Mohon tunggu...
Imaduddin Fr
Imaduddin Fr Mohon Tunggu... Freelancer - a man

Pelajar yang sedang belajar di Kota Pelajar untuk menjadi pembelajar yang dapat mengajar kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Makhluk Bernama Manusia

16 April 2016   08:37 Diperbarui: 16 April 2016   12:55 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Manusia terkadang butuh ditampar beribu-ribu kali agar sadar bahwa hidup di dunia ini hanyalah sesaat. Terkadang pula manusia enggan untuk mengikuti kehendak hati nurani untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan fitrahnya. Dunia menjadi tujuan mutlak hidup dunia. Padahal dunia hanyalah persinggahan sementara untuk menyiapkan bekal menuju tempat abadi, yakni “akhirat”. Akal yang seharusnya digunakan untuk berpikir, merenung, atas kekuasaan dan kebesaran Tuhan seolah beralih fungsi menjadi alat anti-Tuhan. Kerasionalan menjadi tameng untuk berlindung dari ketaatan dan pengabdian dalam mengakui ajaran-Nya. Yang lebih parah lagi ketika  telah mengetahui suatu perbuatan yang dilarang namun masih saja dilakukan. Bahkan berkali-kali hingga menjadi kebiasaan. Sungguh manusia terlalu lalai dan kufur atas nikmat Allah.

Rasulullah di akhir hayatnya sebagaimana di kisahkan dalam Sirah Nabawiyah, beliau sebelum dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrafil menyebutkan tiga kata yang seharusnya menyentuh bagi siapa saja yang mendengarnya. Kata tersebut adalah umatii, yang dalam bahasa Indonesia adalah umatku. Begitu mulia sosok Rasulullah. Di akhir hayatnya, ia masih memikirkan kita umatnya. Entah jika Rasulullah masih hidup sampai sekarang, apakah beliau akan menitihkan air mata bahagia atau kesedihan. Saya sendiri merasa sangat malu dengan diri sendiri karena belum menjadi umat Rasullah sebagaimana mestinya. Bahkan menjadi hamba-Nya pun serasa tidak pantas. Mungkin jikalau dosa ini tidak berbau sungguh dunia pasti sudah sangat busuk. Namun, Allah dengan kebaikan-Nya masih menutupi aib hamba-Nya. Walau sebagai hamba tidak tahu sudah berapa kali kita menyakiti-Nya dengan perbuatan kita.

Diberi mata bukannya melihat tanda-tanda kebesaran-Nya justru  melihat kemaksiatan-kemaksiatan tanpa henti. Dikasih mulut agar senantiasa berdzikir memuja-Nya malah dipakai untuk mengucapkan perkataan untuk mengkufuri nikmat-Nya. Diletakkan hati di dalam diri agar kita selalu merasakan kehadiran-Nya, namun dibikin jadi ladang penyakit untuk memupuk segala penyakit hati. Begitulah manusia. Makhluk yang derajatnya bisa lebih rendah dari iblis, tetapi bisa lebih mulia daripada malaikat.

Unik memang menjadi makhluk yang bernama manusia. Eksistensi kita sebagai manusia selalu menjadi hal yang kita prioritaskan. Tengoklah jaman sekarang yang penuh dengan serba-serbi kecanggihan. Manusia berlomba-lomba mengeksiskan diri dalam dunia yang disebut “dunia maya”. Dunia nyata yang menjadi tempat untuk menjadi manusia tergantikan oleh tempat yang imajiner. Manusia menjadi tidak lagi manusia. Kini yang ada hanyalah sebongkah daging berjalan yang dilapisi kulit.

Kurang bersyukur apa lagi menjadi manusia. Makhluk yang  diberi akal dan nafsu sekaligus. Membuat makhluk-makhluk langit iri kepada kita. Bahkan iblis ditendang dari surga karena manusia. Rajanya seluruh makhluk hidup. Hewan dan bintang tidak berdaya melawan kehebatan dari manusia. Malaikat dan iblis disuruh tunduk oleh Tuhan (baca kisah Nabi Adam a.s.).

Pertanyaannya sekarang, dengan segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sebagai manusia, apakah kita kingin kufur atas apa yang diberikan? Allah telah menetapkan kebutuhan biologis kita dengan menyukai lawan jenis, ada sebagian orang yang menyalahi kodratnya. Ketika tubuh merasa tidak sempurna, kemudian operasi menjadi solusi. Bukankah ini sama saja menghina Allah yang telah menciptakan kita. Padahal dikatakan sudah berapa banyak nikmat yang kita dustakan selama ini. Ratusan? Ribuan? Jutaan? Tak dapat dihitung lagi mungkin jumlah nikmat yanng kita ingkari.

Hai manusia. Satu pesanku. Bukan untukmu, tetapi untukku yang  manusia yang tak tahu malu ini. Karena ku tahu kalian seperti yang dikatakan oleh Iwan Fals adalah manusia setengah dewa. Pesan ini hanya untuk manusia biasa yang tidak pandai bersyukur sepertiku. Tetaplah menjadi manusia. Manusiakan lah manusia. Karena kita hidup sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun