Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ramadhan dan Potensi Kekisruhan Pilpres 2014

5 Juni 2014   18:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:12 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua pembaca mungkin masih ingat dengan aksi cap jempol darah. Dimana ada panitia yang menyediakan silet dan sebentang kain putih beberapa meter dipersiapkan untuk menjadi prasasti dari ekspresi kemarahan beberapa orang atas kenyataan yang ada.

Mereka menyilet (melukai kulit telapak tangan) dan saat keluar kucuran darah kemudian ditempelkan ke bentangan kain putih tersebut, maka tertinggal sebentuk cap jari jempol diatasnya. Kontras! Karena warna merah dominan diatas warna putih.

Aksi tersebut sepintas menyedihkan saat mereka sengaja melukai diri sendiri. Namun jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya saat itu mereka mengambil resiko terkecil dari reaksi kemarahan yang sangat pada diri mereka. Sesungguhnya jika mereka ingin lebih dari sekedar membuat cap jempol maka pilihan yang paling menakutkan adalah mereka berkeinginan melukai orang lain. Orang yang mereka anggap telah membuat kemarahan itu timbul.

Atau sejumlah aksi massa yang kecewa atas sebuah kenyataan dimana mereka menebangi batang-batang pohon disepanjang jalan dalam rentang puluhan kilometer. Tebasan golok yang tajam dan nggegirisi telah mengakibatkan tanaman yang tidak mengerti kesalahan apa menjadi korbannya.

Sampah-sampah dari tebasan massa tersebut menyebabkan kekumuhan yang penuh siratan makna. Kumuh dalam arti kias yakni terbelenggunya hati atas takdir dan menolaknya dengan negatif atau kumuh dalam bentuk nyata. Ceceran ranting, daun dan pokok pepohonan yang bertumbangan.

Kedua respon yang mewujudkan aroma teror dan intimidasi secara psikologis hanya akan memancing rasa takut dan juga antipati. Militansi yang kebablasan tersebut sedianya akan menunjukkan betapa harapan dan keinginan mereka harus terkabulkan. Dan konyolnya pula, dua anasir yang suka ekspresif jika kalah ini sekarang menjadi tim yang saling melengkapi. Membayang satu komunitas saja sudah mengkhawatirkan, apalagi mereka saat ini menjadi seperti super team. Wah!

Mereka seakan melupakan unsur yang maha penting di kehidupan ini.

"Sst kita jangan ribut dan terlalu serius menghadapi pilpres ini, Alloh sudah menentukan takdirNya siapa yang kelak jadi presiden," disampaikan oleh Aa' Gymnastiar mensikapi tensi yang kian naik pada titik kulminasi.

Ramadhan terhitung hari, pilpres terhitung hari. Dan dua hal yang sama-sama menegaskan betapa pentingnya menahan diri untuk tidak menjadi sumber kerusakan dimuka bumi dan menjaga sumber perusak itu didalam diri.

Siapapun yang menang segera membangun negeri dan siapa yang kalah kembali ke DKI Jakarta untuk meneruskan obralan janji.

Salam Anti Kerusuhan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun