Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Demokrasi Telah Mati

26 September 2014   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:25 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Begitu RUU tentang Pilkada yang berikutnya akan dipilih oleh DPRD diputuskan diterima melalui voting membuat sebagian rakyat berfikir demokrasi telah mati.

Maka, penulis bertanya, mengapa Demokrasi diyatakan telah mati? Apakah selama ini hidup? Hidup yang benar-benar berkehidupan atau hidup segan mati pun tidak mau.

Juga sekalian ingin menambahkan pertanyaan susulan kepada sebagian rakyat yang mengatakan dengan pilkada melalui konsep permusyawaratan dan asas keterwakilan sesuai dengan filosofi yang kerap digaungkan oleh para kaum demokratis di tanah pertiwi ini sebagai sesuatu hal yang tidak menunjukkan kedaulatan rakyat.

Sekali lagi penulis ingin meminta penjelasan dari rakyat yang mengatakan bahwa dengan pemilihan rakyat secara langsung akan mendekatkan degub jantung pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya.  Apakah Atut Chosiyah dan yang terakhir Annas Maamun merupakan produk pilkada langsung yang mempertontokan adanya tali asih antara rakyat dengan pemimpinnya? Atau bahkan seorang Jokowi yang dipilih secara langsung yang juga berarti menjadi arep-arep rakyat untuk kelak (dahulu) menjadi pemimpin rakyat Jakarta yang kemudian memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab lidahnya saat bersumpah setia?

Maka, demokratisasi yang anda sunggi-sunggi tersebut bukanlah bicara media akan tetapi hasil nyata semata. Pilkada langsung berdasarkan hitung-hitungan dari seorang Iwan Prayitno (gubernur Sumbar) adalah politik yang berbiaya super gila (baca: menyentuh angka trilyunan) dan belum termasuk efek psikologis saat rakyat diposisikan saling berhadap-hadapan (seperti kasus Jokowi dan Prabowo) membuat rakyat Indonesia seluruhnya untuk melihat kembali apa juntrungannya mempertentangkan pilkada langsung atau tidak.

Lihatlah kepada hasil dan merujuk kepada filosofi yang katanya menjadi perekat bangsa (baca: Pancasila), janganlah menjadi individu yang lupa tajuk perekat bangsa ini saat ambisi pribadi meluap-luap dan memandang angka fantastis yang digelontorkan saat melaksanakan pilkada langsung bak duit lima perak terbuangpun tidak mengapa.

Andai kalimat ini penulis mintakan untuk dijelaskan makna bagi kehidupan bernegara di negara ini.

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun