Mohon tunggu...
Imam Fathurrohman
Imam Fathurrohman Mohon Tunggu... -

mencoba sering menulis untuk mengurai hidup, menyukai musik, sastra, budaya, spiritual, olahraga, dll.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Raja Jahat dan Raja Baik

18 Maret 2012   05:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, dahulu kala ada dua orang raja: Raja Baik dan Raja Jahat. Suatu ketika, Si Raja Jahat jatuh sakit. Menurut tabib yang didatangkannya, ia hanya bisa sembuh jika memakan sejenis ikan yang ketika itu mustahil didapatkan karena pada musim itu jenis ikan tersebut berada jauh di dasar lautan. Si Raja Jahat pun memerintahkan seluruh prajurit dan rakyatnya mencari ikan tersebut. Meski diyakini mustahil didapat, namun para prajurit dan rakyat terus mencarinya karena takut dipenggal jika tidak dapat menangkap ikan itu.

Namun, Allah memiliki kehendak. Allah mengutus para malaikat untuk menggiring ikan itu keluar dari lubangnya di dasar laut supaya orang mudah menangkapnya. Akhirnya, ikan itu pun ditangkap. Raja memakannya dan ia segera sembuh.

Pada musim berikutnya, giliran Si Raja Baik jatuh sakit. Ia menderita penyakit yang sama seperti yang diderita Si Raja Jahat. Tetapi ia sakit pada waktu ikan yang menjadi obatnya itu berada pada permukaan laut, sehingga kemungkinan sangat mudah untuk menangkapnya. Namun, lagi-lagi, Allah memiliki kehendak. Allah mengutus para malaikat untuk menggiring ikan-ikan itu dari permukaan laut sampai masuk kembali ke lubang-lubangnya di dasar laut. Para prajurit dan seluruh rakyat yang ramai-ramai mencari ikan itu dengan penuh keikhlasan dan rasa sayangnya kepada Sang Raja, tidak berhasil mendapatkannya. Alhasil, Si Raja Baik itu pun meninggal dunia.

Berdasarkan kejadian tersebut, para malaikat langit dan penduduk bumi keheranan. Mereka bingung dan bertanya kepada Allah. Mereka kira ada ketidakadilan dalam peristiwa itu, di mana Si Raja Jahat diberikan kesembuhan, sementara Si Raja Baik justeru dimatikan. Atas kejadia itu, kemudian Allah mewahyukan kepada para malaikat langit dan kepada para nabi di zaman itu:

“Inilah Aku. Yang Pemurah, Pemberi Karunia, Mahakuasa. Tidak menyusahkan Aku apa yang Kuberikan. Tidak bermanfaat bagi-Ku apa yang Kutahan. Sedikit pun Aku tidak menzalimi siapa pun. Adapun Raja yang jahat itu, Aku mudahkan baginya mengambil ikan bukan pada waktunya. Dengan begitu Aku membalas kebaikan yang ia lakukan. Aku balas kebaikan itu sekarang supaya ketika ia datang pada Hari Kiamat, tidaklah ada kebaikan pada lembaran-lembaran amalnya. Ia masuk ke neraka karena kekufurannya. Adapun Raja Baik yang ahli ibadah itu, Aku tahan ikan pada waktunya. Dia pernah berbuat salah. Aku ingin menghapuskan kesalahannya itu dengan menolak kemauannya dan menghilangkan obatnya supaya kelak dia datang menghadap-Ku tanpa dosa. Dan dia pun masuk ke surga.”

***

Kisah di atas --konon berdasarkan Hadits Qudsi yang diceritakan Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya (Wallahu A’lam)-- sejatinya menjawab kebingungan kita selama ini. Bukankah kita sering bertanya-tanya: “Mengapa Allah membiarkan orang-orang mukmin yang baik tidak henti-hentinya ditimpa duka? Sementara orang kafir dan durhaka terus-menerus mendapatkan keberuntungan? Mengapa pemimpin yang zalim kerap berusia panjang, sementara pemimpin yang adil umumnya cepat meninggal dunia?

Rupanya, --meniliki kisah di atas-- musibah yang datang silih berganti dalam kehidupan ini, boleh jadi merupakan “tanda” cinta Allah kepada kita. Allah berkehendak menghapus segala dosa dan kesalahan kita melalui musibah tersebut. Allah membayar dosa dan kesalahan kita secara “cash” di dunia ini, sehingga pada Hari Kiamat kelak, kita akan datang menghadap-Nya dengan seluruh kebaikan kita tanpa secuil pun dosa.

Sementara kenikmatan yang kita peroleh bertubi-tubi saat ini, boleh jadi, justeru merupakan “batu sandungan” yang Allah timpakan kepada kita. Allah berkehendak membayar kebaikan kita melalui kenikmatan tersebut. Allah membayar kebaikan kita secara “cash” di dunia ini, sehingga pada Hari Kiamat nanti tak ada secuil pun kebaikan saat menghadap-Nya.

Sejatinya, musibah dan nikmat hanyalah ujian yang ditimpakan Allah kepada kita. Terhadap dua ujian itu, Allah memberikan pilihan, apakah kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersabar dan bersyukur atau sebaliknya?

So, positive thinking saja kepada Allah sambil berupaya dan berharap semoga Dia menganugerahi kita sifat sabar dan syukur atas segala takdir yang ditetapkan-Nya.

Wallahu A’lam bish Shawab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun