Kisruh beras yang di tengarai berbahan plastik kontan menambah keruh prestasi dari pemerintahan Jokowi yang belum juga nongol. Belum lama rasanya rakyat diaduk-aduk perasaannya dengan sensasi harga BBM yang turun naik seperti ingus balita eh malah nongol kembali topik sensitif yakni beras sintetis.
Beras bagi nyaris semua penduduk Indonesia adalah komiditas pokok dan wajib hukumnya tersedia di rumah tangga. Mulai dari beras penuh kutu yang disebut raskin atau beras rojolele hidangan para tajir yang tetap menyimpan beras di dapur mewahnya meski tiap hari bisa memakan main course di buffet hotel-hotel mewah.
Sikap negara yang belum jelas diantara riuh berita terkait beras yang mulai memakan korban menimbulkan pertanyaan. Apakah kasus beras sintetis ini tidak menjadi topik di rapat kabinet? Padahal para pedagang mulai berteriak saat omzet penjualan mereka rontok hingga angka 30% dari mulai bergulirnya isu beras plastik.
Padahal jika melihat angka ketergantungan rakyat terhadap beras, kasus beras sintetis ini mutlak bisa dianggap sebagai sebuah gerakan teror kepada rakyat. Karena jika menilik apakah ini motif kecurangan dalam praktis bisnis seperti tidak mungkin karena harga plastik dipastikan lebih mahal daripada harga beras yang paling mahal saat ini per kilogram. Atau upaya sebagai persaingan tidak sehat. Di pasar beras tidak ada brand yang memonopoli perdaganagan.
Dugaan bioterorisme patut disodorkan, pertanyaannya kemana gerangan BIN atau BNPT? Apakah mereka sedang bermain arisan sejutaan untuk mengisi kekosongan waktu?
Atau dugaan berikutnya adalah sebagai sebuah upaya pemerintahan Jokowi menciptakan sebuah produk yang berusaha lepas dari ketergantungan kepada hasil tani. Upaya-upaya yang sebetulnya patut mendapatkan apresiasi ketika dianggap sebagai sebuah solusi terakhir atas ketidakmampuan negara berswasembada pangan seperti ocehan saat kampanye pilpres kemaren. Apalagi saat ini pemerintahan Jokowi bisa dengan sombong dan bangga terkait keberhasilannya memangkas separuh kekuatan mafia di industri minyak. Salah satu turunan dari proses penyulingan minyak mentah tersebut bisa dijadikan sebagai pelet dalam bentuk beras setelah diproduksi melalui reaktor-reaktor tersembunyi dan kemudian di oplos bersama beras. Sherlock Holmes mode ON!
Melihat ketidakseriusan dan kesungguhan negara menepis keresahan masyarakat terkait isu beras plastik semakin menunjukkan wajah keberpihakan pemerintahan Jokowi kepada rakyat Indonesia. Begitu bertubi-tubi rakyat diambil kesabarannya, dimulai dari banyak faktor, ekonomi melalui mekanisme harga pasar untuk regulasi harga jual BBM, lalu menurunya daya beli masyarakat ditambah pula dengan dicabutnya tontonan rakyat se-Indonesia (baca: sepakbola) oleh menteri pekok yang tidak berani tampil langsung dan hanya mewakili kepada jubir yang pekok pula. Eh sekarang isu beras plastik yang membuat beberapa warga dilarikan ke rumah sakit.
Pertanyaan dari judul artikel diatas dialamatkan kemana ya? Ah ke Kang Pepih aja, barangkali di undang makan lagi oleh Jokowi lalu ditanyakan. Paling jawabannya kurang lebih..."kita harus fokus dan take control!"
Basi ah! Eh beras plastik tidak akan pernah basi!
Salam eksperimen yang gagal!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H