Ketika membaca link berita yang ditautkan oleh teman di FBnya, saya masih tenang-tenang aja ketika dibilang bahwa tarif listrik rumah mewah, hotel dan mal akan dinaikkan seperti pertamax. Naik-turun secara komersial setiap bulan, tergantung inflasi, ICP (harga minyak Indonesia) dan kurs rupiah terhadap dollar. Naiknya jelas, yak, tetapi turunnya bisa kapan tuh, hehee, secara inflasi mestilah naik terus ditambah kurs rupiah yang melemah.
Kemudian, acuan ICP juga aneh. Karena biaya listrik sangat tergantung kepada sumber energi primernya. Yang membuat harga listrik sangat tidak ekonomis, tentu karena memakai energi primer minyak bumi. Tetapi dengan gas, ataupun batubara tentu jauh lebih murah. Ehmm, apakah kebijakan hulu kelistrikan yang belum beres ini dibebani kepada pelanggan listrik melalui harga acuan minyak bumi?
Keputusan menaikkan harga ini memang dibuat oleh kementrian ESDM yang baru no.31/2014, dan berlaku mulai 1 Januari 2015. Sebenarnya, oklah, harga komersial PLN ini ditanggung oleh rumah mewah ataupun bisnis. Karena ada harapan, akan ada subsidi silang kepada pemakai tidak mampu. Selain itu, masih ada sekitar 30% masyarakat Indonesia yang masih belum teraliri listrik. Jadi sangat, sangat besar harapan akses listrikpun akan merata di seluruh Indonesia, melalui harga yang bisa membuat PLN 'bernafas' dan investasi kesana.
Tetapi ketika melihat rincian 12 golongan yang ikutan naik, saya kaget ketika rumah dengan daya 1300 VA masuk. Jadi yang disebut rumah mewah itu termasuk yang daya 1300? Tega nian pak Menteri jika inipun ikut dinaikkan setara rumah mewah!
Jadi inget OB di kantor yang rumahnya 1300 VA. Rata-ratapun yang pindah ke daya 1300 ini adalah masyarakat tidak mampu yang tadinya dayanya 450 atau 900, yang kemudian pindah ke 1300. Baik karena pindah rumah, maupun akibat 'tekanan' oknum tertentu yang menyatakan bahwa daya 900 sudah tidak tersedia lagi.
OB ini tidaklah termasuk kelompok yang mendapat kompensasi BBM. Tetapi terkena dampak dari kenaikan BBM, ongkos transportasi naik. Biaya kebutuhan pokok pangan ikutan naik. Dan sekarang listrik pulak ikutan naik.
Yang menarik, didalam keputusan tersebut alasannya adalah 'untuk mendorong subsidi yang lebih tepat sasaran'. Apakah yang 1300 itu subsidi yang tidak tepat sasaran? Sekarang karena subsidi serba dikurangi, jadi beneran pengen tahu, definisi tidak tepat sasaran itu indikatornya apa? Jangan sampai ini menjadi bahasa politis untuk membenarkan segala kebijakan pemerintah yang sebenarnya bisa jadi semakin menekan kehidupan 'wong cilik'.
Ya sudah, Salam prihatin deh....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H