Rabu, 24 Februari, saya yang sedang beranjak balik ke kosan, dengan tidak sengaja mengalihkan mata ke arah kanan jalan yang sementara itu, pak Junet, seorang pemulung tua sedang beristirahat sambil merapikan karung dan  tongkat kayunya. Melihat hal itu, saya langsung menghampirinya.Â
Saat tiba, saya mencoba mengajak pria tua itu untuk berceritra sebentar. Sengaja saya lakukan untuk bisa menghiburnya. "Pak bt bisa duduk dengan pak" Tanya saya kepadanya dengan suara yang Samar.
Tak disangka pria tua itu menerima kedatangan saya dengan nada suara yang begitu renda. Yang kemudain membuat saya memberanikan diri untuk bisa memulai percakapan dengan-Nya. "Iya nak, boleh" Ucapnya, sambil mengusap keringat diwajahnya.Â
Saya yang bertanya, selalu dijawab dengan baik olehnya. Meski berat, namun pria tua itu menampakan senyumnya setiap kali ia menjawabnya.Â
Sebelum mengakhiri percakapan yang ada, saya melepaskan satu pertanyaan yaitu tentang penghasilannya yang kecil, meski terdengar sensitif Namun apaladaya, dengan pandangan yang kaku, saya melepaskannya.Â
Jawabannya "Belum tentuh mereka yang hartanya berlipah-limpah, dapat bersyukur dan berbahagia" Ujarnya.Â
Dari situlah yang melatarbelakangi tulisan ini saya buat. Tetapi sebelumnya saya meminta izin terlebih dahulu tentang apa yang sedang saya niatkan.Â
__________________________
Pak Junet merupakan salah satu pemulung yang bertempat tinggal di sekitar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Salah satu perguruan tinggi di daerah provinsi Maluku.
Ia juga seorang kuli bangunan, namun perkerjaan itu hanyalah sampingan. Ia lahir, dan tumbuh besar di desa Negeri Lima, salah desa yang berada tepatnya di kecamatan Jesira Laihitu.Â
Nama panjangnya ialah Junet Soumena. Ia perna bersekolah, namun sebatas sekolah dasar. Dikarenakan pak Junet berasal dari keluarga yang berkecukupan.Â