Mohon tunggu...
Ilyas Fauzi
Ilyas Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan pelajar

Sulantara Fauzi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Unity in Diversity (Persatuan Manusia dalam Keragaman Dunia)

8 September 2024   16:23 Diperbarui: 8 September 2024   16:27 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persatuan dalam keragaman, seperti tidak asing di telinga kita. Kita sepakat persatuan merupakan gagasan yang dianggap sangat positif dan membangun. Persatuan adalah cara kita bernegosiasi terhadap kehidupan, cara kita memantik rasa percaya diri kita untuk bisa survive dalam dinamika global yang sulit kita atasi sendirian. Sebegitu dinamis pergerakan dunia ini kita baca yang mana bersamaan juga semakin luasnya apa-apa yang kita ketahui.
   
Logika dasar, semakin sempit dan sedikit ruang gerak kita, semakin mudah kita tata dan klasifikasikan secara keseluruhan; sedangkan semakin luas ruang gerak kita, semakin sulit dan memakan waktu yang lama untuk menata serta mengklasifikasikan apa-apa yang ada dalam ruang gerak kita. Semakin sulit kita menjangkaunya karena adanya kompleksitas yang menghambat proses pemahaman terhadap ruang gerak kita/corpus yang semakin bercabang semakin kita memiliki jarak tempuh pengetahuan yang bercabang pula dan hal tersebut jelas memakan waktu yang tidak sedikit pula.  
   
   Kebutuhan manusia untuk bersatu dimulai dari karakter natural manusia sebagai mamalia kawanan. Kita bisa melihat simpanse, orangutan, gorila, bonobo yang mana mereka hidup berkelompok; bukan maksud saya menyamakan manusia dengan kera, tetapi bentuk awal manusia yang dulunya memiliki kesamaan dengan hewan yang saya sebutkan di atas, memberi kesimpulan yang sama pula mengenai cara hidup natural manusia sebelum mengembangkan sisi sosial mereka. Persatuan per individu awalnya membantu mereka bertahan hidup secara “harfiah”, seperti berburu bersama untuk mendapatkan mangsa yang lebih besar, bertarung secara berkelompok untuk melindungi diri dari predator, memiliki perasaan aman ketika dalam kelompok mereka, dll. Keahlian yang manusia sekarang dapat, adalah berkat kemauan mereka untuk hidup dan bekerja bersama dalam suatu kelompok.
   
   Sisi sosial mereka ini kemudian berkembang begitu pesat, bahkan jauh melampaui genus lain yang bahkan memiliki kesamaan genetik 98% (simpanse). Hal ini di satu sisi menguntungkan karena eratnya fungsi sosial yang ada pada manusia memberikan kekuatan yang maha dahsyat untuk bisa memengaruhi makhluk lain yang bahkan tidak pernah kontak secara langsung. Namun, disisi lain sisi sosial ini membawa pada pelemahan genetik natural manusia sebagai makhluk biologi untuk survive secara alami pada kondisi-kondisi lingkungan alami, atau dengan kata lain, seorang manusia secara fisik akan sangat lemah bila diadu dengan seekor simpanse yang gigitannya saja mampu merobek otot. Ntah hal ini dipedulikan atau tidak, tetapi pada intinya saya mau mengatakan pergerakan sosial manusia, telah jauh melampaui pergerakan natural manusia sebagai makhluk biologi; terlalu timpang jarak yang dibuat manusia dalam menimbang-nimbang kemajuan yang telah mereka sendiri buat. Sadar atau tidak sadar, perubahan yang kita buat ini sangat radikal bila disandingkan dengan kepentingan-kepentingan makhluk lain yang tinggal satu planet dengan kita. Radikal yang dimaksud adalah memiliki tendensi ke manusia itu sendiri (paling tidak sejauh ini) dan hasilnya adalah peningkatan peran manusia dalam mengatur planet bumi kemana arah yang seharusnya dituju (dalam hal ini bahkan manusia “mampu meramalkan” isi pikiran planet bumi). Begitu peran manusia menjadi besar, tuntutan yang dibuat oleh manusia itu sendiri menjadi semakin besar; tanda-tanda yang dibuatnya semakin kompleks, bahkan manusia kini telah mengubah Musa balbisiana menjadi
banana yang sering kita temui di supermarket atau tradisional market dan manusia telah mengubah aurochs menjadi sapi FH dan sapi belgian blue untuk susu serta dagingnya, hal tersebut karena tuntutan manusia sendiri. Sisi sosial mereka telah memberi perubahan yang sangat signifikan, tidak hanya kepentingan manusia itu sendiri, tetapi juga yang sama sekali tidak dipentingkan, contohnya seperti menurunkan egonya untuk berbagi kebaikan dengan alam.
 
  Dalam kehidupan sosial manusia yang sangat dominan, telah mengubah manusia menjadi makhluk yang rentan di atas individualistik yang diyakini menjamah setiap sudut kelompok-kelompok yang dikira sangat solid sekalipun. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan sosial manusia itu sendiri, karenanya manusia bergantung sekali dengan kemajuan sistem sosial mereka. Dalam proyek besar manusia untuk mengekspansi ideologi “sosial” ke berbagai diversity (perbedaan) ini terlihat bagaimana perekrutan anggota-anggota yang dimulai dari sudut pandang manusia tentang kebaikan. Manusia memberikan bantuan kemanusiaan pada ras dan bangsa lain yang telah terjerat permasalahan budaya modern; manusia telah menolong kucing dan anjing gelandangan atas nama kecintaan mereka terhadap satwa, sedangkan rumah kucing dan anjing mereka terbuat dari kayu hutan rumah dari orangutan; manusia mengembangkan ilmu seni dan filsafat pada negara maju, sedangkan di negara berkembang mengembangkan ilmu berdagang dan ilmu hukum; dan masih banyak hal lain yang begitu jelas terlihat usaha manusia menanamkan ideologi dominan mereka. Hal-hal semacam itu sulit untuk kita hindari dewasa ini, sebagai orang yang dianggap beruntung juga ternyata menemukan masalah-masalah baru yang muncul begitu saja akibat pikiran kita sendiri, seperti merasa kasihan dengan satwa akibat polusi cahaya dan suara, sedangkan orang-orang yang kurang beruntung disibukkan dengan kesetaraan upah buruh dalam pabrik yang mana limbahnya berceceran kemana-mana. Praktik-praktik upaya ekspansi ini sangat jelas terlihat, walaupun pergerakannya tidak selinier dan se-equal itu. Namun, hal ini menunjukkan bagaimana manusia tidak menaruh batas pada perkembangan sosial mereka yang tentunya masih membawa nama kebaikan serta kebenaran.

   Unity in Diversity, atau persatuan dalam keberagaman digambarkan sebagai bentuk revolusi manusia ketika mulai muncul bentuk-bentuk ketergantungan terhadap entitas lain (meskipun satu spesies) hingga masih merambah ke pengakuan akan kebenaran manusia oleh entitas-entitas lain yang mencoba manusia rangkul. Pergerakan menuju persatuan ini mustahil dihindari, karena pendapat subjektif seperti saya jelas kalah dengan pandangan umum manusia untuk maju bersama. Penawaran pandangan saya terhadap keberagaman yang semakin hilang ini tidak sejalan oleh permintaan manusia untuk ideal mempertahankan keragaman. Penjelasan saya akan hilangnya keragaman ini dipandu oleh pandangan saya terhadap realitas, bahkan subjek-subjek yang mau melestarikan keragaman itu sendiri. Subjek-subjek ini sangat interest pada keragaman yang ada, tetapi mereka tidak tau mengapa mereka sangat peduli, sedangkan diri mereka sendiri tidak mau menjadikan dirinya sebagai subjek yang melestarikan. Ekspansi budaya yang manusia dominan ini lakukan jelas sekali terlihat, bagaimana budaya tradisional semakin hilang keasliannya akibat percampuran ataupun pemaksaan budaya. Hal ini meniscayakan tidakadanya kestabilan budaya setelah mengalami revolusi dari tubuh manusia itu sendiri sebagai makhluk yang didorong oleh ideologi “sosial” untuk berubah (berbeda dengan hewan dan tumbuhan yang memerlukan evolusi sebagai titik tolak mereka untuk mengalami perubahan). Pada intinya manusia tidak mungkin untuk tidak berubah, dan pada proses perubahan tersebut harus ada perbedaan yang dikorbankan karena titik tolak manusia melalui ideologi “sosial” mendorong manusia untuk bersatu dan memiliki pandangan yang sama terhadap dunia, serta hal ini menjadikan manusia sebagai homo progresif (melalui pemaknaan yang lebih dalam) yang nantinya tidak hanya unity in humanity bahkan melampaui itu dan hal terebut meniscayakan adanya kesamaan (homogenitas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun