Dalam beberapa hari di berbagai media dan blog-blog Islam memuat tulisan tentang hubungan “mesra” Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dengan tokoh-tokoh Islam tanah air. Kedekatan pria yang akrab disapa HT ini dengan Islam sudah terjalin sejak lama karena ayahnya Ahmad Tanoesoedibjo adalah seorang muslim sejati. Ahmad adalah Ketua Persatuan China Muslim se-Jawa Timur dan orang yang dihormati di kalangan ulama.
[caption caption="sumber foto : Okezone.com"][/caption]
Meskipun pada akhirnya memilih jalan yang berbeda dengan menjadi seorang Nasrani, HT masih memegang tongkat estafet perjuangan ayahnya dalam memajukan Islam di Indonesia. Idealisme, garis perjuangan, dan visi-misinya dalam membangun bangsa masih sejalan dengan para tokoh Islam yang ada di tanah air. Misalkan KH Solahuddin Wahid atau Gus Solah, HT bertemu dengan pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur ini untuk berdiskusi terkait Islam dan perkembangannya baik di Indonesia maupun dunia.
Selain itu, CEO MNC Group ini juga bersilaturahmi dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil. Pertemuan tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Al Tsaqafah milik Said Aqil, di Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (13/03/2016). Dalam kesempatan itu HT menyempatkan diri berbincang dengan para santri soal kepemimpinan yang baik. Menurutnya apabila seseorang menjadi pemimpin bukan berarti orang itu punya kuasa terhadap orang lain, justru orang-orang itulah yang memiliki kuasa terhadap pemimpin tersebut. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dimana rakyatlah pemegang kedaulatan penuh, sementara pemimpin hanya menjalankan tugasnya sesuai keinginan rakyat demi kebaikan bersama.
HT juga menilai pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya. Terkait pernyataan pemimpin adalah pelayan rakyat, saya rasa semuanya setuju, baik dunia Islam maupun Nasrani mengakui bahwa status pemimpin adalah pelayan. Nabi Muhammad SAW bersabda “sebaik-baiknya pemimpin adalah yang melayani, bersikap adil, dan tidak sewenang-wenang,” dan dalam dunia barat, sabda ini juga diakui lewat tulisan-tulisan Andre Malraux, seorang penulis ternama Prancis era 50-an, yang mengatakan "Pemimpin untuk melayani, tidak lebih dan tidak kurang,”.
Saya melihat dalam perbincangan HT dengan para santri, sepertinya HT sedang memupuk nilai keislaman dalam diri santri terkait kepemimpinan. HT mengetahu bahwa nasib anak bangsa memang tergantung pada anak muda yang saat ini masih menuntut ilmu dan sedang mencari jati diri. Oleh karena itu, nilai yang luhur serta fondasi kuat berbasis religi sangat diperlukan agar para pemuda ini, yang kelak menjadi pemimpin, tidak lupa akan tugasnya dalam melayani rakyat.
Kita tidak bisa menutup mata, memang hal itu lah yang kerap hilang di dalam diri pemimpin di bangsa ini, yang lebih suka meributkan kekuasaan, dibanding mencari solusi untuk kesejahteraan rakyat. Sepertinya HT sadar untuk merubah mental para pemimpin tidaklah mudah karena kebanyakan dari pemimpin tersebut tersandera oleh kekuatan politik. Mental para penerus bangsa inilah yang harus dibekali agar menjalani kewajibannya dan tidak mengambil hak rakyat dengan melakukan korupsi.
Seperti kertas putih kosong, kita bisa menulis apa saja dalam kertas itu. Bisa kita isi dengan puisi, syair, cerita pendek, lagu, dan lain sebagainya tergantung pada penulisnya. Begitu pula dengan para pemuda, mereka bisa menjadi apa saja, tergantung siapa yang mendidiknya. Oleh karena itu diperlukan sikap kenegarawanan yang ditunjukan oleh seorang Hary Tanoe yang selalu menanamkan nilai dan norma luhur yang berlaku di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H