperti membenarkan perangai buruk tersebut dengan mengatakan adzan mengganggu. Mohon maaf jika penulis membuat asumsi betapa perangai pemerintah tanah leluhur mereka yang melarang adzan berkumandang di negeri mereka dan sekaligus mengancam muslim yang ingin menjalankan syariat islam seperti berpuasa dan memelihara jenggot di sana mengalir sampai ke Indonesia.
Tudingan bahwa adanya infiltrasi pemerintahan cina melalui sosok-sosok manusia seperti Merliana dan seorang Kompasianer yang memiliki derajat verifikasi berwarna biru dapat diterima kebenarannya.