Mohon tunggu...
Fathimah Assaiddah
Fathimah Assaiddah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Duhai pendaki ridha, pengais hikmah, pejalan cahaya, │ Wahai insan akhir zaman, yg tak setaqwa Fathimah, tak selembut Maryam, tak setegar Sumayyah, tak secantik Zulaikha, tak semulia Khadijah, dan yang tak secerdas Aisyah, │ Jejakilah rahmat-Nya. Hingga sayap kanan megah Sang Jibril 'Alaihissalam melintasi singgasana Arsy-Nya dan terkembang dengan pesona pelataran surgawi, yang sungai-sungainya sungguh mendamaikan segala jiwa, yang telah begitu lama kau rindukan hingga kau terlelap dalam kesabaran tertatihmu dan keikhlasan lelahmu...! │ Me, Ima.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selembar Catatan (Doa dan Sajak) Silam

18 Mei 2013   21:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Barangkali aku memang pernah memujimu sedemikian rupa. Pernah melebihkanmu dari wajah-wajah yang lain. Pernah menyanjungmu atas segala penglihatan yang mengkagumkanku. Pernah tanpa jeda memanggilmu dalam mimpiku. Pernah menyulam selendang asa yang ku ingin hanya pada pundakmu saja ku sematkan. Pernah merumahkanmu dalam sebuah rumah sederhana namun sungguh berharga, sebab sungguh luar biasa kerja kerasku dalam menjaganya dan menghiasi ruangnya. Rumah itu bernama "hati".

Tapi, semua itu masih tidak ada artinya dibanding satu hal yang kulakukan ini. Apa kau tau itu? Ya, aku bahkan pernah menunggumu. Menunggu yang bukan hanya sekedar menunggu. Menunggu yang meski hanya diam namun sungguh seolah menghabiskan hampir seluruh dayaku. Ka mungkin tidak pernah tau. Menyangkapun tidak. Terlebih untuk sekedar meraba atau menerka apakah aku pernah melakukan hal itu, mungkin saja tidak pernah terlintas di fikiranmu.

Jika kau ingin tau mengapa sebegitu kerasnya menunggu itu bagiku, sebab ternyata yang kulakukan sekian lama itu adalah menunggu untuk sekedar mengetahui bahwa pada akhirnya orang yang kutunggu tak pernah sedikitpun menungguku. Sekalipun tidak.

Dan pada ujungnya, kubiarkan luapan aliran deras sungai yang mengalir dari hulu mataku ke hilir Arsy-NYa. Pada aliran bening yang menyimpan berjuta kekeruhan bathin itu, kularungkan abu-abu doa pada-Nya untukmu.


“Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang,

Yang Maha Membagi cinta,

Yang Maha Menggenggam setiap jiwa,

Yang Maha Mengetahui segala yang terbaik bagi setiapnya,

Dengan segala kelemahan dan keterbatasan diriku yang penuh hina,

Ku mohon…

Berikan kesejahteraan hidup yang tak berkesudahan untuknya,

Hadirkan kesejukan selalu bagi kalbunya,

Indahkan selalu lisan dan hatinya,

Muliakan ia dimata insan-Mu,

Indahkan ia dimata-Mu,

Dan…

Jaminlah kebahagiaannya,

Meski pada akhirnya,

Aku bukan bagian dari kebahagiaan itu…



Termakasih Tuhan,

Telah menghadirkannya disebagian irisan hidupku

Meski meninggalkan luka menganga yang teramat dalam di hati

Namun kuyakin,

Kau memang sengaja membuatnya berlubang

Sebab,

Justru pada lubang luka yang dalam itu,

Kau tanamkan hikmah yang jauh lebih mendalam untukku



Dan Tuhan…

Terimakasih telah menjaganya,

Meletakkannya di tangan yang mungkin memang jauh lebih baik dari tanganku

Damaikan kalbuku atas ketentuan-Mu,

Satu hal lagi saja yang kuminta,

Dengan sepenuhnya ku mengiba

Peluklah bathinku

Terimalah syukurku,

Dalam wajah syukur yang hanya Kau saja yang memahaminya…”

Itulah catatan hatiku yang tak pernah kau tau. Dan bagiku, Ia jauh lebih berhak tau dibandingkan dirimu. Semua masa lalu itu telah menjadi urusanku dengan Tuhan. Sedang kau, sepenuhnya telah kutitipkan pada-Nya. Bukankah Ia satu-satunya tempat penitipan yang mampu menjaga tanpa sedikitpun kerusakan dan hilang? Biar Tuhan yang memerankan kuasa-Nya. Dan masa lalu adalah sesuatu yang selalu dan akan selalu berada di belakang. Ia takkan pernah maju ke depan. Takkan pernah menang. Agar langkahku tak lagi terhenti hanya untuk menoleh ke masa yang ada di belakang punggungku.


maka…

fahamilah jejakku!

sebab,

barangkali,

kupernah menyapa namamu

dan menulis tentangmu

dalam untaian doaku

di ayunan langkahku yang mulai tertata

kuharap Tuhan berjaga hingga kusampai di ujungnya

di ujung jalan sana

menguatkan tiap gontainya

dan menahanku tika aku hampir habis daya

sebab,

di ujung sana

kulihat sebuah cahaya

cahaya impian

yang Ia janjikan…

------------------

Jika sampai ada tanya,


“Mengapa harus ada banyak tangis?”

Semoga jawabnya adalah,


“Sebab Tuhan tengah mempersiapkan hari-hari yang penuh senyum bahagia untuk kita. Sipapun kita. Diamanapun kita. Nanti…”



Bersabarlah wahai hati! Tuhan mencintaimu lebih dari yang kau perlu. Janji-Nya tak teringkari…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun