Sekali lagi, kasus Prita memang membuat miris. Ya gimana gak miris, walau seantero Indonesia sudah membela Prita, dan Pengadilan Negeri pun sudah memenangkannya, eh malah MA yang membuat kerjaan dengan memenangkan kasasi jaksa penuntut Prita.
MA benar benar mengabaikan UU Perlindungan Konsumen (UUPK) no. 8 tahun 1999 dalam kasus Prita. Dan malah bersandar pada pasal karet di dalam UU ITE itu. Sekali lagi, ini adalah preseden buruk bagi perlindungan konsumen di Indonesia.
Di dalam UU Perlindungan Konsumen, hak hak konsumen memang dijamin utuh. Hak tersebut adalah hak untuk memperoleh keamanan, hak atas informasi, hak untuk mengadu atau mengeluh, dan hak untuk mendapatkan kompensasi (pasal 4 UUPK).
Di dalam UUPK ini pula pelaku usaha secara strict dilarang melakukan penipuan, penyesatan, atau pun bahkan pelayanan ataupun transaksi yang diluar standar. Pasal yang mengatur kelakukan pelaku usaha ini cukup panjang. Dan sanksi bagi pelaku usaha pun cukup keras. Di dalam pasal 62 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha yang mengabaikan hak konsumen dapat kena sanksi penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp 2 M.
Makanya, ketika di Pengadilan Negeri (dimana ketua YLKI, pak Sudaryatmo sebagai saksi ahli berdasarkan UUPK), dalil ini bisa diperdebatkan secara terbuka. Argumen bisa saling ditampilkan, sekeras dan sekuat apapun itu. Lawan itu, UU ITE dengan UUPK.
Tetapi di MA, bagaimana debat dilakukan secara terbuka? Otoritasnya sudah hampir mutlak ditangan mereka. Jadi kalau hakimnya belum punya 'jiwa' perlindungan terhadap masyarakat sipil atau dalam hal ini konsumen, kasasi malah dikabulkan. Apalagi kalau nurani emang sudah terbang. Kemana nuranimu wahai hakim MA?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H