Mohon tunggu...
Pendidikan

Kemampuan Berbicara dan Menulis

7 Mei 2015   08:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seringkali terdengar pengakuan jujur bahwa, berbicara dan juga menulis ternyata dirasakan tidak selalu mudah. Tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik, lebih-lebih berbicara di forum resmi seperti seminar, dialog, berdebat, dan sejenisnya. Demikian pula kemampuan menulis, ternyata tidak semua orang memilikinya. Padahal seharusnya, bagi orang-orang terentu, misalnya guru, dosen, dan mahasiswa, kemampuan berbicara dan menulis adalah merupakan tuntutan yang seharusnya bisa dipenuhi.

Akibat keterbatasan kemampuan tersebut seringkali muncul kejadian yang agak aneh, yaitu hanya sekedar mencari orang yang mampu menyampaikan sambutan pada pertemuan terbatas atau berskala kecil saja, ternyata tidak mudah. Banyak orang menghindar dari tugas itu dengan berbagai alasan. Padahal jika diteliti, mereka menolak tugas itu, oleh karena yang bersangkutan tidak terbiasa dan atau tidak mampu berbicara di muka umum. Padahal, yang bersangkutan sebenarnya adalah orang berpendidikan, bahkan juga seorang sarjana.

Kesulitan juga dialami oleh banyak orang dalam menulis. Sekalipun bagi orang yang terbiasa, menulis adalah kesenangan, tetapi bagi orang tertentu dianggap sebagai tugas berat yang tidak mudah dijalankan. Keterbatasan orang yang memiliki kemampuan menulis, menjadikan jumlah tulisan dalam bentuk buku, majalah atau lainnya, tidak terlalu banyak, bahkan termasuk di kalangan perguruan tinggi. Sebagai bukti, di perpustakan dan juga di toko buku, sekedar mendapatkan buku tulisan para dosen, ternyata tidak mudah. Hal itu disebabkan oleh karena jumlah buku yang dihasilkan oleh mereka terbatas. Banyak dosen tidak gemar atau mungkin saja juga tidak mampu menulis, sehingga akhirnya tidak memiliki tulisan atau buku yang dihasilkan.

Terkait dengan keterbatasan orang yang mampu berbicara tersebut, mengakibatkan banyak kegiatan seminar, diskusi, dialog atau jenis pertemuan lain, setelah dibuka kesempatan tanya jawab, tidak banyak peserta yang bersedia memanfaatkan waktu untuk mengajukan pertanyaan. Banyak orang mengikuti seminar, berdiskusi atau dialog, tetapi tidak mau berbicara. Kedatangannya sekedar untuk mendengarkan ceramah dari nara sumber dan memperoleh sertifikat. Kenyataan yang memprihatinkan itu juga terjadi dalam kegiatan tulis menulis. Tidak semua sarjana atau bahkan juga guru atau dosen memiliki kebiasaan menulis.

Orang yang kurang memiliki kemampuan berbicara dan juga menulis dimaksud ternyata jumlahnya tidak sedikit, dan anehnya juga terjadi di kalangan guru atau dosen. Kenyataan seperti itu sebenarnya harus dilihat sebagai masalah. Para guru atau lebih-lebih dosen harus cakap menulis dan berbicara. Banyak orang yang memiliki kemampuan terbatasan dalam menulis dan berbicara itu, kiranya bisa dikaitkan dengan model pembelajaran di sekolah mereka terdahulu. Di sekolah-sekolah, para siswa -----disegaja atau tidak, lebih banyak dijadikan pendengar, peniru, dan atau diposisikan semacam sebagai flash dish atau alat perekam.

Kegiatan atau pelajaran di ruang-ruang kelas, agar kemampuan intelektual dan keberaniannya tumbuh maksimal, maka para siswa seharusnya dilatih berimajinasi, melakukan refleksi, menganalisis, menjawab berbagai persoalan, dan semacamnya. Adanya pembicaraan pada akhir-akhir ini tentang buku teks, dan jika buku dimaksud tidak tersedia maka seolah-olah pelajaran tidak akan berlangsung, maka sebenarnya hal itu menggambarkan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam pembelajaran di sekolah. Bahwa para siswa tidak terlalu banyak diajak untuk berobservasi, bereksperimentasi, dan melakukan penalaran sendiri. Padahal kecakapan siswa menjadi semakin tumbuh dan berkembang adalah dari kegiatan sebagaimana disebutkan terakhir itu, dan bukan dari mempelajari dan membaca buku teks sebagaimana dimaksudkan itu.

Kernyataan tersebut diperparah lagi oleh model ujian di sekolah yang kebanyakan menggunakan soal pilihan berganda. Soal-soal jenis pilihan berganda tidak akan mampu melatih para siswa untuk berimajinasi, melakukan refleksi, dan menganalisis secara bebas, luas, dan mendalam. Maka artinya, para siswa di sekolah kurang mendapatkan latihan untuk berpikir sendiri, tidak dibiasakan bertanya dan mencari jawaban dari berbagai persoalan yang sedang dipelajari. Belajar di sekolah tidak diberi kebebasan, dan seolah-olah terkungkung oleh aturan, ketentuan, tradisi, atau kebiasaan yang tidak menguntungkan. Soal-soal ujian berbentuk multiple choice, sebenarnya hanya memudahkan guru atau petugas untuk mengoreksi, tetapi tidak akan berhasil melatih seseorang berpikir luas sebagaimana yang justru kelak dibutuhkan, yaitu ketika mereka terjun ke masyarakat.

Seharusnya pengambil kebijakan menyadari bahwa soal-soal dalam kehidupan yang akan dijawab oleh lulusan sekolah akan sangat komplek. Di tengah-tengah masyarakat, para lulusan lembaga pendidikan tidak saja dihadapkan pada soal pilihan berganda, atau memilih alternatif jawaban antara ya dan tidak, melainkan harus menjawab berbagai soal kehidupan yang luas dan beragam. Sayangnya, sekolah hanya melatih untuk menjawab soal yang sederhana itu. Akibatnya, sekalipun sudah menjadi guru atau juga dosen, mereka tidak cukup memiliki kemampuan untuk berbicara dan juga menulis. Kepandaian mereka lebih banyak hanya memilih dan mengisi titik-titik. Inilah kiranya problem pendidikan dan pengajaran di sekolah yang juga seharusnya segera diubah secara mendasar. Jika tidak, maka akan berakibat fatal, yaitu para lulusannya sekedar berbicara dan menulis saja merasa berat, sehingga akhirnya tidak tampak hebat dan juga tidak banyak karya akademik yang dihasilkan. Wallahu a�lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun