Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia memuat aturan-aturan dasar yang disusun agar dijadikan pedoman atau pegangan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Dan juga menjadi ukuran dalam hidup berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan bukti perjuangan dan ide-ide dasar yang digariskan oleh Founding Fathers kita serta sebagai arahan kepada generasi penerus bangsa dalam memimpin Negara Indonesia (Thalib, D, & Hamidi, 2008). Politik hukum dapat menentukan berapa lama masa jabatan para kepala pemerintahan, termasuk kepala desa selaku kepala pemerintahan desa. Artinya arah dan tujuan negara untuk apa dan dibawa kemana secara politik sangat tergantung kepada pemangku kekuasaan. Namun secara hukum dan demokrasi standar lamanya masa jabatan kepala pemerintahan sudah ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Penambahan atau perpanjangan masa jabatan kepala pemerintahan, termasuk kepala pemerintahan desa yang dijabat oleh kepala desa dapat saja dilakukan melalui perubahan atas Undang-undang desa yang mengatur masa jabatan kepala desa dari 6 (enam) tahun menjadi 9 (sembilan) tahun.
Pada pertengahan Januari 2023 terjadi demo besar sejumlah kepala desa menyampaikan tuntutan tentang perubahan periodisasi jabatan kepala desa yang sebelumnya dari 6 tahun masa jabatan dan maksimal tiga periode dalam menjabat sesuai dengan undang-undang no. 6 tahun 2014 tentang desa dalam pasal 39 ayat 1-2, menuntut menjadi 9 tahun masa jabatan, yang beralasan bahwa masa jabatan selama 6 tahun masih kurang dalam membangun desa dan pada tanggal 28 maret 2014 DPR RI menyetujui Rancangan Undang-undang tentang perubahan Undang-undang no 6 tahun 2014 tentang desa yang dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani.
salah satu poin krusial yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang desa tersebut yakni perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun dan maksimal dapat menjabat selama 2 periode.
Lalu putusan tersebut apakah memang kebutuhan rakyat apa hanya kepentingan sepihak?. karena dirasa masa jabatan 8 tahun terlalu lama hanya untuk kepala desa, yang menjadi kelucuan dalam tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut yang menuntut langsung adalah kepala desanya sendiri, seorang pemimpin menyuarakan perpanjangan masa jabatan diri sendiri bukan didasari dari rakyat desa yang menyuarakan melainkan pemimpin desa yang turun ke jalan, yang tentunya menimbulkan sebuah pertentangan dari masyarakat Indonesia, apakah emang betul kebutuhan rakyat didesa atau hanya kepentingan diri sendiri yang ingin melanggengkan kepemimpinannya selama mungkin, melihat dari kondisi penduduk desa yang ada diindonesia yang lebih membutuhkan bagaimana pemimpin didesa tersebut menjalankan kepemimpinannya secara jujur dan lebih memikirkan apa yang menjadi urgensi didesa tersebut seperti permasalahan-permasalahan umum yang terjadi didesa, infrastruktur yang kurang, terbatasnya layanan kesehatan dan yang menjadi titik terpenting adalah pendidikan, itu pun terkadang pemimpin desa menjalankan tiga hal tersebut saja masih kewalahan dan cenderung mengeluhkan masalah anggaran padahal anggaran desa setiap tahunnya mengalami kenaikan, pada tahun 2023 saja dana desa mencapai 70 triliun, dana yang cukup besar untuk menjalankan roda pemerintahan di tingkat desa.
Dengan anggaran tersebut dan juga jabatan selama 8 tahun lamanya akan khawatir menyuburkan praktik korupsi didesa, komisi pemberantasan korupsi (KPK) sepanjang 2012 sampai 2021 mencatat ada 601 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa, dan pada tahun tersebut 2012 sampai 2021 masih belum ada perubahan tentang masa jabatan kepala desa yaitu masih 6 tahun masa jabatan, lalu ketika dengan perpanjangan masa jabatan selama 8 tahun, apakah tidak akan meningkatkan kasus korupsi yang terjadi didesa dan yang pasti bukanlah langkah efektif tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa buat kemajuan desa itu sendiri.
mengutip teori tentang kekuasaan yang menyebut "POWER TENDS TO CORRUPT ABSOLUTE POWER CORRUPT ABSOLUTELY" artinya. Kekuasaan cenderung disalahkan gunakan, kekuasaan yang mutlak pasti akan terjadi korupsi.
dari teori tersebut betapa berbahayanya jika seorang pemimpin memegang kekuasaan yang cukup lama, melihat negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi tentunya jabatan publik yang dipilih oleh rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korupsi, dan yang paling efisien masa jabatan kepala desa 5 tahun saja sudah cukup karena masyarakat bisa menilai apakah kepala desa tersebut pantas untuk dipilih kembali untuk memimpin desa tersebut.
Dengan demikian jelaslah, bahwa tuntutan perpanjangan masa jabatan bukan merupakan 'aspirasi keadilan', melainkan tidak lebih dari aspirasi yang subjektif, sentimentil, emosional, pretensiun dan bahkan amat tendensius. Berikut akan diuraikan.
Pertama, ketentuan normatif dari hukum positif, yakni Pasal 39 UU Desa telah amat terang dan jelas mengatur ketentuan yang adil, yakni masa jabatan kepala desa selama 6 tahun tiap periode. Dengan menuntut perpanjangan masa jabatan, kepala desa telah melampaui ketentuan itu dan dengan sendirinya melecehkan keadilan.
Kedua, para kepala desa itu bukan hanya melampaui ketentuan normatif dari hukum positif, melainkan menabrak ketentuan ideal atau acuan yang tercantum dalam grundnorm (norma dasar) yakni Konstitusi UUD 1945. Padahal Kelsen dalam teorinya menegaskan bahwa hukum tidak boleh mengacu apalagi tunduk pada anasir lain di luar hukum, melainkan semata pada ketentuan hukum positif yang berjenjang. Nilai ideal, etis, atau moral tidak dinegasikan, tetapi hendaknya dimuat secara positif dalam grundnorm.
Idealitas demokrasi menghendaki sirkulasi atau pergantian kekuasaan, telah dimuat dengan amat terang dalam konstitusi melalui Pasal 7 UUD 1945, seharusnya ketentuan yang sama diadopsi pada seluruh tingkatan kekuasaan untuk menghindari kecenderungan korup kekuasaan. Bukankah anjloknya Indeks Prestasi Korupsi Indonesia sekaligus juga menyingkap urgensi pembatasan kekuasaan dan pentingnya pengawasan. Sepanjang reformasi, Indeks Persepsi Korupsi anjlok di titik terendah pada masa rezim yang kerap menghembuskan isu amandemen konstitusi, penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan.