Hari ini, 28 April 2014, tepat 106 tahun lalu, tergelar sebuah peristiwa heroik sekaligus tragik di Kerajaan Klungkung, sebuah kerajaan di bagian timur Bali yang pernah menjadi pusat politik Bali dan Lombok di abad ke-19. Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe bersama keluarga, kerabat, prajurit dan sejumlah rakyatnya gugur dalam sebuah perang penghabisan menghadapi tentara Belanda. Peristiwa ini kerap dikenal orang Bali sebagai perang Puputan Klungkung.
Inilah perang puputan terakhir di era kerajaan di Bali. Kurang dari tahun sebelumnya, peristiwa serupa juga terjadi di Kerajaan Badung yang dikenal sebagai perang Puputan Badung. Sesudahnya, perang puputan terjadi di era revolusi fisik di Margarana sehingga dikenal sebagai Puputan Margarana dengan dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai.
Perang Puputan Klungkung menandai jatuhnya seluruh wilayah Bali secara total ke tangan Belanda. Klungkung memang menjadi kerajaan terakhir yang takluk di kaki Belanda. Perang Puputan Klungkung juga sekaligus mematahkan mitos yang menyebutkan Indonesia, termasuk Bali, dijajah Belanda selama 350 tahun. Peristiwa Perang Puputan Klungkung menegaskan Bali dijajah hanya selama beberapa puluh tahun, bahkan Klungkung dijajah selama sekitar 37 tahun.
Dibandingkan Puputan Badung, peristiwa Perang Puputan Klungkung memang kalah tenar. Kendati pun Puputan Klungkung terjadi belakangan, catatan dan sumber-sumber tertulis atau pun dokumen mengenai perang Puputan Badung jauh lebih banyak.
Seperti halnya perang Puputan Badung, peristiwa perang Puputan Klungkung hingga kini memunculkan dua pandangan berbeda di kalangan masyarakat Bali. Ada yang menghormatinya sebagai sebuah monumen kultural manusia Bali tentang semangat perjuangan yang dilandasi nilai-nilai luhur lokal bahwa kemerdekaan dari penjajahan serta harga diri sebagai orang Bali di atas segala-galanya. Sebagian yang lain justru memandangnya sebagai sebuah ketidakmampuan menyikapi dinamika dan tantangan yang tengah menghadang di depan untuk tidak menyebut sebagai sebuah keputusasaan dalam perang.
Kendati begitu, hingga kini, peristiwa Perang Puputan Klungkung tetap diperingati secara rutin tiap tahun, khususnya di kalangan masyarakat Kabupaten Klungkung. Peringatan ini tentu tidak dalam pengertian mengenang kekalahan dalam perang melawan penjajah, tetapi merenungi peristiwa itu sebagai upaya memaknai dinamika sejarah daerah.
Perang Puputan Klungkung mesti dimaknai dalam kerangka sejarah panjang Bali dalam menghadapi penetrasi kepentingan luar. Puputan Klungkung sejatinya sebagi bagian akhir dari perlawanan panjang masyarakat Bali menghadapi penetrasi Belanda yang sudah dimulai sejak abad ke-17. Perlawanan Bali terhadap kepentingan asing mulai tampak pada awal abad ke-19, yakni ketika Inggris yang mengambil alih kekuasaan Belanda di Jawa ingin menghukum Buleleng yang menguasai Jembrana. Tindakan Buleleng menguasai Jembrana itu sebagai langkah antara untuk menduduki Blambangan (Banyuwangi) di ujung timur Jawa. Usaha pemerintah Inggris pada sekitar tahun 1814 ini gagal karena raja-raja Bali bersatu mendukung Buleleng melawan agresi militer luar.
Sikap serupa juga ditunjukkan raja-raja Bali tatkala Buleleng menghadapi serangan Belanda dalam Perang Jagaraga pada tahun 1948. Bahkan, perang yang dipimpin Patih I Gusti Ketut Jelantik ini mampu menggetarkan Kerajaan Belanda karena pasukan Belanda sempat dikalahkan. Namun, sikap bersatu raja-raja Bali itu tak bertahan lama. Setahun kemudian Jagaraga akhirnya jatuh ke tangan Belanda menyusul mulai tidak kompaknya sejumlah raja-raja Bali. Seruan Raja Klungkung kepada kerajaan-kerajaan lain di Bali untuk bersatu membantu Buleleng kurang mendapat respons menggembirakan.
Pada tahun itu juga, Klungkung sebagai kerajaan yang paling dihormati dan disegani raja-raja lain di Bali, nyaris jatuh ke tangan Belanda. Namun, kecerdikan dan kematangan strategi seorang Dewa Agung Istri Kanya, Belanda mampu dikalahkan dalam Perang Kusamba. Seorang jenderal sarat prestasi milik Belanda, Jenderal Michiels tewas disergap serangan mendadak prajurit Klungkung yang dipimpin Dewa Agung Istri Kanya. Seperti halnya Perang Jagaraga, peristiwa Perang Kusamba juga mengguncang publik di Belanda.
Namun, sesudah itu, Bali praktis terpecah-belah dan sulit disatukan lagi. Rasa curiga bahkan perang antarkerajaan di Bali justru berbiak. Belanda pun dengan mudah menekuk satu per satu kerajaan-kerajaan di Bali. Pada tahun 1906, Belanda pun takluk melalui sebuah perang tak seimbang dengan Belanda dalam perang Puputan Badung. Terakhir, Klungkung pun ditaklukkan dengan cara yang sama pada tahun 1908.
Itu sebabnya, Puputan Klungkung mesti dibaca sebagai buah dari karut-marut kondisi sosial politik Bali sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ketika itu, masing-masing kerajaan begitu egois sehingga solidaritas di antara mereka ikut merosot. Bahkan, yang lebih parah lagi, sejumlah kerajaan terlibat pertikaian yang didasari oleh keinginan yang satu menguasai yang lain. Bukan hanya itu, kerajaan-kerajaan itu tidak segan-segan membantu atau pun meminta bantuan Belanda untuk menaklukkan kerajaan lainnya.