Mohon tunggu...
Imam Mukti
Imam Mukti Mohon Tunggu... -

lahir di kolaka sulawesi tenggara pada 07 oktober 1982 dari keluarga yang sangat sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Administrasi Publik Lama (Old Public Administration)

22 Mei 2015   12:18 Diperbarui: 4 April 2017   18:32 7725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14322717901296394515

IMAM MUKTI

Selama pemerintah menggunakan struktur-struktur manajemen dan organisasi yang kompleks sepanjang sejarah manusia, administrasi publik sebagai bidang studi dan praktek kesadaran-diri umumnya dianggap mulai muncul dalam peralihan abad. Versi Amerikanya, misalnya, ditandai dengan essay terkenal dari Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi profesor college, dan terakhir menjabat presiden Amerika Serikat. Wilson mengakui tugas-tugas pemerintah administratif yang semakin meningkat dan kompleks dengan berkomentar bahwa “muncul kesulitan untuk menjalankan sebuah konstitusi daripada mengerangkakannya” (Wilson 1987/1887, 2000). Supaya bisa menjalankan pemerintahan secara efektif, Wilson menyarankan kepada kita untuk mengamati bidang bisnis, sebab “bidang administratif adalah sebuah biang bisnis” (209). Supaya bisa mengikuti model bisnis, Wilson menyarankan kepada pemerintah untuk menetapkan otoritas eksekutif, dengan mengontrol organisasi-organisasi hierarkis dan menetapkan tujuan untuk mencapai operasi semampu dan seefisien mungkin.

Orang-orang yang memegang pusat-pusat kekuasaan tidak harus dilibatkan secara aktif dan ekstensif dalam pengembangan kebijakan. Tugas-tugasnya adalah melakukan implementasi kebijakan dan provisi layanan, dan dalam tugas-tugas tersebut, mereka diharapkan bisa bertindak secara netral dan profesional untuk melaksanakan petunjuk menurut caranya. Mereka dipantau secara cermat dan bertanggung jawab terhadap pimpinan politik terpilih, dengan tidak menyimpang dari kebijakan yang tetap. Wilson mengakui adanya bahasa potensial dalam petunjuk lain karena terdapat kemungkinan bahwa politik, atau secara lebih khusus, politisi korup mungkin akan berpengaruh negatif terhadap administrator dalam pengejarannya atas efisiensi organisasional. Persoalan ini menimbulkan diktum terkenal Wilson, “Administrasi terletak di luar ruang lingkup politik yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan administratif bukanlah pertanyaan-pertanyaan politik. Meskipun politik menetapkan beberapa tugas administrasi, namun jabatannya tidak seyogyanya dimanipulasi” (Wilson 1987/1887, 210). Jadi, Wilson menetapkan apa yang dikenal selama beberapa tahun sebagai dikotomi politik-administrasi (atau kebijakan-administrasi).

Dua Tema Kunci

Dalam essay Wilson, kami menemukan dua tema kunci yang berfungsi sebagai fokus terhadap studi administrasi publik untuk separuh abad berikutnya atau lebih. Pertama, terdapat perbedaan antara politik (atau kebijakan) dan administrasi, dengan ide-ide akuntabilitas terkaitnya kepada pimpinan-pimpinan terpilih dan kompetensi netral dalam bagian administrator. Kedua, terdapat persoalan terhadap penciptaan struktur-struktur dan strategi-strategi manajemen administratif yang akan memudahkan beberapa organisasi publik dan manajer-manajernya untuk bertindak seefisien mungkin. Masing-masing ide tersebut patut mendapatkan komentar lebih lanjut.

Pertama, ide pemisahan politik dan administrasi menerima komentar awal dan berusaha memedomani praktek dalam sejumlah hal. Misalnya, dikotomi itu jelas merupakan basis terhadap bentuk dewan-manajer atas pemerintahan daerah, yang meliputi dewa yang diberikan responsibilitas untuk menetapkan kebijakan dan manajer kota yang diberikan tanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Tentu saja, dalam contoh dewan-manajer, sebagaimana dalam area-area lainnya, pemisahan politik dan administrasi terbukti sulit. Anggota-anggota badan pemerintahan, baik anggota dewan kota ataupun legislator negara bagian atau federal, selalu mempertahankan sebuah kepentingan aktif dalam pelaksanaan agensi-agensi administratif. Melalui fungsi terpantau, mereka menanamkan pengaruh dalam operasi agensi. Sebaliknya, beberapa administrator berusaha untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam proses kebijakan, khususnya selama mereka bawa saran ahli untuk dimunculkan dalam proses kebijakan. Sepanjang waktu, kebanyakan komentator seperti Luther Gulick, administrator kota pertama New York dan pendiri American Society for Pulib Administration, berargumen bahwa kebijakan dan administrasi tidak dapat dipisahkan, dan setiap tindakan manajer publik memerlukan “jaringan diskresi dan tindakan gabungan” (1933, 561). Pakar lainnya seperti Paul Appleby, dekan Maxwell School di Syracuse University bahkan menunjukkan bahwa “administrasi publik adalah pengambilan kebijakan” (Appleby, 1949, 170).

Perbedaan yang Wilson gambarkan antara politik dan administrasi tidaklah begitu jelas sepanjang waktu. Dalam banyak kaitan, hubungan antara politik dan administrasi tetap penting untuk bidang administrasi publik. Selama “dikotomi” antara politik dan administrasi digambarkan secara berlebihan, interaksi terhadap persoalan politik dan administratif adalah kunci untuk memahami bagaimana pemerintah beroperasi pada saat ini. yang lebih penting, pemisahan politik dan administrasi terletak pada inti versi akuntabilitas Administrasi Publik Lama, di mana administrator tertunjuk bertanggung jawab kepada “master” politiknya – dan hanya melaluinya kepada rakyat.Menurut pandangan ini, persyaratan penyelenggaraan pemerintahan terpenuhi di mana layanan sipil yang netral dan kompeten dikontrol dan bertanggung jawab kepada pimpinan politik terpilih. Frederick Cleveland, seorang penulis awal, berkomentar bahwa akuntabilitas demokratis dipertahankan di mana terdapat “badan representatif (seperti badan pembuat undang-undang) di luar administrasi dengan kekuasaan untuk menentukan kehendak keanggotaan (warga negara) dan menyelenggarakan kehendak dalam administrasi” (Cleveland 1920, 15, tanda kurung ditambahkan). Menurut pandangan ini, badan pembuat undang-undang beroperasi seperti dewan direktur yang mengawasi operasi bisnis.

Kedua, Wilson berpendapat, dan lainnya setuju, bahwa organisasi-organisasi publik seharusnya mencari efisiensi terbesar dalam operasinya dan efisiensi semacam itu dapat dicapai dengan baik melalui struktur hierarkis manajemen administratif yang terpadu dan besar. Yang pasti pandanga itu adalah konsisten dengan pemikiran di antara manajer-manajer bisnis pada masa itu. Kebanyakan pakar, seperti pakar efisiensi yang bernama Frederick W. Taylor (1923) menggunakan pendekatan “manajemen ilmiah” untuk mencoba mempelajari, melalui studi-studi “waktu dan gerakan” detil, tentang bagaimana proses produktif dapat diperbaiki, Taylor, misalnya,, berusaha untuk menentukan “satu cara terbaik” untuk memecahkan masalah dengan mendesain sebuah eksperimen yang dapat mengalkulasi pertimbangan ideal pemecahan masalah tunggal, keidealan dalam pengertian menghadirkan pemecahan masalah terbanyak setiap hari!.

Teoritikus awal lainnya seperti Leonard White (1926) dan W.F. Willoughby (1927), memfokuskan pada pembangunan struktur-struktur organisasional yang dapat beroperasi dengan efisiensi tinggi. Sebagian besar ide atraktif yang ditemukan dari para kepala eksekutif yang kuat memiliki kekuasaan dan otoritas untuk menjalankan pekerjaan yang ditetapkan oleh agensi. Selain itu, kepala eksekutif itu dapat mengalami keberhasilan jika ia beroperasi melalui sebuah struktur organisasi yang dicirikan oleh persatuan komando, otoritas hierarkis, dan divisi tenaga kerja yang ketat. Pekerjaan eksekutif adalah menentukan divisi tenaga kerja terbaik, kemudian mengembangkan cara koordinasi dan kontrol yang tepat.

Model Rasional

Administrative Behavior (1957) klasik, yang ditulis oleh Herbert Simon, seorang saintis politik yang memenangkan Nobel Prize dalam bidang ekonomi, menyuguhkan argumen yang sangat bagus. Menurut sudut pandang sains positif yang Simon representasikan,beberapa pernyataan bisa diklasifikasikan menurut apakah mereka adalah benar atau salah. Tentu saja saintis memperhatikan penetapan kebenaran proposisi khusus. Supaya bisa melakukan hal itu, mereka harus menghilangkan “nilai-nilai” yang buruk yang cenderung mengganggu urusan manusia. Terma-terma yang tidak membicarakan preferensi individu atau kelompok tersebut tidaklah diakui dalam studi ilmiah, di mana dalam kasus ini adalah studi perilaku administratif. Lebih daripada itu, Simon berargumen bahwa standar tunggal, yakni standar efisiensi, bisa digunakan untuk membantu menghilangkan nilai-nilai dari diskusi tindakan terorganisir.

Kunci terhadap argumen ini adalah konsep rasionalitas. Menurut Simon, manusia dibatasi pada tingkat rasionalitas yang dapat mereka peroleh dalam referensi terhadap beberapa masalah yang mereka hadapi; namun mereka dapat bergabung bersama dalam beberapa kelompok dan organisasi untuk menghadapi dunia di sekitarnya secara efektif, dan mereka dapat melakukannya secara rasional. Secara abstrak, muncul kesulitan untuk mengembangkan sebuah rangkaian tindakan rasional untuk mencapai sebagian besar tujuan. Masalah itu muncul ketika kita memasukkan kehidupan riil seseorang, dengan semua persoalan dan idiosinkrasi manusianya, ke dalam sebuah gambaran. Isu itu menjadi isu tentang bagaimana menyesuaikan orang-orang tersebut dengan rencana rasional dan bagaimana memastikan bahwa perilaku manusia mengikuti pijakan yang paling efisien.

Bertentangan dengan tradisi filosofis lama yang menganggap akal manusia terkait dengan isu-isu seperti keadilan, ekualitas, dan kebebasan pandangan terbatas Simon yakni rasionalitas terkait dengan penyelarasan cara yang tepat untuk menyempurnakan tujuan yang diinginkan. Menurut pandangan ini, rasionalitas disamakan dengan efisiensi. Berkaitan dengan apa yang Simon sebut sebagai manusia administratif”, perilaku yang paling rasional yakni perilaku yang dapat menggerakkan organisasi secara efisien ke arah tujuan-tujuannya. “Manusia administratif menerima tujuan-tujuan organisasi sebagai premis nilai atas beberapa keputusannya, khususnya yang sensitif dan reaktif terhadap pengaruhnya pada anggota-anggota lain DM organisasi itu, membentuk ekspektasi stabil mengenai perannya sendiri dan memiliki moral tinggi mengenai tujuan-tujuan pria” (Simon, Smithburg, dan Thompson, 1950, 82). Jadi, melalui apa yang disebut sebagai persuasi (inducement) – model kontribusi, dengan mengontrol persuasi yang ditawarkan kepada beberapa anggota organisasi, pemimpin-pemimpinnya dapat menjamin kontribusinya dan pemenuhannya dengan desain rasional organisasi, yang membuat organisasi menjadi lebih efisien dan produktif.

Pilihan Publik

Beberapa tahun setelah penelitian Simon, sebuah interpretasi menarik mengenai perilaku administratif, dan yang tergabung dengan posisi “manusia ekonomi” klasik, muncul ke permukaan. Pendekatan baru yang disebut sebagai “teori pilihan publik” ini sebenarnya memberikan sebuah jembatan yang menarik antara Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru, di mana, selama teori pilihan publik dikembangkan selama masakami berhubungan dengan Administrasi Publik Lama, pilihan publik menjadi lebih signifikan sebagai basis teoritis kunci terhadap Manajemen Publik Baru. Untuk alasan inilah, kami hanya akan menguraikan teori pilihan publik dalam pembahasan ini, namun akan tetap kembali pada material yang disajikan.

Teori pilihan publik didasarkan pada beberapa asumsi kunci. Pertama, dan paling penting, teori pilihan publik memfokuskan pada individu, yang mengasumsikan bahwa pembuat keputusan individuil, seperti “manusia ekonomi” tradisional, adalah rasional, berkepentingan-sendiri, dan berusaha untuk memaksimalkan “utilitas”nya sendiri. Menurut pandangan ini, beberapa individu mencari keuntungan terbesar (pada biaya terkecil) dalam situasi keputusan, yang bertindak untuk “selalu mencari keuntungan sebesar mungkin dan biaya terkecil dalam beberapa keputusan. Orang-orang pada dasarnya bersifat egoistik, mengunggulkan-diri dan instrumental dalam perilakunya (Dunleavy, 1991, 3). Bahkan jika orang-orang tidak bersifat demikian, para ekonom dan teoretikus pilihan publik berargumen bahwa ini akan memudahkan kita untuk menjelaskan dengan lebih baik perilaku manusia jika kami mengasumsikan bahwa mereka memang memiliki sifat demikian. Kedua, teori pilihan publik memfokuskan pada ide “kebaikan publik” sebagai output agensi publik. Hal tersebut dapat dibedakan dari kebaikan privat di mana kebaikan publik, seperti pertahanan nasional, ketika diberikan kepada satu orang akan diberikan kepada semua orang.

Ide ketiga yang terkait dengan pilihan publik yakni jenis-jenis berbeda aturan keputusan atau situasi keputusan akan menghasilkan pendekatan-pendekatan berbeda terhadap pembuatan pilihan. Untuk alasan inilah, strukturisasi aturan-aturan keputusan untuk mempengaruhi pilihan manusia, dan perilaku manusia, adalah kunci terhadap operasi agensi-agensi publik dan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih umum. Menurut pandangan ini, “agensi-agensi publik dipandang sebagai alat untuk mengalokasikan kapabilitas pembuatan-keputusan supaya bisa memberikan kebaikan dan layanan publik yang responsif terhadap preferensi individu dalam konteks sosial berbeda” (Ostrom dan OStrom, 1971, 207). Dengan kata lain, pendekatan pilihan publik meliputi aplikasi model-model ekonomi dan pendekatan-pendekatan terhadap lingkungan non-pasar, khususnya pemerintah dan sains politik, guna memberikan beberapa struktur dan insentif untuk memedomani perilaku manusia.

Terdapat sejumlah pertanyaan yang muncul berkaitan dengan teori pilihan publik. Pertanyaan pertama dan paling nyata adalah pertanyaan empiris. Apakah individu benar-benar bertindak menurut cara yang menarik dirinya sendiri guna memaksimalkan utilitasnya? Yang jelas, terdapat banyak situasi di mana mereka benar-benar bertindak demikian, namun kebanyakan darinya tidak bertindak demikian. Ini berarti bahwa model pilihan publik harus mengorbankan akurasi behavioral supaya bisa memajukan sebuah konstruk kunci yang bergantung pada basis teorinya. Hasilnya adalah serangkaian proposisi logis yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang mungkin hanya sesuai dengan perilaku manusia aktual. Tingkat yang lebih besar daripada model “manusia administratif” Simon, yakni “manusia ekonomi” pilihan publik, didasarkan pada asumsi rasionalitas komplit. Seseorang mungkin akan bertanya, “Mengapa tidak memfokuskan pada aspek-aspek lain pengalaman manusia, seperti perasaan atau intuisi?” bagi teoretikus pilihan publik, jawabannya yakni, supaya bisa memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai perilaku manusia, kita seharusnya memusatkan diri pada cara individu dan kelompok dalam berusaha memaksimalkan kepentingannya sendiri dan cara mekanisme pasar mempengaruhi dan merespons pilihan-pilihan individu.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh saintis politik Yale yang bernama Roberts Dahl (1947) dalam kritiknya atas pandangan Simon, sebuah kritik yang juga dipakai pada model pilihan publik baru-baru ini, mengatakan bahwa sebuah tindakan yang rasional bukan berarti bahwa tindakan itu bisa menyajikan tujuan moral atau secara politik dapat dipertanggung jawabkan, namun semata-mata mengatakan bahwa ini menggerakkan organisasi menjadi organisasi yang lebih efisien. Yang bertentangan, Dahl menunjukkan bahwa efisiensi itu adalah nilai dan seharusnya bersiang dengan nilai-nilai lain, seperti responsibilitas individu atau moralitas demokratis. Dahl berargumen bahwa dalam banyak kasus, efisiensi bukan merupakan nilai primer yang dipilih. Misalnya, bagaimana kita mengevaluasi operasi camp penjara Jerman dalam Perang Dunia II, di mana beberapa camp itu berjalan sangat efisien? Atau, bagaimana menyumbangkan persoalan terhadap efisiensi administratif dalam sebuah agensi publik dengan kebutuhan terhadap agensi itu untuk melibatkan warga negara dalam proses keputusannya? Kami berpikir bahwa hal itu adalah sebuah pertanyaan penting. Namun poin Dahl, seperti halnya argumen serupa yang dibuat oleh Waldo dan para pakar lainnya, dialihkan ke posisi yang ada di luar mainstream dalam dialog baru tentang struktur dan perilaku organisasi publik.

Ide-Ide Inti

Yang jelas, kebanyakan pakar lain dan praktisi telah mengontribusikan pengembangan awal bidang administrasi publik. Dan sebagaimana yang telah kita lihat, tidak terdapat rangkaian ide tunggal yang disepakati oleh semua orang yang mengontribusikan Administrasi Publik Lama sepanjang dekade itu. Namun demikian, kami berpikir bahwa ada baiknya mengatakan bahwa elemen-elemen yang umumnya merepresentasikan mainstream pandangan Administrasi Publik Lama adalah sebagai berikut:


  • Fokus pemerintah adalah pada pemberian layanan langsung melalui agensi-agensi pemerintah yang eksis atau melalui otoritas baru.
  • Kebijakan dan administrasi publik terkait dengan pendesainan dan pengimplementasian kebijakan memfokuskan pada tujuan tunggal yang terdefinisi secara politis.
  • Administrator publik memainkan sebuah peran terbatas dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan; mereka bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan publik.
  • Pemberian layanan seharusnya dijalankan oleh beberapa administrator yang bertanggung jawab kepada para pejabat terpilih dan memberikan diskresi terbatas dalam pekerjaannya.
  • Beberapa administrator bertanggung jawab kepada pimpinan yang dipilih secara demokratis.
  • Program-program publik dapat dijalankan dengan baik melalui organisasi-organisasi hierarkis, dengan beberapa manajer yang melaksanakan kontrol dari puncak organisasi itu.
  • Nilai-nilai primer organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
  • Beberapa organisasi publik beroperasi dengan sangat efisien sebagai sistem tertutup; keterlibatan warga negara adalah terbatas.
  • Peran administrator publik didefinisikan sebagai perencanaan, pengaturan, penempatan staf, pengarahan, pengoordinasian, pelaporan, dan penganggaran.

Tidak ada pertanyaan bahwa Administrasi Publik Lama seharusnya diberikan sejumlah penghargaan. Beberapa administrator yang beroperasi di dalam batas-batas pandangan ini membuat (dan terus membuat) kontribusi dramatis dan penting terhadap masyarakat, dalam area-area yang berkisar dari pertahanan nasional, jaminan sosial, transportasi, kesehatan publik, dan sampai proteksi lingkungan. Administrasi Publik Lama mengizinkan kita untuk menghadapi secara efektif masalah-masalah yang sangat kompleks dan sulit dan untuk mempertahankan keseimbangan antara persoalan-persoalan politik dan administratif. Mengingat pada masa itulah, Administrasi Publik Lama berfungsi dengan baik, bahkan jika tidak sempurna. Ini akan terus berlangsung demikian. Sebagian besar agensi pemerintah masih mengikuti model organisasi dan manajemen dasar ini – atau setidaknya model ini nampaknya menjadi posisi “kegagalan” bagi beberapa agensi di semua level pemerintah. Namun model lama muncul di bawah serangan yang meningkat, khususnya oleh para pendukung apa yang kami sebut sebagai Manajemen Publik Baru.

Manajemen Publik Baru

Sebagaimana yang digunakan di sini, Manajemen Publik Baru mengacu pada sebuah kluster ide-ide dan praktek-praktek kontemporer yang, pada intinya, berusaha untuk menggunakan pendekatan sektor dan bisnis swasta dan dalam sektor publik. Sebagaimana yang telah kita saksikan, selama terdapat panggilan untuk “menjalankan pemerintah seperti sebuah bisnis”, versi terbaru perdebatan ini meliputi lebih daripada sekedar penggunaan teknik bisnis. Lebih daripada hal itu, Manajemen Publik Baru menjadi sebuah model normatif, model yang menandai perubahan yang amat besar tentang bagaimana kita berpikir tentang peran administrator publik, sifat p[profesi, dan bagaimana dan mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan.

Selama dua dekade silam, Manajemen Publik Baru telah menjalar ke negara ini dan ke seluruh penjuru dunia. Sebagai akibatnya, sejumlah perubahan positif telah diimplementasikan dalam sektor publik (Osborne dan Gaebler 1992; Osborne dan Plastik, 1997; Kettl 2000a; Kettl dan Milward, 1996; Lynn 1996; Pollit dan Bouckaert, 2000). Tema umum dalam banyak aplikasi ide-ide tersebut adalah penggunaan mekanisme pasar dan terminologi, di mana hubungan antara agensi-agensi publik dan para konsumennya dipahami dan mencakup transaksi yang sama dengan transaksi yang terjadi dalam pangsa pasar. “Digambarkan dengan penjelasan yang sangat luas, reformasi tersebut berusaha menggantikan proses-proses berbasis-aturan dan digerakkan oleh otoritas dengan taktik berbasis-pasar dandigerakkan oleh pasar (Kettl, 2000a, 3).

Dalam Manajemen Publik Baru, manajer-manajer publik ditantang untuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk mencapai hasil-hasil atau untuk memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah. Mereka didorong untuk “menyetir, bukan mendayung”, yang berarti bahwa mereka seharusnya mengasumsikan beban pemberian layanannya sendiri, namun jika memungkinkan, seharusnya mendefinisikan program-program yang akan dijalankan oleh orang lain, melalui pemberian kontrak atau rencana lainnya. Kuncinya yakni Manajemen Publik Baru banyak bergantung pada mekanisme pasar untuk memedomani program-program publik. Linda Kaboolian Harvard menjelaskan bahwa rencana tersebut mungkin mencakup “kompetisi di dalam unit-unit pemerintah dan di semua batas-batas pemerintahan ke sektor non-profit dan profit, bonus kinerja, dan hukuman” (Kaboolian 1998, 190). Tujuannya adalah untuk melonggarkan apa sokongan yang Manajemen Publik Baru lihat sebagai franchise monopoli inefisien agensi-agensi publik dan pegawai publik. Dengan mengelaborasi poin ini, Christopher Hood dari London School of Economics menulis bahwa Manajemen Publik Baru bergerak jauh dari model-model tradisional dalam melegitimasi birokrasi publik, seperti usaha perlindungan prosedural dalam diskresi administratif, dan lebih menyukai “kepercayaan pada pasar dan metode bisnis swasta serta ide-ide yang dituliskandalam bahasa rasionalisme ekonomi” (1995, 94).

Dengan mengikuti ide tersebut, kebanyakan manajer publik memprakarsai usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas dan menemukan mekanisme-mekanisme pemberian-layanan alternatif berdasarkan asumsi-asumsi dan perspektif-perspektif ekonomi. Mereka berkonsentrai pada akuntabilitas kepada konsumen dan kinerja tinggi, dengan merestrukturisasi agensi birokratis, mendefinisikan kembali misi organisasi, mempersingkat proses-proses agensi, dan meresentralisasikan pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, pemerintah dan agensi pemerintah berhasil dalam memprivatisasi fungsi-fungsi publik sebelumnya, dengan mempertahankan eksekutif puncak agar tetap bertanggung jawab terhadap tujuan kinerja yang dapat diukur, penetapan proses-proses baru untuk mengukur produktivitas dan efektivitas, dan merancang kembali sistem-sistem departemental untuk merefleksikan komitmen yang kuat terhadap akuntabilitas (Barzelay 2001; Boston dan rekan-rekannya, 1996; Pollitt dan Bouckaert 2000).

Donald Kettl dari Brookings Institution melihat apa yang beliau sebut sebagai “reformasi manajemen publik global” dengan memfokuskan pada enam isuinti, antara lain:

1.Bagaimana pemerintah dapat menemukan beberapa cara untuk memberikan layanan berlebih dari basis pendapatan yang sama atau lebih kecil?

2.Bagaimana pemerintah dapat menggunakan insentif gaya-pasar untuk menemukan patologi birokrasi; bagaimana mekanisme komando-dan-kontrol birokratis tradisional digantikan dengan strategi-strategi pasar yang akan mengubah perilaku manajer-manajer program itu?

3.Bagaimana pemerintah dapat menggunakan mekanisme pasar untuk memberikan warga negara (sekarang sering disebut sebagai konsumen) pilihan yang lebih besar di antara beberapa layanan – atau setidaknya mendorong perhatian yang lebih besar untuk melayani beberapa konsumen secara lebih baik?

4.Bagaimana pemerintah dapat membuat beberapa program lebih responsif? Bagaimana pemerintah dapat meresentralisasikan responsibilitas untuk memberikan beberapa manajer lini-depan dengan insentif yang lebih besar untuk memberikan layanan?

5.Bagaimana pemerintah dapat memperbaiki kapasitasnya untuk merencanakan dan melacak kebijakan?

Bagaimana pemerintah dapat memisahkan perannya sebagai pembeli layanan (kontraktor) dari perannya dalam pemberian layanan aktual?

6.Bagaimana pemerintah dapat memfokuskan pada output dan outcome bukan proses atau struktur? Bagaimana mereka menggantikan sistem top-down berbasis-peraturan dengan sistem bottom-up berbasis-hasil? (Disadur dari Kent 2000a, 1-2).

Selain itu, Jonathon Boston New Zealand telah mencirikan ciri-ciri atau doktrin pokok Manajemen Publik Baru sebagai berikut:

Penekanan pada manajemen bukan kebijakan;l perubahan dari penggunaan kontrol input ke kebergantungan pada ukuran-ukuran output yang dapat diukur dan target kinerja; devolusi kontrol manajemen yang dipadukan dengan pengembangan mekanisme pelaporan, pemantauan,dan akuntabilitas baru; diagregasi struktur-struktur birokrasi besar ke dalam agensi-agensi kuasi-otonom, khususnya pemisahan fungsi komersial dari non-komersial; preferensi terhadap kepemilikan privat, perjanjian, dan persaingan dalam provisi layanan publik; imitasi atau peniruan praktek-praktek manajemen sektor swasta khusus, seperti pengembangan rencana-rencana korporasi (dan) kesepakatan kinerja, pengenalan sistem renumerasi terkait-kinerja dan perhatian yang lebih besar pada imej korporasi; preferensi umum untuk insentif moneter bukan insentif non-moneter, seperti etika, etos, dan status; dan penekanan pada pemotongan-biaya, efisiensi, dan manajemen pengurangan. (Boston, 1991, 9-10).

Seluruh Dunia

Efektivitas agenda reformasi praktis di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat menempatkan pemerintah di seluruh penjuru dunia agar memperhatikan bahwa standar-standar baru dicari dan peran-peran baru ditetapkan. Ini bukan untuk mengatakan bahwa masing-masing negara tersebut mengikuti pola yang sama dalam mencari reformasi manajemen dalam sektor publik. Sebagaimana yang ditunjukkan dengan cermat oleh para pakar terkenal yang bernama Christopher Pollitt dan Geert Bouckaert, beberapa usaha terhadap reformasi dibatasi oleh filosofi dan kultur penyelenggaraan pemerintahan di dalam negara tertentu, oleh sifat dan struktur pemerintah negara itu, dan oleh keberuntungan dan kejadian yang kebetulan. Namun demikian, “rejim khusus melihat seolah-olah mereka lebih terbuka terhadap ide-ide ‘berbasis-kinerja yang lebih menyukai pasar dalam Manajemen Publik Baru daripada yang lainnya, khususnya negara-negara Anglo-Saxon, Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat” (2000, 60-61).

Beberapa usaha reformasi Selandia Baru patut diperhatikan, yang dimulai pada pertengahan tahun 1980an di mana Partai Buruh berkuasa setelah sembilan tahun keluar dari jabatan itu. Pada masa itu, ekonomi Selandia Baru mengalami stagnasi dan negara itu menemukan kesulitan dalam menopang program-program yang dulunya cukup banyak dan bantuan ekonomi. “reformasi Selandia Baru dimulai dengan pendekatan top-down yang berusaha untuk memprivatisasi program-program guna menggantikan insentif pasar untuk birokrasi komando-dan-kontrol; dan memfokuskan pada output dan hasil tunggal bukan input” (Kettl 2000a, 8). Prinsip utama yang mendasari model itu kelihatannya yakni pemerintah seharusnya hanya terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang tidak dapat ditangani secara efisien dan efektif di tempat lain dan pemerintah seharusnya diorganisir sepanjang lini-lini usaha privat. Selain itu, terdapat dependensi yang kuart pada sistem-sistem insentif dan penggunaan kontrak eksplisit antara menteri dan manajer atau antara pembeli (agen-agen) dan provider (kontraktor) (Boston dan rekan-rekannya, 1996, 4-6). Dalam terma sistem manajemen, Selandia Baru pada dasarnya tidak banyak terlibat dalam sistem layanan sipilnya, dengan mengizinkan para manajernya untuk menegosiasikan kontraknya sendiri dengan para pegawai dan mengenalkan sistem anggaran secara lebih terfokus pada kinerja dan hasil. Hasilnya adalah transformasi masif manajemen publik di Selandia Baru.

Perubahan-perubahan yang sama dalam pendekatan Australia terhadap administrasi dan manajemen publik pada tahun 1980an dan setelahnya juga dipicu oleh masa ekonomi yang sulit namun berjalan jauh dengan mengizinkan pemerintah untuk mengurangi program-program publik. Pada awal tahun 1983, pemerintahan di bawah Perdana Menteri Roberts Hawke mengesahkan gagasan “pengelolaan hasil-hasil” dan memprakarsai serangkaian manajemen finansial dan reformasi lain untuk mencapai tujuan ini. beragam usaha pada privatisasi, restrukturisasi pemerintah, dan usaha-usaha untuk mengevaluasi beberapa program dari sudut pandang hasil-hasil khusus yang diinginkan diimplementasikan. Beberapa manajer didorong untuk menggunakan proses-proses perencanaan gaya-korporasi guna mengidentifikasi beberapa prioritas, tujuan, dan sasaran, untuk merekonstitusi proses-proses manajemen finansial guna melacak pengeluaran secara lebih baik untuk menjelaskan hasil-hasil yang diinginkan, dan untuk menekankan efisiensi, produktivitas, dan akuntabilitas hasil-hasilnya.

Reformasi Inggris dipicu oleh usaha-usaha neo-konservatif Margaret Thatcher guna mereduksi ukuran negara bagian itu. Usaha awal kuncinya adalah untuk mereduksi biaya dan menjalankan beberapa aktivitas yang mungkin bisa disempurnakan dengan lebih baik dalam sektor swasta, sambil mensubyeksikan aktivitas-aktivitas itu tetap pada kompetisi pasar. Selain itu, Inisiatif Manajemen Finansial (Finansial Management Initiative) memusatkan pada pengidentifikasian pusat-pusat responsibilitas khusus, dengan mempertalikan biaya dengan outcome, dan mempertahankan beberapa manajer dengan kontrak agar bertanggung jawab terhadap pencapaian outcome tersebut. Pelaksanaan “citizens charter”berusaha untuk mempertahankan beberapa agensi agar bertanggung jawab terhadap pemenuhan standar-standar layanan khusus. (Versi Inggris atas) manajemen publik baru berasal dari argumen ekonomi dasar bahwa pemerintah menghadapi gangguan monopoli, biaya transaksi tinggi, dan masalah informasi yang memunculkan inefisiensi yang besar. Dengan menggantikan kompetisi pasar – dan insentif seperti-pasar – beberapa reformer percaya bahwa mereka dapat mengurangi ukuran pemerintah, mereduksi biaya-biayanya, dan memperbaiki kinerjanya” (Kent 200a, 14).

Pengalaman Amerika

Ide-ide tersebut pertama kali direalisasikan dan dipopulerkan di Amerika Serikat oleh buku terlaris David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul reinventing Goverment (1992; lihat juga Osborne dan Plastik, 1997). Dengan menggambarkan pengalaman-pengalaman negara lain, khususnya Selandia Baru, dan juga pengalaman di level negara bagian dan daerah di Amerika, Osborne dan Gaebler, seorang jurnalis dan mantan manajer kota, menyajikan sejumlah “prinsip” yang saat ini terkenal di mana “enterprener publik” bisa menjalankan reformasi pemerintahan masif, ide-ide yang tetap menjadi inti Manajemen Publik Baru, antara lain:

1.Pemerintah katalisator, yang menyetir bukan mendayung: enterprener publik bergerak melebihi opsi-opsi kebijakan, yang berfungsi sebagai katalisator di dalam komunitas untuk menghasilkan rangkaian tindakan alternatif. Mereka memilih untuk menyetir, dengan mengenalkan beberapa kemungkinan dan menekankan keseimbangan antara sumber dan kebutuhan-kebutuhan, bukan mendayung, dengan mengonsentrasikan pada sebuah tujuan tunggal. Orang-orang yang menyetir mendefinisikan masa depannya, bukan bergantung pada asumsi-asumsi tradisional (Osborne dan Gaebler 1992, 35).

2.Pemerintah milik-komunitas, yang memberdayakan bukan melayani: Enterpener publik mempelajari bahwa usaha lama untuk melayani beberapa klien menghasilkan dependensi, yang bertentangan dengan independensi ekonomi dan sosial. Tanpa mempertahankan pendekatan ini, enterprener tersebut mengalihkan kepemilikan inisiatif publik ke dalam komunitas. Mereka memberdayakan warga negara, kelompok-kelompok berdekatan, dan organisasi komunitas menjadi sumber-sumber solusinya sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992, 52).

3.Pemerintah kompetitif, yang memasukkan kompetisi ke dalam pemberian layanan:Enterprener publik mengakui bahwa usaha untuk memberikan setiap layanan tidak hanya menempatkan saluran dalam sumber-sumber publik namun juga menyebabkan organisasi-organisasi publik memperluas kapasitasnya, kemudian mereduksi kualitas layanan dan efektivitasnya. Enterprener tersebut menentang trend ini dengan mengembangkan kompetisi di antara provider layanan publik, swasta, dan non-pemerintah. Hasil-hasilnya adalah besarnya efisiensi, tingginya responsifitas, dan lingkungan yang menghargai inovasi” (Osborne dan Gaebler 1992, 80-83).

4.Pemerintah berbasis-misi, transformasi organisasi berbasis-aturan: Enterprener publik telah melihat bagaimana pembuatan aturan yang berlebihan dalam organisasi-organisasi birokratis dapat memperlemah inovasi dan membatasi kinerja pemerintah. Pembuatan aturan semacam itu selanjutnya didukung oleh sistem penganggaran dan sumber daya manusia yang kaku. Yang bertentangan, enterprener publik lebih dahulu memfokuskan pada misi kelompok itu – apa yang organisasi usahakan di lingkup internal dan eksternal. Anggaran, administrasi dan sistem-sistem lain didesain untuk mencerminkan misi menyeluruh (Osborne dan Gaebler, 1992, 110).

5.Pemerintah berbasis-hasil, pembiayaan outcome, bukan input: Enterprener publik percaya bahwa pemerintah seharusnya mencurahkan perhatiannya pada pencapaian tujuan publik substantif, atau outcome, yang bertentangan dengan pemusatan pada pengontrolan sumber-sumber publik yang diperluas dalam menjalankan pekerjaannya. Evaluasi terkini dan sistem penghargaan memfokuskan pada efisiensi fiskal dan kontrol, yang jarang menanyakan apa dampak yang diperoleh dari masing-masing inisiatif publik. Enterprener publik mentransformasikan sistem-sistem tersebut ke orientasi hasil – yakni akuntabilitas yang didasarkan pada kinerja pemerintah (Osborne dan Gaebler, 1992, 140-141).

6.Pemerintah berbasis-konsumen, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumen, bukan birokrasi: Enterprener publik belajar dari enterprener lain sektor swasta-nya di mana jikalau seseorang memfokuskan pada konsumen, warga negara tidak akan pernah merasa senang. Selama badan legislatif menyediakan sumber publik yang sangat besar untuk agensi pemerintah, agensi tersebut akan benar-benar akan mengaburkan basis konsumennya. Mereka berfungsi menurut prioritasnya sendiri, dan agensi-agensi tersebut akan menuntut sumber-sumber pembiayaan kepada mereka, bukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh konsumen. Enterprener publik menjalankan sistem ini dengan prioritas tertinggi, yakni melayani konsumen lebih dahulu (Osborne dan Gaebler, 1992), 166-167).

7.Pemerintah enterpraise, pendapatan bukan pengeluaran: Enterprener publik menghadapi batasan-batasan fiskal yang sama sebagaimana enterprener publik tradisional, namun perbedaannya adalah pada cara mereka memberikan respons. Bukannya meningkatkan pajak atau mengecam program-program publik, enterprener publik menemukan cara inovatif untuk melakukan lebih banyak dengan sedikit biaya. Dengan melembagakan konsep motif profit ke dalam bidang publik – misalnya, dengan bergantung pada harga dan fee untuk layanan publik dan investasi untuk membiayai inisiatif masa depan – enterprener publik mampu menambah nilai dan memastikan hasil-hasilnya, bahkan dalam masa-masa finansial yang sulit (Osborne dan Gaebler, 1992, 203-206).

8.Pemerintah antisipatif, pencegahan bukan perawatan:Enterprener publik menghabiskan sumber-sumber penyaluran ke dalam beberapa program untuk memecahkan masalah-masalah publik. Mereka mempercayai bahwa persoalan pokok seharusnya dicegah, dengan menghentikan masalah itu sebelum masalah itu sendiri terjadi. Pemerintah dalam masa sebelumnya merasa bangga dengan pemberian layanan – mampu menempatkan inisiatif lebih dahulu yang bertujuan untuk menyembuhkan sakit publik. Namun demikian, selama beberapa masalah dalam masyarakat postindustrial menjadi lebih kompleks, pemerintah kehilangan kapasitasnya untuk mbeir respons. Dengan kembali pada pencegahan, organisasi-organisasi publik akan lebih efisien dan efektif di masa mendatang (Osborne dan Gaebler, 1992, 219-221).

9.Pemerintah desentralisasi, dari hierarki ke partisipasi dan temawork. Enterprener publik mengapresiasi peran organisasi-organisasi terpusat yang dilayani dalam masa industrial. Lembaga-lembaga tersebut merepresentasikan tahap pertama ke arah profesionalisme dalam bidang administrasi publik. Namun masa lembaga-lembaga hierarkis telah berlalu. Kemajuan dalam teknologi informasi, perbaikan sistem komunikasi, dan peningkatan dalam kualitas tenaga kerja memunculkan masa baru organisasi-organisasi berbasis-tim yang lebih fleksibel. Pengambilan keputusan diperluas sepanjang organisasi – diserahkan kepada orang-orang yang pdt menemukan dan menentukan rangkaian kinerja tinggi (Osborne dan Gaebler 1992, 219-252).

10.Pemerintah orientasi-pasar, melakukan perubahan melalui pasar: Enterprener publik merespons kondisi-kondisi yang berubah dengan pendekatan-pendekatan tradisional, seperti berusaha untuk mengontrol situasi menyeluruh, namun dengan strategi-strategi inovatif yang bertujuan untuk membentuk lingkungan yang bisa memudahkan kekuatan-kekuatan pasar untuk bertindak. Masing-masing yurisdiksi – apakah negara, negara bagian, atau komunitas lokal – merepresentasikan sebuah pasar, kumpulan orang-orang, kepentingan, dan kekuatan sosial dan ekonomi. Enterprener publik menyadari bahwa pasar-pasar tersebut tetap melebihi kontrol badan politik tunggal. Jadi, strategi-strateginya memusatkan pada strukturisasi lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi secara sangat efektif, yang dapat memastikan kualitas kehidupan dan peluang ekonomi (Osborne dan Gaebler, 1992, 280-282).

Osborne dan Gaebler mengajukan sepuluh prinsip yang berfungsi sebagai kerangka konseptual baru untuk administrasi publik – sebuah checklist analitis untuk mentransformasikan tindakan-tindakan pemerintah. “Apa yang kami deskripsikan bukanlah apa-apa selain sebuah perubahan dalam model penyelenggaraan pemerintahan dasar yang digunakan di Amerika. Perubahan ini berjalan di sekitar kita, namun karena kita tidak mencarinya – karena kita berasumsi bahwa semua pemerintah harus besar, terpusat,dan birokratis – kita jarang melihatnya. Kita buta dengan realitas-realitas baru, sebab realitas-realitas tersebut tidak sesuai dengan pra-konsepsi kita” (Osborne dan Gaebler, 1992, 321).

Di Amerika Serikat, usaha untuk “menemukan kembali pemerintah” muncul terakhir daripada kemunculannya di negara Anglo-Saxon, yang lebih dipolitisi dan, menurut sebagian alasan, memiliki efek yang kecil pada struktur menyeluruh penyelenggaraan pemerintahan di negara itu dan lebih pada praktek-praktek manajerial. Dua usaha yang cukup penting yakni dikeluarkannya National Performance Review (NPR) dan Government Performance and Results Act. National Performance Review adalah usaha Presiden Bill Clinton, yang dipelopori oleh Wakil Presiden Al Gore, untuk menciptakan sebuah pemerintah yang bisa “bekerja lebih baik dan dengan biaya kecil”. Untuk melakukan hal itu, beberapa skor pegawai pemerintah dikirimkan ke agensi-agensi pemerintah yang berusaha untuk membuat operasinya dapat diperbaiki dan dibuat tidak mahal. Beberapa rekomendasi khusus yang dipertimbangkan dalam ratusan dan mencakup reformasi usaha pemerolehan, perubahan-perubahan dalam kebijakan personal, dan pengembangan dalam teknologi informasi. Lebih jauh lagi, terdapat penekanan yang kuat pada pelayanan “konsumen” pemerintah. Namun demikian, National Performance Review muncul berlawanan dengan latar belakang politik yang membutuhkan pengurangan serius dalam pekerjaan federal, sebab ini adalah salah satu aktivitas yang dapat menghasilkan penghematan yang cepat. Sementara itu, Government Performance and Result Act berbasis-kongres mengharuskan para manajer untuk menetapkan standar-standar kinerja khusus dan “mengelola hasil-hasil”-nya. Dengan meringkas masa-masa awal National Performance Review, Kettl menulis bahwa, meskipun terdapat kekurangan, NPR “bisa menghemat jumlah uang signifikan, menghasilkan reformasi manajerial substansial (khususnya dalam layanan konsumen dan proses-proses pemerolehan kembali), dan mempromosikan diskusi berbasis-kinerja tentang fungsi-fungsi pemerintah” (Kettl 200a, 29).

Pada poin ini, kami telah mendiskusikan Manajemen Publik Baru dari sudut pandang usaha-usaha praktis yang dijalankan dalam pemerintah di seluruh dunia untuk mereformasi operasi pemerintah. Namun kami seharusnya juga memperlihatkan berbagai macam justifikasi intelektual untuk Manajemen Publik Baru. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh Lynn (1996), Justifikasi ini muncul dari sekolah-sekolah “kebijakan publik” yang berkembang pada tahun 1970an dan dari gerakan “manajerialis” di seluruh penjuru dunia (Pollitt 1993).

Perspektif kebijakan yang muncul di beberapa sekolah urusan publik dan khususnya sekolah-sekolah kebijakan publik pada dua dekade terakhir memiliki akarnya lebih jelas dalam ilmu ekonomi yang bertentangan dengan program-program orientasi sains politik dalam administrasi publik. Kebanyakan analis kebijakan dan orang-orang yang terlibat dalam evaluasi kebijakan dilatih dalam atau setidaknya mengenal ilmu ekonomi, dan di rumah dengan terma seperti “ekonomi pasar”, “biaya dan manfaat”, dan “model pilihan rasional”. Sebaliknya, sekolah-sekolah tersebut mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang mereka sebut sebagai “manajemen publik” untuk membedakannya dari “administrasi publik”, meskipun terdapat fakta bahwa manajemen publik dan administrasi publik menekankan implementasi kebijakan publik melalui perilaku dan operasi berbagai agensi pemerintah. (Dua terma itu dapat digunakan secara sama dan kerap kali serupa, namun jika terdapat perbedaan, maka diskusi manajemen publik ini akan cenderung menunjukkan sebuah bias ke arah interpretasi ekonomi perilaku manajerial yang bertentangan dengan diskusi administrasi publik, yang kemungkinan besar didasarkan pada sains politik, sosiologi, atau analisis organisasional).

Sebagai ekstensi terakhir pandangan ekonomi, Manajemen Publik Baru jelas terkait dengan perspektif rasionalis dan, sebagaimana yang telah kita perhatikan sejak awal, teori pilihan publik. Salah satu variasi penting dalam teori pilihan publik yang juga mempengaruhi pengembangan Manajemen Publik Baru adalah apa yang disebut sebagai “teori agensi” atau “teori agen utama”. Teori agensi terkait dengan relasi antara principal dan agen. “Agensi” mengacu pada sebuah kondisi di mana satu individu (agen) bertindak demi kepentingan yang lain (principal). Misalnya, jika saya menggaji seorang pengacara, saya adalah principal dan pengacara adalah agen saya, namun pengacara memiliki banyak insentif – memenangkan kasus (tujuan saya) dan memaksimalkan jam-jam yang menguntungkan (tujuannya). Karena tujuan saya tidaklah konsisten, semua jenis masalah muncul ke permukaan. Dalam Manajemen Publik Baru, teori agensi dapat digunakan untuk menganalisis isu-isu yang muncul di dalam sebuah birokrasi khusus (misalnya, apa insentif yang mungkin disediakan oleh principal untuk mengasumsikan pemenuhan permohonan seorang agen?) atau untuk menilai efek-efek struktur institusional berbeda (misalnya, bagaimana banyak kepentingan yang mempengaruhi perilaku polisi bisa mempengaruhi sebuah keputusan untuk memprivatisasi kepolisian?).

Pilihan publik (dan teori agensi yang menyertainya) tidak hanya menghasilkan model pemerintah yang elegan dan kuat, namun mereka juga berfungsi sebagai jenis peta jalan intelektual untuk usaha-usaha praktis dalam mereduksi pemerintah dan membuatnya mengeluarkan biaya yang tidak begitu besar.Misalnya, Boston dan para koleganya berargumen bahwa “satu dari sebagian besar ciri berbeda dan menyolok reformasi manajemen publik Selandia Baru adalah sesuatu yang dibentuk oleh teori pilihan publik dan ekonomi organisasional, khususnya teori agensi” (1996, 16). Sebagaimana yang telah kita lihat, dalam bentuknya yang paling sederhana, pilihan publik memandang pemerintah dari sudut pandang pasar dan konsumen. Sebaliknya, komitmen teri pilihan publik terhadap pilihan rasional mengimplikasikan sebuah seleksi nilai, yang kerap kali adalah sebuah komitmen terhadap efisiensi dan produktivitas. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hood, tidaklah mengejutkan bahwa Manajemen Publik Baru jelas menempatkan penekannya pada nilai-nilai seperti efisiensi, dengan mengeliminir pemborosan, atau menyesuaikan sumber-sumber untuk tujuan-tujuan yang jelas (apa yang beliau sebut sebagai “nilai sigma”). Namun demikian, beliau menunjukkan bahwa pencapaian nilai-nilai tersebut mungkin muncul dengan mengorbankan kejujuran dan perjanjian yang wajar, penghindaran bias, pengejaran akuntabilitas (“nilai-nilai theta”) atau keamanan, keuletan, dan kapasitas untuk menyesuaikan diri (“nilai-nilai lambda”) (Hood, 1991; lihat juga Hood dan Jackson, 1994, 14).

Justifikasi intelektual kedua menunjukkan bahwa Manajemen Publik Baru berakar dalam pada apa yang diistilahkan sebagai “manajerialisme” atau “non-manajerialisme”. Menurut pandangan manajerialis, kesuksesan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme manajer. Christopher Pollitt mendeskripsikan “manajerialisme” sebagai kepercayaan bahwa jalan ke kemajuan sosial adalah melalui produktivitas yang lebih besar, di mana produktivitas itu akan dipertinggi oleh disiplin yang ditentukan oleh beberapa manajer yang berorientasi ke arah efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, dan untuk menjalankan peran penting ini (bahkan apocalyptic), beberapa manajer harus memberikan apa yang diistilahkan sebagai “kebebasan untuk mengelola” atau bahkan “hak untuk mengelola” (Pollitt, 1993, 1-3).

Beberapa pakar berargumen bahwa kemunculan Manajemen Publik Baru dapat dipertalikan tidak hanya oleh manajerialisme, namun dengan pengaruh “manajerialis” yang meningkat. Yang menarik, di Selandia Baru dan Australia, bagian transformasi yang terjadi jelas terkait dengan kemunculan kelas manajerial yang didominasi oleh ekonomi dan orang-orang yang dilatih dalam ekonomi. Pakar Australia yang bernama Anna Yeatman, misalnya, berargumen bahwa perubahan ke arah manajerialisme dalam layanan publik Australia terjadi ketika sejumlah besar kandidat orientasi-kerja mencurahkan perhatiannya pada konsep administrasi publik rasional dan orientasi-kerja, digaji dengan posisi level-tinggi. Michael Pusey dari University of New South Wales mendukung pandangan itu, dengan berargumen bahwa, dalam agensi-agensi pusat Australia, staf ditarik dari profesi ekonomi atau terkait-bisnis – sebuah kelompok yang ia istilahkan sebagai “rasionalis ekonomi”, mampu mempengaruhi birokrasi lini dan, ketika mengancam dengan menyembunyikan sumber-sumber, menariknya ke dalam perspektif rasionalitas (Pusey, 1991).

Kami telah melihat bahwa Manajemen Publik Baru, sebagai Administrasi Publik Lama sebelumnya, bukan hanya tentang implementasi teknik-teknik baru, namun ini membawanya dengan serangkaian nilai baru, serangkaian nilai dalam kasus yang ditarik dari ekonomi pasar dan manajemen bisnis. Sebagaimana yang telah diperlihatkan, terdapat tradisi lama dalam administrasi publik yang mendukung ide bahwa “pemerintah seharusnya dijalankan seperti sebuah bisnis”. Bagi sebagian besar pihak, rekomendasi ini berarti bahwa agensi-agensi pemerintah seharusnya memakai praktek-praktek yang berkisar dari “manajemen ilmiah” ke “total quality management”, yang bermanfaat dalam sektor swasta. Manajemen Publik Baru menggunakan ide ini satu langkah ke depan, dengan berargumen bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya memakai teknik-teknik administrasi bisnis namun juga nilai-nilai bisnis khusus. Saat ini, Manajemen Publik Baru dipresentasikan sebagai model normatif untuk administrasi publik dan manajemen publik.

Melakukan Perdebatan

Yang jelas, Manajemen Publik Baru bukannya tanpa kritik. Kebanyakan pakar dan praktisi mengungkapkan beberapa persoalan tentang implikasi-implikasi Manajemen Publik Baru dan peran bagi manajer-manajer publik yang ditunjukkan oleh model ini. Misalnya, dalam simposium Public Administrasi Review tentang kepemimpinan, demokrasi, dan manajemen publik, sejumlah penulis mempertimbangkan beberapa peluang dan tantangan yang dipresentasikan oleh Manajemen Publik Baru. Orang-orang yang menentang Manajemen Publik Baru dalam simposium itu dan pakar lain yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kontradiksi inheren dalam gerakan itu (Fon, 1996), nilai-nilai yang dipromosikan (Frederickson 1996; deLeon dan Denhardt 2000; Schacther 1997), ketegangan antara penekanan pada desentralisasi yang dipromosikan dalam model pasar dan kebutuhan untuk koordinasi dalam sektor publik (Peters dan Savoie, 1996), dan peran berimplikasi dan hubungan cabang eksekutif dan legislatif (Carroll dan Lynn 1996). Lainnya mempertanyakan implikasi-implikasi gerakan privatisasi untuk nilai-nilai demokratis dan kepentingan publik (McCabe dan Vinzant 1999) dan bagaimana kewirausahaan dan apa yang Terry (1993, 1998) sebut sebagai “neo-manajerialisme” mengancam untuk melemahkan nilai-nilai demokratis dan konstitusional seperti kejujuran, keadilan, representasi, dan partisipasi.

Osborne dan Gaebler (1992) memberitahukan kepada kita untuk menyetir, bukan mendayung, sebuah kapal boat. Pertanyaan kami yakni: Selama bidang administrasi publik mengemukakan gagasan mendayung dan menerima tanggung jawab untuk menyetir, pernahkah bidang ini menukar salah satu pandangan “adminicentric” dengan yang lain? Dengan kata lain, pernahkah kita menukar salah satu model di mana para manajer publik berusaha untuk mencapai efisiensi dan produktivitas yang lebih besar dengan mengontrol agensi-agensinya dan kliennya untuk model lain yang kesamaan sesuatunya terjadi? Osborne dan Gaebler menulis, orang-orang yang menyetir kapal boat memiliki kekuasaan berlebih atas tujuannya daripada orang-orang yang mendayungnya (1992, 32). Jika ini adalah kasus, perubahan dari mendayung ke menyetor mungkin tidak hanya akan meninggalkan administrator dengan tanggung jawab terhadap kapal boat itu – memilih tujuan-tujuannya dan arah-arahnya dan menggambarkan sebuah jalan untuk mencapainya – namun juga memberikannya kekuasaan yang lebih besar.

Karena kesulitan kami dalam menyetir, kami melupakan siapa yang memiliki kapal boat itu.Dalam buku terbarunya yang berjudul Government Is Us (1998), King dan Stivers memperingatkan kita bahwa pemerintah memiliki warga negara (lihat juga Box, 1998; Cooper 1991; King, Feltoy, dan O’Neil 1998; Stivers 1994a, 1994b; Thomas 1995). Administrator publik seharusnya memfokuskan pada tanggung jawabnya untuk melayani dan memberdayakan warga negara selama mereka mengelola organisasi publik dan mengimplementasikan kebijakan publik. Dengan kata lain, dengan prioritas pada warga negara, penekanan seharusnyabukan pada menyetir atau mendayung kapal boat pemerintahan, namun pada pembangunan lembaga-lembaga publik yang ditandai oleh integritas dan responsifitas.

Yang penting, dalam membuat kasus ini, beberapa pendukung Manajemen Publik Baru kerap kali menggunakan Administrasi Publik Lama sebagai usaha untuk melawan prinsip-prinsip enterprenerial yang dapat dipandang sebagai superior. Perhatikanlah, misalnya, bagaimana Osborne dan Gaebler membangun prinsip-prinsipnya dengan alternatif birokrasi kaku yang diganggu dengan aturan-aturan berlebihan, yang di restriksi oleh sistem anggaran dan personel berbasis-peraturan, dan terikat dengan kontrol. Birokrasi tradisional tersebut dideskripsikan sebagai pengabaian warga negara, yang menjauhkan diri dari inovasi, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Menurut Osborne dan Gaebler, “Jenis pemerintah yang berkembang selama era industrial, dengan birokrasi lemah dan terpusat, preokupasinya dengan beberapa peraturan dan regulasi, dan rantai komando hierarkisnya, tidak akan lagi bekerja dengan baik” (1992, 11-12). Menurut fakta, selama mereka melayani tujuan-tujuan awalnya, “lembaga-lembaga birokratis benar-benar akan menggagalkan kita” (15).

Jika prinsip-prinsip Manajemen Publik Baru dibandingkan dengan Administrasi Publik Lama, maka Manajemen Publik Baru jelas akan terlihat seperti sebuah alternatif yang lebih disukai. Namun pengujian sepintas terhadap literatur terbaru dalam administrasi publik secara jelas menunjukkan bahwa dua pendekatan tersebut tidak mencakup teori atau praktek pemerintah kontemporer (Box 1998; Bryson da Crosby 1992; Carnavale 1995; Cook 1996; Cooper 1991; deLeon 1997; Denhardt 1993; Farmer 1995; Fox dan Miller 1995; Frederickson 1997; Gawthrop 1998; Goodsell 1994; Harmon 1995; Hummel 1994; Ingraham dan rekan-rekannya, 1994; Light 1997; Luke 1998; McSwite 1997; Miller dan Fox 1997; Perry 1996; Rabin, Hildrreath, dan Miller, 1998; Rohr 1998; Stivers 1993; Terry 1995, Thomas 1995; Vinzantdan Crothers 1998; Wamsle dan rekan-rekannya, 1990; Wamsley dan Wolf 1996). Bidang administrasi publik tentu saja tidak berbenturan dengan retorika reformasi progresifselama beberapa ratus tahun terakhir. Terdapat evolusi intelektual dan praktis dalam pemikiran dan praktek, dengan pengembangan penting dan substansial yang tidak dapat digolongkan di bawah titel “Manajemen Publik Baru”. Jadi, terdapat lebih dari dua pilihan.

Kami menolak gagasan bahwa Manajemen Publik Baru orientasi-pasar yang ditemukan kembali seharusnya hanya dibandingkan dengan Administrasi Publik Lama di mana, meskipun banyak kontribusi pentingnya, harus dipandang sebagai sesuatu yang sama dengan birokrasi, hierarki, dan kontrol. Sebagaimana yang telah kami katakan, jika ini adalah perbandingan, Manajemen Publik Baru akan selalu menang. Yang bertentangan, kami akan menunjukkan bahwa apa yang terlupakan dalam perdebatan adalah serangkaian prinsip-prinsip terorganisir untuk alternatif yang lebih kontemporer terhadap Manajemen Publik Baru. Kami menyarankan bahwa Manajemen Publik Baru seharusnya dibandingkan dengan apa yang kami istilahkan sebagai Layanan Publik Baru,serangkaian ide tentang peran administrasi publik dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menempatkan layanan publik, pemerintahan demokratis, dan keterlibatan sipil di bagian pusat atau inti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun