Mohon tunggu...
Imaduddin Hamid
Imaduddin Hamid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa, dia yang menutur malam dan mengeja sepi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi dan Demonstrasi

15 Mei 2016   02:07 Diperbarui: 15 Mei 2016   02:12 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demonstrasi, dan kita pun terbuai karenanya. Setali tiga uang dengan konsep demokrasi, aksi massa merupakan salah satu syarat esensial, guna mengukuhkan demokratis tidaknya sebuah negara. Sebagai medium penyampaian aspirasi, demonstrasi adalah halal, diwajibkan malah. Seakan ritual, demonstrasi menjadi gaya. Dan sekarang semakin garang, menemukan bentuknya dalam praksisme yang cenderung merusak. Tak aneh jika pertanyaan besar menyeruak, mengapa praktek yang anarkistis menjadistylegerakan?

Menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kembali mengacu hakikat demokrasi yang hari ini dianut. Secara konseptual, demokrasi berarti kekuasaan rakyat. Demikian berarti rakyat punya hak untuk beraksi, menunjukkan kekuasaannya. Walau begitu interpretatif, demokrasi tetaplah menjadi sistem yang paling disukai. Dan Indonesia telah menjatuhkan pilihan itu. Bukan demokrasi tanpa batas alias mengacu konstitusi yang menjadi yurisdiksi tertinggi.

Demokrasi konstitusional, begitu ungkapan para pakar. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang beretika, memperhatikan norma yang terlembaga dalam kitab perundang-undangan. Dengan kata lain, euforia kebebasan rakyat dengan sendirinya terdegradasi ke dalam konstruksi legal-formil. Sejatinya, pemerintah adalah entitas yang begitu ideal karena mandat rakyat terkonstruksi lewat mekanisme pemilihan yang legitimate. Imaji akan demokrasi adalah imaji tentang kebebasan, persamaan dan persaudaraan, sejalan dengan jargon Revolusi Perancis.

Namun ternyata, idealitas dalam konsep tak sejalan dengan kenyataan praktek. Apa yang sekarang dilakonkan pemerintah justru bertabrakan dengan keinginan rakyat. Berangkat dari penilaian atas kebijakan-kebijakan yang ditampilkan, ia tak lagi sebatas asumsi. Pemerintah menjadi penjajah bagi warganya.

Menjadi wajar sekiranya rakyat turun ke jalan. Ketika kepercayaan semakin menghilang, pendekatan prosedural menjadi sulit menemukan basis argumentasinya. Wacana demokrasi (konstitusional) terdistorsi oleh konsepsinya sendiri. Legalisme aspirasi ternyata menjadi bumerang bagi demokrasi. Saluran demokrasi macet dan tak lagi mampu dijadikan pegangan. Aspirasi tak kunjung tersampaikan. Pemerintah yang diharapkan menjadi pendengar malah berlaku cuek dengan nada sinis. Tidak aneh karena pemerintah tak punya kewajiban untuk takluk pada suara demonstran (baca: rakyat). Bangunan demokrasi kita memang mengajarkan demikian.

Demonstrasi pun berubah radikal. Hampir di setiap sudut nusantara, luapan kekecewaan berubah bentuk menjadi aksi massa. Tak lagi bersifat elegant seperti yang diharap banyak pihak. Tak pula biasa saja sesuai harapan demokrasi yang dikonstruksi negara. Perusakan fasilitas umum, pemblokiran jalan, pembakaran ban bekas, sampai kekerasan horizontal adalah bentuk nyatanya. Jelas bukan persoalan yang sederhana. Dan memang terlalu naif untuk disepelekan.

Sebab demikian, penulis melihat perlunya redenifinisi atas konsep demokrasi yang dianut. Bukan sekadar perubahan paradigma, namun harus sampai pada koreksi atas struktur yang ada. Persis dalam konteks ini, mekanisme penyalur aspirasi lewat gerakan ekstra-parlementer menjadi sesuatu yang begitu urgentuntuk dibuat.

Kita semua tentu berharap, demokrasi yang ditampilkan memiliki citarasa yang gurih. Suatu tatanan demokrasi yang fleksibel tanpa menafikan realitas konstitusi. Seiring kedewasaan rakyat dalam berpolitik, demonstrasi menjadi konsekuensi logis yang tak mungkin dihindari. Namun berbeda dengan sebelumnya, demokrasi kita adalah demokrasi yang tak lagi menafikan suara demonstran. Pada akhirnya, praktek anarkistis tak perlu ada dalam setiap demonstrasi.

Depok, Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun