Istilah ngaji biasanya akrab dikenal di lingkungan pesantren. Seorang satri mengaji ilmu fiqh, ilmu akidah, ilmu tasawwuf, balaghoh, dan lain-lain kepada kyainya. Biasanya ada kitab tertentu yang dikaji, pelaksanaannya dimulai dari bagian awal kitab dimaksud hingga akhir. Itulah sebabnya, di pesantren ada istilah khatam. Artinya seseorang telah menamatkan satu kitab tertentu, dan kemudian jika dikehendaki, akan berganti pada kitab lainnya.
Berbeda dengan di pesantren, ngaji di perguruan tinggi disebut kuliah atau mengkaji sesuatu. Dalam perkuliahan, bahan yang diberikan oleh dosen biasanya bersumber dari bermacam-macam buku atau literatur. Sebenarnya tujuan akhir dari kedua jenis institusi pendidikan dimaksud, baik di pesantren atau di perguruan tinggi adalah sama, yaitu agar santri atau mahasiswa memiliki pengetahuan atau pemahaman terhadap apa yang dipelajarinya.
Perbedaan lain, bahwa di perguruan tinggi terdapat kegiatan yang tidak terbiasa dilakukan di pesantren, ialah riset. Kegiatan riset dimaksudkan untuk mencari, mengembangkan dan atau sekedar memverifikasi pengetahuan yang sudah ada. Lewat kegiatan itu, kemudian muncul istilah mengkaji. Melakukan kajian artinya adalah mempelajari sesuatu secara kritis dan obyektif untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan atau kesimpulan yang bersifat baru.
Pada akhir-akhir ini, di lingkungan pesantren sudah mulai muncul kegiatan untuk mengembangkan ekonomi. Para santri diperkenalkan dengan berbagai jenis usaha, baik terkait dengan keuangan, pertanian, jasa, peternakan, kelautan, industri, dan lain-lain. Dalam bidang keuangan misalnya, pesantren mengembangkan BMT, dan begitu pula pada bidang lainnya. Usaha yang dilakukan oleh pesantren itu ternyata berhasil. Keberhasilan itu misalnya, terdapat BMT di suatu daerah yang dikelola oleh orang-orang pesantren, memiliki aset hingga triliyunan rupiah. Selain itu, ada pesantren yang mampu bersaing dengan pasar modern.
Kegiatan ekonomi di mana dan kapan saja, selalu besifat dinamis dan bahkan berubah-ubah menyesuaikan dengan zamannya. Aktifitas ekonomi juga sangat erat terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan juga teknologi. Bahkan, kegiatan ekonomi selalu terlibat dengan berbagai persaiangan. Oleh karena itu tidak terkecuali pesantren, jika memasuki dunia ekonomi, maka mau tidak mau, harus bersedia akrab dengan ilmu, terknologi, dan bahkan siap bersaing dengan kekuatan ekonomi lainnya.
Lazimnya dalam persaingan, siapa saja yang kuat, maka mereka itulah yang menang. Kuat yang dimaksudkan itu adalah menyangkut segala-galanya, yaitu kuat dari aspek modalnya, strateginya, teknologi, informasi, pemasaran, jaringan, dan lain-lain. Mereka yang tidak menguasai hal-hal tersebut pasti kalah, tidak terkecuali adalah ekonomi yang dikembangkan oleh pesantren. Oleh karena itu, jika pesantren menghendaki terlibat dalam pengembangan ekonomi, maka berbagai kekuatan tersebut harus dipersiapkan dan bahkan diperkokoh.
Atas dasar pandangan tersebut maka, pesantren ke depan tidak cukup sebatas mengaji kitab, tetapi juga dituntut untuk mengkaji berbagai literatur dan bahkan juga melakukan riset atau kajian yang luas dan mendalam. Apalagi hal itu misalnya, ketika pesantren, mau mengembangkan kegiatan ekonomi pada skala besar. Sebagai contoh, tatkala pesantren ingin bersaing mengembangkan ekonomi kelautan dalam skala besar, maka tidak mungkin hanya mengandalkan cara-cara yang bersifat tradisional, pasti kalah.
Tatkala pesantren bermaksud memasuki wilayah ekonomi modern dan berskala besar, maka juga harus menguasai teknologi modern, jaringan dan instrumen komunikasi, informasi yang luas, dan lain-lain. Berbagai hal itu semua menuntut agar pesantren tidak saja mengaji, melainkan juga melakukan kajian melalui riset. Bacaan para santri bukan saja ayat-ayat qawliyah, melainkan juga ayat-ayat kauwniyah. Tatkala al Qur�an mengajarkan agar manusia memikirkan penciptaan langit dan bumi, selalu menggunakan akal, dan agar bertebaran di muka bumi, maka umat Islam, dalam hal ini pondok pesantren, harus membuka diri seluas-luasnya.
Sebenarnya apa yang pada akhir-akhir ini mulai terjadi di pesantren, yakni mengembangkan ekonomi, hal itu sebenarnya merupakan tuntutan keadaan yang tidak mungkin lagi dianggap sederhana. Ketika umat Islam ingin kuat dan menjadi rahmatat lil alamien dan apalagi akan mau dikalahkan oleh kekuatan lain, maka tidak mungkin mengabaikan faktor ekonomi. Pemegang kendali ekonomi ternyata adalah yang akan menguasai apa dan siapapun. Ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan informasi, dan bahkan kekuasaan tidak akan bisa diperoleh tanpa kekuatan ekonomi.
Mengabaikan hal tersebut sebenarnya sama artinya dengan menjadikan pesantren dan bahkan Islam kalah dibanding umat lainnya. Oleh karena itu, mengkaji berbagai peluang dan potensi ekonomi serta kemudian memanfaatkannya, bagi pesantren, sebagaimana yang pada akhir-akhir ini sudah mulai berkembang adalah merupakan keniscayaan. Wallahu a�lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H