Mohon tunggu...
Ima Nursani
Ima Nursani Mohon Tunggu... Lainnya - Advanced Master Safety management in Aviation

Yuk bersama-sama selalu berusaha untuk belajar hal baru dan membagikannya jika bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Naik Pesawat, Apakah Masih Menjadi Simbol Kemewahan dan Gengsi?

13 November 2024   14:00 Diperbarui: 13 November 2024   14:03 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naik pesawat seringkali dianggap sebagai simbol kemewahan atau ciri khas orang kaya. Anggapan ini bukan tanpa alasan dan berkembang seiring waktu, meski kini penerbangan lebih terjangkau dan lebih umum. Mengapa naik pesawat diidentikkan dengan orang kaya? Berikut ini penjeasannya baik dari perspektif sejarah, biaya yang terlibat, hingga preferensi yang muncul dari aksesibilitas dan gaya hidup.

1. Sejarah Perjalanan Udara: Eksklusivitas di Masa Lalu

Ketika penerbangan komersial pertama kali muncul pada awal abad ke-20, layanan ini sangat terbatas dan mahal. Maskapai-maskapai pertama, seperti Pan Am, hanya melayani rute jarak jauh dengan harga yang sangat tinggi, yang otomatis membatasi penumpangnya hanya dari kalangan elit saja. Selain itu, pesawat yang digunakan waktu itu memiliki kapasitas terbatas dan memerlukan perawatan yang intensif, sehingga biaya operasionalnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan transportasi darat atau laut.

Di era tersebut, penerbangan diiklankan sebagai pengalaman mewah. Penumpang disuguhi layanan premium, termasuk hidangan berkualitas tinggi, layanan pramugari yang terlatih, serta tempat duduk yang luas dan nyaman. Dengan demikian, citra "naik pesawat untuk orang kaya" terbentuk dan terus terbawa hingga dekade-dekade berikutnya.

2. Tingginya Biaya Operasional dan Infrastruktur

Pesawat memerlukan infrastruktur yang mahal, mulai dari pembangunan dan pemeliharaan bandara hingga sistem keamanan yang canggih. Bandara internasional, misalnya, membutuhkan peralatan navigasi, fasilitas keamanan, dan tenaga kerja yang jumlahnya besar. Untuk maskapai sendiri, biaya bahan bakar, perawatan, dan biaya kru penerbangan tidaklah murah.

Selain itu, maskapai juga memiliki biaya overhead yang besar seperti pembayaran leasing pesawat, perawatan, hingga lisensi dan asuransi penerbangan yang nilainya tinggi. Biaya-biaya ini diturunkan kepada penumpang dalam bentuk harga tiket. Semakin panjang rute penerbangan dan semakin premium layanan yang diberikan, semakin tinggi pula harga tiket, yang pada akhirnya membuat banyak orang mengaitkan naik pesawat dengan kekayaan.

3. Fenomena Maskapai Berbiaya Rendah (Low-Cost Carrier)

Seiring perkembangan waktu, munculnya maskapai berbiaya rendah (LCC) pada era 2000-an telah mengubah anggapan bahwa naik pesawat hanya untuk orang kaya. Maskapai seperti Southwest, Ryanair, Lion Air, dan AirAsia menawarkan penerbangan dengan harga jauh lebih murah dengan menghilangkan banyak layanan tambahan, seperti makanan gratis dan bagasi tanpa biaya tambahan. Hal ini memungkinkan orang dari berbagai kalangan untuk mengakses penerbangan, khususnya di rute-rute domestik atau jarak dekat.

Meski demikian, stigma bahwa naik pesawat identik dengan kemewahan masih bertahan, terutama pada penerbangan jarak jauh atau kelas bisnis. LCC umumnya hanya berfokus pada rute pendek dan penerbangan point-to-point, sedangkan rute-rute panjang tetap lebih mahal dan biasanya dilayani maskapai-maskapai full-service.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun