Mohon tunggu...
Bureg Sandeq
Bureg Sandeq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

... manusia gembira bernaluri imajinasi ... jagalah keamanan hati dan pikiran... ...jreeeeeeng...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jekicen dan Cerita yang Tanpa Pesan

23 Oktober 2013   02:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

waktu menunjukkan pukul 23:45.
aku memasuki warteg di seberang jalan itu. suara televisi, meski tak sekuat sound system konser dangdut koplo tapi lumayan menguasai seluruh ruang yang seolah ikut menjadi penyebab kusamnya tembok warung. si pemilik warung sedang asik bertarung catur dengan seorang pembeli yang mungkin sudah langganan di sana.
"mas, maem mas" ujarku sambil duduk dibangku panjang  tak jauh dari posisi televisi bertengger.
"maem sini ato bungkus?" sahutnya dengan mata masih memelototi pion-pion catur.
"maem di sini aja mas".
"tumben maem sini...biasane bungkus". si penjual kemudian bangkit dari duduknya mengambil piring di rak kemudian membuka mesin penanak nasi. "sayure apa?" sembari dia menggaruki gumpalan nasi keatas piring yang mungil itu. aku berdiri agar lebih jelas terlihat menu yang tersedia.
"itu aja mas, sayur buncis.. lauknya pake ati".
sesiapnya pesananku, diulurkannya dari seberang  meja. " minume apa?".
" kopi itam..tapi nanti wae mas..bungkus"  jawabku tersendat dengan mulut penuh kunyahan buncis dan bahan-bahan yang lain. dia lalu kebelakang dan kembali membawa segelas air putih " nyoh..banyu putih ben ora seret mengko". aku hanya mengangguk tak menjawab. bukan karna tak mau, tapi anggota tubuhku yang bernama mulut beserta lidah lebih asik bercengkrama dengan berbagai rasa yang sedang mampir. meski pada akhirnya mereka harus melaporkan hasil cengkramanya ke sang jendral bernama perut.
si penjual sudah kembali lagi berhadapan dengan papan kotak putih hitam yang sedari tadi ditunggui oleh lawan mainnya seolah menunggui sesajen untuk lelembut pohon beringin. suara televisi masih berkibar ditelinga kami yang menyertai seorang pembeli berbadan besar yang baru masuk ke warung itu. mungkin ia juga seorang langganan disana. buktinya dia tak sungkan-sungkan langsun masuk kebagian dapur warung menyalakan kompor, menaikkan wajan, menuangkan minyak goreng, merogoh rak tempat telur dan membelahnya ke wajan. si pemilik warung pun acuh tak acuh dengan kedatangan orang  itu.
kembali suara televisi mengambil alih perhatian meski mulut masih mengunyah entah nikmat atau tidak. musik ilustrasi dari film yang  baru mulai dengan warna era 80'an, ternyata juga ikut mencuri perhatian orang yang sedang menggoreng telur. " wah setelane lawas tenaaan...mbok liyane" serunya dengan tangan menggenggam suthil dan tapi matanya menjurus ke televisi.
"weehh kuwi pileme jekicen bro...sepesial edisien kuwi" sahut si penjual dengan suara datar bahkan tanpa memalingkan wajah dari papan catur seolah panji koming yang sedang berkonsentrasi merancang taktik untuk menakali pasukan baju biru. "hmm...jekicen" aku membatin, menyudahi kunyahan terakhir. "mas, bungkuske kopi mas...dua...yang satune kopine dobel".
si penjual pelan berdiri. matanya masih lekat dipapan catur. tangannya mengambil plastik pembungkus minuman kemudian diguntingnya bungkus kopi dan dituang kedalam plastik tadi. tapi mata si penjual masih saja sebentuk kotak hitam putih. mungkin dia sedang bertaruh. seperti jekicen bertaruh dalam perang di film itu.
setelah menyahut kopi dan membayar semua bahan laporan si komandan perut, aku keluar dari warung jekicen kotak hitam putih itu dan segera meluncur menuju akhir cerita ini. hanya cerita ini lho. bukan akhir cerita keseluruhan. dan jangan bertanya, sebenarnya aku ingin menyampaikan apa pada cerita kali ini. sebab aku hanya ingin bercerita saja. hanya itu kok. cuma itu.
sudah ya. aku sedang tak mau berselisih dengan pikiranku sendiri. sudah cukuplah malam ini adu kecamuk usai menonton pertunjukan ketoprak tadi.
selamat mimpi basah ya wahai angin dini hari. jawaban birahimu aku tunggu.

(sedang lunglai dengan teks "aut" putuwijaya)

...jreeng...

................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun