Oleh : Cut Nur Halimah
Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam. Baitul Mal mempunyai makna sebagai sebuah lembaga atau tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan Negara.
Baitul Ma l merupakan amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang menegaskan bahwa zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Pembentukan Baitul Mal di Aceh berkaitan dengan pembentukan lembaga zakat atau harta agama di daerah-daerah lain di Indonesia.
Dengan dibentuknya lembaga Baitul Mal di Aceh telah memberikan peluang yang cukup besar bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kekuatan yang ada pada dirinya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan kualitas hidupnya. Peran-peran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya institusi yang profesional dan mampu memanfaatkan peluang itu. Kehadiran Baitul Mal Aceh adalah untuk mengisi peluang ini dan menjawab berbagai tantangan aktual yang dihadapi masyarakat Islam di Aceh dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada mereka sendiri, khususnya kekuatan ekonomi.
Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan - catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenaikeawajaran laporan keuangan tersebut. Audit bagi suatu perusahaan atau organisasi merupakan hal yang penting karena dapat memberikan pengaruh yang besar dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Selain itu audit juga merupakan alat manajemen yang dapat digunakan untuk melakukan verifikasi bukti-bukti transaksi, juga digunakan untuk menilai efektifitas pencapaian target yang telah ditetapkan.
Zakat sebagai Sumber Pendapatan Anggaran Daerah (PAD)
Sebagai potensi yang sangat besar bagi daerah, pemerintah memasukkan zakat sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Beberapa ketentuan zakat sebagai PAD telah disahkan, seperti berawal dari UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam (sebagai dasar awal munculnya masalah). Selanjutnya dikukuhkan kembali dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang tersebut dalam Pasal 180 ayat (1) huruf d, yaitu zakat. Dengan ketentuan ini meneguhkan peran negara dalam pengelolaan zakat, sebagai bagian pelaksanaan syari’at Islam. Ketentuan lanjutan adalah pada Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, yaitu Pasal 24 ayat (2) bahwa semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Aceh.
Demikian juga ketentuan Pasal 25 ayat (2) bahwa semua penerima zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota. Peningkatan penghimpunan zakat sebagai PAD terkait erat dengan kebijakan pemerintah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) terhadap regulasi dan manajemen Baitul Mal. Zakat sebagai PAD dalam pengelolaannya menganut ketentuan keuangan daerah, tanpa mempertimbangkan zakat sebagai bagian dari perintah agama. Padahal zakat dalam agama begitu terkumpul harus segera disalurkan.
Tidak harus menunggu pengesahan APBA/ APBK, seperti PAD murni, karena yang dicairkan adalah uang zakat yang disetor ke kas daerah. Zakat yang disetor ke kas daerah menjadi PAD murni dianggap telah melanggar dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, pencantuman zakat sebagai salah satu penerimaan PAD murni dalam berbagai ketentuan perundang-undangan dengan segala akibat hukum yang melekat, khususnya peraturan keuangan daerah adalah bertentangan dengan esensi zakat yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’ān.
Pembentukan Zakat sebagai Pendapatan Daerah tidak sejalan dengan hakikat zakat sebagai perintah agama, sehingga menimbulkan berbagai implikasi hukum yang perlu dicari solusi yang tidak melanggar salah satu dari aspek hukum pendapatan daerah (negara) dan hukum Islam. Bahkan jika zakat itu akan diterapkan sebagai sumber pendapatan daerah, itu harus diatur sebagai sumber khusus pendapatan daerah, dan pengelolaannya harus secara khusus untuk mencapai tujuan dan sasaran dari zakat.