Mohon tunggu...
Ilyas Maulana
Ilyas Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Amatir

Fatum brutum amor fati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Langkah untuk Menuju Suatu Keabadian

22 Mei 2023   08:53 Diperbarui: 22 Mei 2023   11:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Apa yang ada dalam benak pikiran saat membaca judul tulisan ini? Mungkin akan mengundang suatu tanya dalam benak, ihwal langkah apa yang dapat mengantarkan pada suatu keabadian? Atau abadi yang dimaksud di sini itu seperti apa sih? Maka dari itu, mari kita simak lebih dalam tentang maksud dari isi tulisan ini.

            Di mulai dari "Keabadian"

Apa maksud abadi di sini? Bukankah kita sebagai manusia ini tidak ada yang abadi, dalam artian semua yang bernyawa pasti akan mati. Bukankah hal itu semua orang amini? Saat ini kita tidak sedang membicarakan ihwal hidup atau mati, yang tentunya itu tidak menuju suatu hal yang abadi. Kita akan membicarakan perihal abadi dari entitas yang lain. Dalam hal usia, kehidupan, tentunya ini tidak ada yang abadi. Di ujung kita akan dihadapkan pada situasi mengakhiri hidup atau mati. Karena dalam lingkup ruang dan waktu, hal ini akan menemui buntu, tidak ada kekal di dalamnya.

            Tentunya kita tidak hanya memaknai abadi dalam konteks waktu saja, lebih spesifiknya perihal kehidupan manusia karena tetap bahwa tidak ada yang abadi, semua akan mati. Di sini kita akan membicarakan perihal abadi di sisi lain, suatu abadi yang tidak bergesekan dengan hidup yang ada akhirnya, abadi di sini adalah abadi dalam pemikiran dan kenangan. Sampai di sini mungkin masih tergambar abstrak dan masih belum menemukan suatu kejelasan terkait yang dimaksud di awal. Oke, kita akan meneruskannya.

            Sebelumnya disinggung bahwa abadi yang dimaksud adalah abadi dalam pemikiran dan kenangan, kata kuncinya adalah itu. Lantas hal apa yang bisa membuat kita abadi dalam pemikiran dan kenangan? Hal yang dapat mengantarkan kita pada hal itu adalah dengan suatu tulisan. Tulisan adalah manifestasi dari pemikiran. Suatu proses berpikir akan menghasilkan ide atau gagasan yang harus dikeluarkan. Bisa saja ide tersebut dikeluarkan hanya dengan bentuk perkataan saja, disampaikan secara lisan. 

Namun tentunya hal itu hanya akan sampai pada saat itu saja, setelah selesai disampaikan mungkin bisa saja terlupakan begitu saja. Kita ambil contoh saat seorang penceramah menyampaikan ceramahnya di depan khalayak umum. Banyak audiens yang mendengarkan, suasananya tentu juga sangat ramai. Kita lihat setelah acaranya beres, apakah yang penceramah tersebut akan terus diingat oleh para pendengarnya? Sebagian iya, dan sebagiannya lagi tidak. Suatu pengetahuan yang tidak diikat dengan tulisan hanya akan seperti suatu hewan buruan yang liar di alam. Maka bentuk mengikatnya adalah dengan menulis, dengan tulisan.

            Dari analogi tadi kita akan sampai pada tahap mengapa harus menulis? Jika tadi disebutkan bahwa suatu ilmu pengetahuan itu layaknya binatang buruan yang liar, dan menangkapnya atau mengikatnya dengan tulisan. Tujuannya sudah kita dapatkan, ya agar kita mendapat ilmu pengetahuan. Kita sudah mengabadikan suatu pengetahuan dengan bentuk tulisan, yang nantinya kita bisa membaca lagi tulisan itu kelak. Lain halnya dengan menangkap pengetahuan hanya dengan mengandalkan hapalan saja, tentu suatu saat bisa saja kita lupa.

            Tidak hanya sampai di situ saja, dengan menulis bisa membuat kita abadi dalam kenangan, selain sudah abadi dalam pemikiran. Pengetahuan yang sampai kepada kita di masa sekarang, adalah hasil dari pemikiran para ilmuan di masa lalu. Pemikirannya bisa sampai pada kita hari ini adalah berkat pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Bisa dibayangkan mungkin, bagaimana jadinya jika di dunia ini suatu pengetahuan tidak dituliskan. Mungkin bisa saja disampaikan secara lisan, turun temurun. Namun apakah ada jaminan hal tersebut telaksana dengan baik?

            Siapa yang tidak kenal dengan Nabi Muhammad? Siapa yang tidak kenal dengan imam Maliki, imam Hanafi, imam Syafii, imam Hambali, atau para ulama dan cendekiawan muslim lainnya? Mereka bisa kita kenal lewat karya-karyanya, lewat pemikirannya yang diabadikan lewat tulisan. Entah itu mereka menulis karyanya sendiri atau ada orang lain yang menulis tentang mereka. Dalam hal ini, mereka telah abadi dalam pemikiran dan kenangan.

            Lalu bagaimana dengan kita sendiri yang mungkin merasa bahwa kita bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa? Kita juga bisa abadi dalam pemikiran dan kenangan. Setidaknya tidak seterkenal para tokoh yang disebutkan, kita bisa dikenang oleh keluarga atau teman terdekat. Meski ruang lingkupnya sangat kecil, tapi tak mengapa karena kita telah memiliki suatu kebaikan dan kemajuan. Kelak nantinya jika kita telah wafat, karya kita akan terus disimpan sebagai kenangan dan suatu saat pasti ada orang lain yang akan membacanya. Mereka akan mengetahui dan mengakui bahwa kita pernah ada, dan akan terus ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun