Ibu Habibah, Nelayan Marunda. Foto by Ilyani
Ketika hadir acara berbincang pahlawan pangan lokal di Aliansi Desa Sejahter (ADS), salah satu yang saya temui adalah ibu Habibah, seorang nelayan Marunda. Jadi tidak jauh-jauh, ibu ini berasal dari daerah Jakarta sini, asli Betawi.
Ketika mendengar penuturan beliau, waduh, jadi miris sekali. Bayangkan, bu Habibah adalah penduduk asli Jakarta yang berprofesi sebagai nelayan (suami-istri mencari hasil laut). Dahulu, sekitar 1990-an, pendapatannya sebagai warga DKI di sekitar sini bisa mencapai Rp 300.000 hingga Rp 1 juta perhari.
Tetapi dengan perkembangan Jakarta, pengkaplingan pantai oleh industri dan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT), kelurahan Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara sekitar tahun 2000-an, mereka ini terkena dampak yang signifikan.
Pengkaplingan pantai membuat mereka tidak mendapatkan akses ke laut. Bahkan jika akan melaut melalui jalur Ancol, diharuskan membayar Rp 50 ribu. Dan mereka sudah beradu argumen dengan pengelola Ancol agar diijinkan masuk gratis karena bukan wisatawan, tetapi pihak pengelola tetap bersikeras agar para nelayan marunda ini membayar Rp 50 ribu, disamakan dengan wisatawan lainnya.
Sedangkan dampak adanya BKT, ternyata BKT ini membawa limbah yang luar biasa mengalir melewati pemukiman penduduk. Dengan air yang kehitaman, berbusa setinggi pintu air, dan sampah yang menumpuk (terutama sampah plastik), bau air sungai ini sangat tajam. Ini berarti pabrik-pabrik sepanjang sungai yang membuang limbahnya hingga BKT tidak mengolah limbahnya terlebih dahulu?
Begitu juga permasalahan limbah penduduk, karena air busa tersebut membuktikan bahwa limbah deterjen masuk tanpa pengolahan terlebih dahulu ke badan-badan air. Siapa yang bertanggung jawab mengelola limbah ini di Jakarta?
Limbah berat tersebut, selain mematikan biota laut, atau badan air tempat para nelayan mencari kerang-kerangan, juga mengancam kesehatan masyarakat sekitar sini.
Dengan kondisi seperti ini, tidak heran, pendapatan mereka yang dulunya bisa mencapai Rp 1 juta per-hari, sekarang paling hanya Rp 20 ribu. Inilah yang menyebabkan Ibu Habibah mengorganisir nelayan setempat untuk mendirikan organisasi nelayan, sekaligus simpan-pinjam. Anggotanya kini 55 orang.
Ibu Habibah juga sempat mengeluhkan kondisi anak-anak nelayan disini. Khawatir pada putus sekolah. Saya langsung menanyakan apakah mereka sudah mendapatkan kartu pintar? Ternyata belum! Diharapkan prioritas kartu pintar di Jakarta Utara ini ditujukan kepada anak-anak nelayan ini. Biar nasib generasi mudanya kelak bisa berubah.