Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Antara Pejuang dan Broker

30 April 2015   09:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang banyak orang mengaku, bahwa dirinya adalah sebagai seorang pejuang. Sehari-hari melakukan sesuatu demi kepentingan orang banyak. Mereka tampak sibuk untuk menyelesaikan tugasnya sampai berhasil dan tidak pernah beristirahat. Atas kerjanya yang gigih itu, pantas mereka disebut sebagai seorang pejuang. Namun pertanyaannya, apakah benar pengakuannya itu, sebagai pejuang ?

Bisa saja orang yang menampakkan diri sebagai pejuang, tetapi sebenarnya adalah bukan, melainkan sekedar menjadi broker atau dalam bahasa kasarnya disebut makelar. Antara pejuang dan broker atau makelar seringkali serupa, sekalipun sebenarnya di antara keduanya sangat mudah dibedakan. Seorang pejuang biasanya sanggup berkorban, dan sebaliknya adalah seorang broker. Biasanya seorang yang bermental broker tidak mau berkorban, malahan justru sebaliknya, harus selalu beruntung atas pekerjaannya itu.

Atas dasar pengamatannya, seorang kyai yang cukup kharismatik mengatakan bahwa, sebenarnya sangat mudah membedakan antara penyandang mental pejuang dan mental broker. Seorang pejuang selalu mempertanyakan pada dirinya sendiri, yaitu apa yang bisa dikerjakannya untuk kepentingan ummat atau orang lain. Sebaliknya, broker akan bertanya, apa yang bisa dilakukan olehnya agar beruntung. Maka, itulah sebabnya, penyandang mental pejuang selalu bersedia berkorban, sementara itu seorang broker tidak pernah akan mau mengeluarkan sesuatu miliknya, kecuali setelah melakukan kalkulasi, akan memperoleh keuntungan.

Bangsa ini sedang membutuhkan para pejuang, yaitu orang-orang yang mau bekerja keras untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negaranya. Sebagai pejuang adalah yang bersangkutan selalu sanggup berkorban untuk kepentingan perjuangannya. Sebaliknya, bangsa ini sama sekali tidak membutuhkan para broker. Sebab, jika di negeri ini banyak orang yang bemental broker, apalagi mereka itu menempati posisi strategis, maka hingga kapan pun bangsa ini tidak akan maju. Orang-orang yang bermental broker, sekalipun tampaknya bekerja keras, tetapi sebenarnya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan atau keluarganya.

Atas dasar ukuran tersebut, sebenarnya sangat mudah melihat, siapa sebenarnya orang yang benar-benar pejuang dan atau sebaliknya, sekedar sebagai broker. Jika seseorang sehari-hari yang dibicarakan adalah gaji, upah, fasilitas, dan sejenisnya, maka sekalipun mengaku pejuang, berpakaian seragam dinas lengkap dengan berbagai asesorisnya, maka sebenarnya, mereka itu belum tepat disebut pejuang. Sekalipun mengaku pejuang, tetapi ketika sehari-hari hanya berbicara tentang besarnya gaji yang diperoleh, jumlah tunjangan, mobil dinas, dan fasilitas lainnya, maka rasanya mereka itu akan lebih tepat disebut sebagai buruh, pegawai, atau bahkan seorang broker itu.

Sudah menjadi rumus bahwa, komunitas apapun tidak akan maju jika dihuni oleh orang-orang yang bermental broker. Kemajuan organisasi pada level atau jenis apapun hanya akan diraih oleh karena adanya para pejuang. Bangsa Indonesia pada tahun 1945 meraih kemerdekaan, adalah karena pada waktu itu banyak pemimpin yang menyandang mental sebagai pejuang. Mereka melakukan apa saja demi bangsa dan tanah airnya, dan bukan sesuatu yang bersifat pribadi. Selain itu, para pejuang masih bersedia mengorbankan apa saja, baik harta dan bahkan jiwanya. Umpama pada waktu itu, pemimpin ini bangsa bermental broker, maka negeri ini belum merdeka sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini.

Ketika bangsa ini sudah merdeka hingga 70 tahun, tetapi banyak orang masih merasa prihatin, bahwa keadaannya masih belum mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, masih banyak kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya, maka sebenarnya yang perlu dipertanyakan adalah jenis mental yang disandang oleh para pemimpinnya, yakni antara bermental pejuang dan atau broker itu. Manakala para pemimpin bangsa ini pada kenyataannya lebih dekat disebut bermental broker, maka sampai kapan pun tidak akan maju. Jenis mental itulah sebenarnya yang selalu mewarnai sebuah komunitas, dan tidak terkecuali komunits bangsa ini.

Oleh karena itu, apa yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi di awal masa jabatanya, bahwa ia akan melalukan revolusi mental, adalah amat tepat. Letak persoalan bangsa yang amat mendasar selama ini adalah pada mental itu. Untuk memperjuangkan agar bangsa ini menjadi semakin adil, makmur, aman, dan sejahtera, maka yang diperlukan atau dituntut kehadirannya adalah para pemimpin yang bermental pejuang dan bukan bermental buruh, pegawai, atau apalagi broker. Hingga kapan pun, jika mental pejuang ini semakin hilang, maka cita-cita mulia bangsa ini tidak akan bisa segera diraih. Bangsa ini menununggu kehadiran pemimpin bermental pejuang, dan bukan sebaliknya, broker. Wallahu a�lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun