(Respon Atas Diselenggarakannya “Konser Dukung Ariel”)
Subang, 06 Agustus 2010
Kepada Yth. Akang Yusuf Subrata
Di Tempat
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena pada detik ini saya dan Kang Yusuf masih dikaruniai nikmat sehat dan nikmat sempat, dari Yang Maha Memiliki Hidup. Mudah-mudah kedepannya usia kita akan selalu dinaungi keberkahan, sehingga kita bisa menjalani hidup ini dengan mulia dan diwafatkan dalam keadaan baik oleh Yang Maha Menguasai Waktu.
Kang Yusuf, saya tidak tahu hendak berkirim surat lewat mana, lewat siapa, sehingga saya menulis surat terbuka ini. Tidak istimewa sebetulnya apa yang hendak saya sampaikan, hanya sekadar curahan hati dari seorang lelaki yang melihat sesuatu yang melanda lelaki lainnya, yang mungkin dugaan saya telah menjalani hari-hari yang amat melelahkan pada hari kemarin dan hari ini.
Mudah-mudahan hari-hari Kang Yusuf kedepannya tidak lebih melelahkan dari hari kemarin dan hari ini. Mudah-mudahan kesabaran yang telah Kang Yusuf upayakan berbuah nikmat, hingga seolah-olah di muka bumi ini selama hidup Akang tidak mengalami hari-hari berat, sebagaimana saya duga karena menyaksikan pemberitaan mengenai istri Akang akhir-akhir ini.
Kang Yusuf, sama seperti Akang, saat ini saya diamanahi Allah satu anak dan satu istri. Meskipun saya sibuk, istri juga sibuk, kami punya komitmen untuk selalu mendampingi anak semata wayang kami dalam kegiatan sekolah maupun kegiatan diluar sekolah. Bahagia betul, ketika kami menghabiskan waktu bersama. Alangkah lucu dan jenakanya memandangi istri yang sibuk kesana kemari waktu mengasuh anak, sedangkan tas dan barang bawaan lainnya masih ia tenteng kemana-mana. Alangkah nikmatnya memandangi anak yang begitu lahap menyantap Mie Ayam juga minum Susu Ultra, dengan noda kecap dan sambal menciprati pipi, dagu bahkan sampai menodai kaos olahraga atau seragam putihnya. Inilah kemewahan dan anugerah besar yang sesungguhnya bagi seorang suami, bagi seorang ayah, yang belum menapaki usia perkawinan diatas 15 tahun.
Ketika saya kembali menikmati kebersamaan kami bertiga rabu sore lalu, waktu mereka bergantian menyuapi saya dengan Es Campur yang “maknyus” itu saat sedang menyetir, tiba-tiba lamunan saya berangkat mengingat Akang. Batin saya menduga dan mengeluh : “Ah, apakah kebahagiaan saya ini masih bisa diecap oleh saudara saya, Yusuf Subrata ?” (Ingat, Kang, walau kita tak ada kaitan darah, tapi Nabi SAW pernah bersabda : ...sesungguhnya setiap muslim itu sama bersaudara. Belum sempurna iman seorang muslim, sebelum ia bahagia melihat saudaranya bahagia, dan ia susah melihat saudaranya susah). Saking tiba-tibanya lamunan dan kemurungan itu datang bersamaan, sampai-sampai istri saya bertanya,”Ayo, tiba-tiba melamun. Mikirin apa, Abang ?”
Sebagai seorang suami dan ayah muda, saya tidak bisa membayangkan apa yang menimpa anda melanda diri saya. Sungguh berat beban mental seorang suami, disaat aib sang istri terbuka dan hampir setiap sudut kota bahkan negeri tempat tinggal mengetahui aib tersebut. Saya merasa masih jauh dari derajat muslim yang baik, masih mudah goyah menghadapi kepelikan hidup, jikalau mengalami apa yang Kang Yusuf alami, na’udzubillah, pokoknya saya angkat tangan, mengakui : betapa daratan hati ini tak akan mampu membendung tsunami persoalan sebesar itu. Makanya, saya begitu takjub, menyaksikan Kang Yusuf yang muallaf masih bisa menampilkan ketenangan (setidaknya sampai saat saya menulis surat ini), menunjukkan ketabahan yang luar biasa, padahal istri Akang dan seorang lelaki yang, menurut saya sedang “sakit”, telah mencederai mahligai rumahtangga Kang Yusuf.
Desas-desus bilang, Kang Yusuf bisa tenang karena konon katanya punya “kelainan”. Saya bukan orangnya yang percaya begitu saja dengan desas-desus, apalagi saya sendiri belum mengenal Akang secara langsung, dan belum mendapatkan isyu miring tersebut dari orang yang saya yakini sholih dan bisa dipercaya. Ah, lagipula, desas-desus tidak akan menyelesaikan masalah atau menutupi aib, yang kini bukan lagi aib keluarga akan tetapi aib dari bangsa kita ini. Bencana moral, Kang, yang sengaja dikuakkan oleh Yang Maha Mengetahui Rahasia hamba-hamba-Nya ini, yang ditakdirkan terkuak dihadapan kita-kita ini, pasti menyimpan pelajaran yang menuntut permenungan dalam. Dan, untuk permenungan dalam itu saya tidak ingin desas-desus menjadi salah satu bahan referensinya.
Oleh karenanya, Kang Yusuf, saya berbaiksangka kepada Akang, bahwasanya sebab ketenangan dan kesabaran yang ditunjukkan kepada khalayak itu adalah keyakinan yang Akang utarakan sendiri : “setiap orang punya salah, dan layak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya”. Sungguh karena berbaiksangka itu saya jadi menduga bahwa Akang ini seseorang yang “bageur”, orang baik- seperti kata orang Sunda disaat mengomentari seorang pria yang budi-pekertinya baik, sekaligus rupawan pembawaannya.
Karena berbaiksangka dan menduga Kang Yusuf ini orangnya “bageur” itulah, saya jadi sedikit jengah dan gerah mendengar ada orang membuat konser untuk mendukung, lelaki yang, menurut saya sedang “sakit”, yang telah mencederai mahligai rumahtangga Kang Yusuf. Entahlah. Apakah gerahnya saya ini sama dengan gerahnya Kang Farhat Abbas, yang sempat melaporkan lelaki yang, menurut saya sedang “sakit”, yang telah mencederai rumahtangga Kang Yusuf. Jikalau melihat saya berulang-ulang menuliskan kalimat terakhir tersebut, bolehlah tampaknya saya beradu gerah dengan Kang Farhat Abbas.
Kang Yusuf, selain menduga konser dukungan itu sedikit-banyak ada menyinggung perasaan Akang selaku lelaki dan manusia, menduga sedikit-banyak ada juga menyakiti istri tercinta yang beberapa minggu lalu sudah mengaku dan meminta maaf secara terbuka, konser dukungan itu seperti sebuah ejekan bagi saya, dan saya kira lelaki normal lainnya, yang tentu saja tidak suka jika harus “membagi” tubuh atau jiwa istrinya kepada lelaki lain.
Konser itu, dalam pemikiran orang biasa seperti saya (yang tidak sepopuler dan sehebat penggagas konser dan orang yang didukung melalui konser tersebut), Kang Yusuf, sedikit-banyak punya tendensi menantang lelaki-lelaki yang punya visi menjadikan mahligai rumahtangganya utuh dan langgeng dunia-akhirat. Sungguh luar biasa dahsyatnya tantangan dan ejekan itu. Betapa tidak, seseorang yang nyata-nyata telah merenggut hak seorang suami, yang sama artinya telah melecehkan tali pernikahan yang notabene merupakan syariat agama manapun yang suci, masih mendapatkan simpati besar seperti itu. Masih mending dan seharusnya, dalam hemat saya, jika sebelum didukung terus berkarya lelaki itu didukung dulu untuk minta ampun ke hadirat-Nya, minta maaf kepada rakyat Indonesia, dan kalau memang seorang gentleman dia minta maaf kepada seorang Yusuf Subrata.
Kata maaf dan rasa sesal itu adalah kewajibannya, dan kata maaf serta rasa sesal itu adalah hak Kang Yusuf yang sangat-sangat mutlak. Sangat-sangat mutlak, Kang. Akang tentu pernah tahu, betapa lelaki Madura sampai harus melakukan Carok, bertanding Clurit sampai mati, walaupun hak yang sangat-sangat mutlak itu sudah berusaha dipenuhi oleh dia yang mempunyai kewajiban. Harga kehormatan yang terenggut, bagi saudara-saudara kita yang tinggal di Madura adalah : darah, yang berarti nyawa.
Ah, maafkan saya, Kang Yusuf. Saya mohon Akang lupakan saja apa yang tertulis dalam 3 paragraf terakhir. Kalimat-kalimat itu hanya luapan perasaan orang biasa, orang yang tidak hebat, tidak punya harta berlimpah, besar di kota kecil, yang kebetulan terbawa suasana dan memisalkan apa yang menimpa Kang Yusuf, na’udzubillah, terjadi pada keluarganya.
Kang Yusuf yang “bageur”, akhirnya, gemeretuk kemarahan ini akan saya alihkan saja pada gemetarnya doa. Saya berdoa, semoga Akang yang telah tampil sabar dihadapan kami, istri Akang yang telah mengakui salah dan minta maaf kepada kami, dipertautkan oleh Allah SWT hingga ke ujung masa. Semoga ikhtiar Kang Yusuf sebagai ayah dan suami pada hari-hari ke depan, berada dalam bimbingan Allah SWT dan lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Semoga istri Kang Yusuf juga diberikan hidayah dan ampunan, sekaligus kembali menjadi pendamping suami dan pengasuh anak yang baik, terhindarkan dari sifat putus-asa karena aib yang dalam takdir Tuhan ternyata harus dibukakan ini. Akang, percaya ‘kan ? Tiada sesuatu yang terjadi diluar ijin-Nya, termasuk hal-hal tidak mengenakkan, menggelisahkan, yang terkuak kehadapan publik pada beberapa bulan ini.
Tapi semoga Akang dan istri percaya juga bahwa, aib yang terbuka ini pada akhirnya hanya bisa tertutup oleh Dia Yang Telah Menakdirkannya terkuak. Akang dan istri mungkin menduga aib ini tak akan mungkin tertutup dan tak akan mungkin terlupa dari ingatan kalian dan orang-orang yang terlanjur tahu. Saya menduga, mungkin Akang serta Istri menjadi pesimis menatap masa depan bila memikirkan hal itu. Belum lagi, ada seorang pakar yang bilang,”...sesuatu yang terlanjur menyebar di internet akan selalu ada di server-nya...”, ditambah cas-cus sana-sini yang memanaskan,”...suatu saat file-nya bisa di-download dan dilihat lagi”. Hah ! Para pakar hanya manusia, Kang. Akal, hati, pikiran mereka, semuanya berada dalam kekuasaan Tuhan, Dia Yang Menakdirkan apa yang terjadi belakangan ini.
Tinggallah kini apa yang hendak Akang dan Istri lakukan untuk “membujuk” Tuhan agar cepat atau lambat dapat menghapuskan dosa dan menutupi aib yang terlanjur terbuka. Saya kira, kita sama-sama tahu apa yang mesti dilakukan untuk mengupayakan segala kebaikan itu. Akang sendiri telah mengawalinya dengan mendorong Istri untuk minta maaf kepada khalayak. Saya juga menduga dan berprasangka-baik kepada Akang, demi masa depan putri tercinta, Sydney, Kang Yusuf dan istri akan melakukan yang terbaik untuk meraihnya. Semoga Akang tetap berbesar hati dan tidak putus-asa, karena saya menduga bahwa tantangan untuk meraih itu masih tetap akan begitu besar. Hadapi segala sesuatunya bertiga, dengan kompak, dan sering-sering saja melakukan kegiatan bersama-sama. Sesungguhnya hal-hal kecil, sederhana, senantiasa berkesan jika diniatkan untuk kebaikan mahligai rumahtangga.
Demikian surat saya yang agak panjang ini. Maafkan kalau banyak salah-kurangnya. Mohon dimaklumi, karena saya yang orang biasa ini, kadangkala tidak pandai mengungkapkan perasaan atau memilih kalimat dan kata. Saya takut Kang Yusuf, istri dan keluarga besar tersinggung dengan kata-kata orang udik dari kota kecil yang gemassekali melihat seseorang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan, tidak minta maaf terutama kepada Akang, eh, malah diberi simpati dan dukungan sedemikian dramatik.
Salam manis untuk Sydney, putri Akang. Semoga dia kelak jadi anak yang sholihah dan besar dalam cinta Tuhan yang selalu murni, melindungi, menghibur dan mengobati. Aamiin.
Hormat saya,
RA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H