Isi kepala anggota dewan itu simple saja, raih suara sebanyak mungkin di Dapil mereka dan kelak akan menjabat sebagai perwakilan rakyat yang memilihnya. Setelah terpilih yang pertama dilakukan adalah upaya keras membayar hutang-hutang yang timbul dari perjuangan menuju gedung dewan.
Masih kurang? Oh ya, setelah berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang untuk membayar hutang-hutang pasca pileg selanjutnya menjadi anggota dewan yang terhormat yang kelak akan menjalankan tugas sebagai pengawasan roda pemerintahan, membuat undang-undang dan menyusun anggaran bersama eksekutif.. Akibatnya tentu saja anggota dewan membutuhkan mereka yang memang memiliki kompetensi sesuai dengan fraksi dan komisi yang diemban oleh anggota dewan yang terhormat tersebut. Ada yang mempekerjakan mereka yang sebelumnya sibuk dengan karton-karton dan berteriak sebagai LSM/NGO, atau pengamat karbitan yang mulutnya menyeruap-nyeruap dilayar kaca bahkan akademisi yang gerah melihat aplikasi keilmuan tidak berjalan semestinya.
Selama Indonesia menyematkan kosa kata demokrasi didalam perjalanannya menuju (katanya) masyaratak adil dan makmur maka para anggota dewan yang terhormat ini akan senantiasa eksis dan tetap muncul disela-sela kesibukan rakyat mencari nafkah untuk hidup. Mereka ini yang menyandang anggota dewan yang terhormat dilahirkan dari rahim trias politica. Suka tidak suka, dongok atau pintarnya mereka ini menampilkan eksistensinya. Rakyat tidak boleh dan perlu gundah karena anak yang dilahirkan oleh ibu kandung nilai politik di Indonesia ini akan selalu hadir menemani hari demi hari hingga selesai masa tugas lima tahunannya.
Saking sibuknya mereka menjalankan fungsi-fungsi sebagai anggota dewan yang terhormat tentu saja hak-hak pribadi mereka yang memiliki harta berlimpah perlu kanal. Perlu penyaluran yang sepadan atas kinerja mereka yang all out dan over the limit. Mereka membutuhkan katarsis dan membuang sampah-sampah biologis yang menjadi efek produktifitas tinggi sebagai anggota dewan.
Tertidur sambil mulut mangap, atau sekilas curi-curi kesempatan dengan smartphone premium untuk browsing melihat nona-nona minim berpakaian. Dan kapan perlu memanggil lady escort untuk bisa datang sebentar memijat tengkuk yang kelamaan duduk di kursi berharga belasan juta per buah dikamar sang anggota dewan yang terhormat tersebut. Jadi jangan pura-pura kagetlah jika ditemukan kondom bekas pakai disela-sela tong sampah atau toilet mewah nan wangi yang dibangun dari jumputan pajak yang tidak direla diambil dari tangan rakyat yang susah payah mencari harta.
Apalagi kasus terakhir sang anggota dewan yang terhormat dini hari bertiga pula dimobil bertengkar separuh sadar sehabis dugem mabuk-mabukan. TA alias tenaga ahlilah atau sekretaris pribadilah yang ikut menikmati duit rakyat yang ditransfer oleh negara atas kerja keras mereka perbulan menghasilkan produk di Prolegnas yang kian banyak baik secara kuantitatif atau kualitatif. Mabuk adalah kanal yang diperlukan untuk menendang keluar energi negatif yang menjadi ekses atas produktifitas mereka.
Jangan terlalu kejam menghukum sang anggota dewan yang terhormat tersebut karena Indonesia tanpa mereka tidak akan bisa menghasilkan devisa, pendapatan negara atau membuat rakyat bisa hidup senang gembira. Karena mereka Indonesia jauh lebih baik saat ini.
Mereka, sang anggota dewan yang terhormat ini bersama demokrasi adalah bak Rama dan Shinta. Sejoli yang tidak akan bisa dipisahkan. Mereka bukan Romeo dan Juliet yang memiliki cinta terlarang. Mereka adalah siang dengan matahari atau malam yang syahdu dengan rembulannya. Memisahkan mereka hanya akan mengundang elmaut. Kematian Indonesia secara tragis.
Tidak percaya? Coba saja!
Salam Anti Manggut-manggut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H