Mendengarkan karya-karya Iwan Fals, terutama waktu Ian Antono masih ikut campur menggarap aransemen-aransemennya, gue ngerasa warna musik musisi besar Indonesia itu sama sekali lain ama warna Bob Dylan. Seperti banyak gue tau dari artikel-artikel tentang Iwan Fals, beliau amat terpengaruh dan mengagumi eksistensi seorang Bob Dylan. Tapi, kayaknya sih hanya kekaguman atas lirik-lirik dan pendirian bermusik Dylan. Kalo secara aransemen, Iwan Fals kayaknya lebih beruntung dari musisi yang dia kagumi. Sejak jaman ditangani oleh Willy Soemantri yang kentel dan asyik warna country-nya, sampe jaman ditangani sama Ian Antono yang meracik aransemen lagu-lagu Iwan dalam balutan rock n roll nge-beat, lagu-lagu Iwan Fals lebih nyeni dan enak dinikmati daripada lagu-lagu Bob Dylan. Ya, setidaknya menurut opini kebanyakan orang-orang kita. Sering kita lupain, atau gak diketahui ama para penggemarnya, bahwasanya dari mulai album awal sampe album Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals bersetia dengan warna Southern Rock. Boleh jadi, album Opini, Sarjana Muda dan sejenisnya berbeda kedengarannya ama album Mata Dewa, Orang Gila atau Belum Ada Judul yang menyajikan perpaduan akustik dan emosi khas seniman a la Iwan Fals. Namun, tetep aja, sesuai ciri khas musik-musik Southern Rock, mau maen dengan basik elektrik maupun akustik, musisi-musisi pengusung aliran ini gak pernah meninggalkan style blues, country dan rock n roll full beat dalam karya-karyanya. Siapa aja sih pelopor aliran yang pernah jadi counter British Invasion di Amrik, situs kelahiran berbagai aliran musik pop di era modern ini ? Setidaknya, ada tiga nama besar yang bisa kita sebut : Elvis Presley, Bo Diddley dan Jerry Lee Lewis. Baik Willy Soemantri maupun Ian Antono, dua arranger yang paling berpengaruh buat sukses Iwan Fals itu, banyak menuangkan part-part atau sampling ketiga pelopor aliran Southern Rock, yaitu sebuah genre rock yang lahir dan berkembang di wilayah Amerika Serikat bagian selatan ini. Misalnya, lagu Oemar Bakri (arr.Willy Soemantri album Sarjana Muda), yang kenyelenehan aransemennya bersinggungan ama gaya-gaya Bo Diddley, Pesawat Tempur (arr.Ian Antono album 1910) yang bermain dalam tempo Balls Of Fire-nya Jerry Lee Lewis, atau Pinggiran Kota Besar (arr.Ian Antono album Mata Dewa) yang part-part-nya terinspirasi dari hits-hits rock n roll Elvis Presley. Dari ketiga materi yang berbeda jaman tersebut, nyata karya-karya Iwan Fals gak pernah keluar dari pattern-pattern Southern Rock.
Sebuah kejutan buat gue, bahwa ternyata Southern Rock di Indonesia gak cuma mengilhami seorang Iwan Fals yang akrab dengan kharisma tegar-nya. Kelompok The Mercy’s, yang dikenal lewat hits-hits melankolis macam Tiada Lagi, Hidupku Sunyi atau Kisah Seorang Pramuria ini, ternyata juga menyelipkan beat-beat riang Southern Rock di lagu-lagunya yang nge-beat macam Mama dan Papa, Baju Baru atau Hey-Hey-Hey. Kelompok yang dikenal lewat karya-karya mellow Rinto Harahap ama lengkingan vokal Charles Hutagalung ini, ternyata sempet-sempetnya juga ber-rock n roll ria. Ya, cuma, gaya-gaya Southern Rock mereka bukanlah gaya-gaya yang nyeples banget sama warna tiga pelopor Southern yang gue sebut belakangan. The Mercy’s dipengaruhi abis sama CCR (Creedence Clearwater Revival), kelompok rock n roll yang terkenal ke seluruh dunia berkat hits legendarisnya Have You Ever Seen The Rain. Pasca Elvis Cs, adalah era puncak popularitas band-band Amrik bagian selatan macam CCR, Allman Brothers Band, Lynyrd Skynyrd dan Grateful Dead. Nyimak materi-materi dari ke-empat band itu, gue ngerasa berkenalan ama sisi lain kehidupan orang-orang Amrik bagian selatan. Dari lirik-lirik yang mereka bawain, selain tema klise percintaan, tersirat juga kehidupan keseharian mereka yang akrab ama kegiatan touring, bertani, hiking, traveling, ngumpul-ngumpul dan adventure. Simak aja nomer Dreams dari Allman Brothers, Free Bird dan Sweet Home Alabama-nya Lynyrd atau Uncle John’s Band-nya Grateful Dead. Lewat nomer-nomer itu kita bakal disuguhin warna-warna akrab dan ceria, ya ng bikin kita happy dan tenteram sepanjang hari. Gue sih senengnya menyimak nomer-nomer ini mulai jam 7 sampe 9 pagi di hari minggu. Asyik dan bikin mood gue enak.
Oh ya, warna-warna Allman Brothers de-el-el itu, selain kentel keliat di warna-warna Iwan Fals ketika solo, juga menjadi influence di nomer-nomer kelompok musik kita yang pernah diperkuat Iwan atau kebetulan sekomunitas ama dia, seperti : Sirkus Barrock, El Pamas, Swami dan Dalbo. Southern Rock a la Sirkus Barrock melintas di nomer-nomer macam : Rajawali, Burung Putih, Penjelajah Alam, Problema Remaja, Lagu Anak Negeri. Southern a la El Pamas mengemuka di nomer rock n roll mereka : Kereta Gaya Baru, sementara Southern a la Swami dan Dalbo mengemuka di semua nomer yang mereka bawain di album-album mereka. Swami ama Dalbo itu, seandainya lahir di Southern, misalnya di Alabama, Misissippi atau Florida, kayaknya bakal jadi band legendaris dalam sejarah Southern Rock. Gaung Southern Rock gak hanya sampe taun-taun angkatan babe gue. Pas taun akhir 80-an or awal 90-an, Southern Rock juga enak diapresiasi lewat sajian R.E.M, Black Crowes dan Blind Melon. Awal 90-an, waktu alternative rock menjadi aliran trend dan mainstream di dunia, R.E.M sukses berat secara komersial lewat dua album-nya : Out Of Time (1991) dan Automatic For The People (1992). Waktu itu R.E.M sukses juga menampilkan sound balada, yang lagi-lagi mirip ama beberapa corak balada Swami-nya Iwan Fals, baik secara lirik maupun musik. Bukan, bukan niru, tapi satu semangat maksudnya. Coba deh, kita simak Potret, Bunga Trotoar atau Cinta di album Swami 1 (1989), juga simak Radio Song, Losing My Religion dari Out Of Time-nya R.E.M, dan simak juga Drive, Nightswimming, Man On The Moon atau Everybody Hurts dari Automatic-nya R.E.M. Banyak yang sepakat ama gue, bahwa R.E.M ama Swami itu membawa satu semangat bermusik, semangat Southern Rock. Tapi, lain ama gaya Allman Brothers, CCR, dll, yang muncul di taun 70-80-an, R.E.M, Black Crowes maupun Blind Melon, secara beat maupun lirik gak lagi ngangkat suasana adventural ke dalam lagu-lagunya. Mungkin karena problem sosial, psikososial dan lingkungan hidup, para pengusung Southern Rock 90-an cenderung mengeksplorasi kritik sosial, suasana batin yang terguncang atau tertekan, sekalipun masih menggarap tema abadi : percintaan. Black Crowes mewakili perasaan-perasaan itu di album pertama mereka yang sukses berat meraih 5 platinum, Shake Your Money Maker, yang dirilis januari 1990 dan menduduki urutan ke-4 dalam Billboard 100. Barulah, pada album ke-2 The Southern Harmony and Musical Companion (dirilis 1992, double platinum, nomer 1 di Billboard Chart), Black Crowes tampil dengan akar tradisional Southern-nya. Best cut di album ini, yang Southern banget menurut gue adalah : Remedy, Time Will Tell, My Morning Song dan Thorn In My Pride.
Di era alternative rock yang disesaki para grunger itu, selain kiprah R.E.M dan Black Crowes yang sukses melestarikan Southern Rock, gak bisa dilupain begitu aja kiprah Blind Melon. Band yang dimotori ama vokalis pschydelic, Shannon Hoon, ini, berhasil meleburkan melodius-nya Southern Rock a la Allman Brothers, Lynyrd Skynyrd, CCR dan Grateful Dead, ke jiwa alternative rock. Kebetulan, gue punya semua album Blind Melon, dari mulai album Blind Melon (1992) yang fenomenal, Soup (1995) yang folklore banget dan Nico (1996) yang jadi penutup karier band ini, pasca over dosisnya Shannon Hoon. Kalo menyimak hits-hits Blind Melon, mulai dari : Tones Of Home, No Rain, I Wonder dari album Blind Melon, Galaxie, Toes Across The Floor dari Soup, dan Soul One, The Pusher dari Nico, kita disuguhi ke-piawaian bermusik, kedalaman lirik, harmonisasi, dan kelancaran bertutur. Ngedenger Shannon Hoon dan Blind Melon-nya bermusik, kita seolah-olah lagi menonton film-film drama remaja yang mengangkat kehidupan dan romantisme di kota-kota kecil dan pedesaan di Amrik sana. Ada kisah cinta bersahaja, ada kisah kekerasan hidup, ada pergulatan batin, yang khas dan emosional dalam materi-materi Blind Melon. Seolah-olah, ruh Led Zeppelin, Lynyrd, Allman dan Grateful Dead menyurup dalam attitude band yang juga dipuji abis ama Neil Young, musisi balada terkemuka Amrik ini. Akhir-akhir ini, gue juga baru aja nge-apresiasi Black Stone Cherry, band Southern Rock yang baru ngerilis album Juli, 2006, lalu. Materi di album pertama mereka yang juga dikasih label Black Stone Cherry itu, berhasil mengorbitkan hits : Rain Wizard, Lonely Train dan Hell and High Water.
Ngeliat tongkrongan band yang diawaki oleh : Chris Robertson (vocals/guitar), Ben Wells(guitar/vocals), Jon Lawhon (bass/vocals) dan John Fred Young (drums/vocals) ini, secara performance mereka bisa dibilang cukup kharismatik. Cuman, kalo ngedenger materi mereka, kayaknya baru Hell and High Water aja yang bisa mewakili kehangatan dan beat-beat Southern yang khas itu. Untuk urusan orisinalitas ke-Southern Rock-annya, Black Stone Cherry masih kalah orisinil dari Iwan Fals dan band-band-nya, yang notabene asli Indonesia. Kayaknya sih, salah satu penyebab kurang menyatunya Black Stone Cherry ama akar tradisional mereka adalah : mereka gak punya personil yang gape maen piano akustik, banjo, piul, atawa harmonika. He he he, pantesan kalah ama Iwan Fals Cs yang bukan keturunan Amrik, tapi ahli banget memainkan instrumen khas Southern United States Of America itu.(eap)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya