[caption id="attachment_390510" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Pagi ini saya membaca berita duka, meninggalnya Verrys Yamarno, pemeran Mahar di film Laskar Pelangi. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Duh, jadi inget, ketika berlibur ke Belitung, sempat foto bareng dengan pemeran Laskar Pelangi ini. Yang membuat sesak, ternyata sejak dua hari sebelumnya Verrys mengaku sakit kepala. Tetapi ketika diajak ke dokter Verrys tidak mau.
Keengganan Verrys ke dokter mengingatkan saya cerita teman yang kehilangan kakaknya. Kakaknya juga tidak mau sama sekali ke dokter. Ketika akhirnya mau berobat, sudah terlambat sekali, karena sudah masuk ICU dan akhirnya wafat. Ketika wafat itu, ibunya sesenggukan bilang, "Nak, semua orang mengatakan Ibu berhasil mendidik anak-anak Ibu jadi 'orang'. Tetapi ternyata Ibu tetap merasa gagal, karena Ibu tidak bisa mengubah pandanganmu untuk mau berobat ke dokter."
Saya tersentak, karena perilaku enggan ke dokter itu juga saya rasakan. Soalnya dulu ketika adik saya sakit, dokter memberi buanyak sekali obat. Ada 7 macam kali. Di-opname lama, tetapi penyakit semakin parah. Akhirnya dibawa ke Penang. Dan setelah serangkaian pemeriksaan, dokter menenangkan ibu saya. Karena ternyata diagnosis penyakit sebelumnya kurang tepat. Adik saya hanya diberi 2 macam obat, dan Alhamdulillah hingga sekarang stabil kesehatannya.
Karena peristiwa itu, di kepala saya pun saya punya pandangan bahwa dokter sering salah diagnosis, tetapi suka buru-buru langsung memberi obat. Walaupun pandangan ini bisa saja keliru.
Jadi menurut saya, ada 5 alasan mengapa sebagian masyarakat masih enggan ke dokter di Indonesia.
1. Kekhawatiran berlebihan tentang proses pengobatan. Termasuk di antaranya mengenai diagnosis dan pemberian obat yang banyak sekali. Tetapi ini bisa disiasati dengan akses informasi yang terbuka sekarang ini, di mana di medsos sering dibahas dokter-dokter atau rumah sakit yang oke. Sharing pengalaman ini penting untuk memutuskan dokter atau rumah sakit mana yang hendak kita kunjungi.
2. Masalah biaya. Jika sudah sakit, biaya yang keluar bukan sekedar biaya dokternya. Tetapi serangkaian pemeriksaan juga memakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi dengan adanya BPJS, sesungguhnya masalah beban biaya ini sudah dapat dikurangi. Hanya mesti telaten antri di puskesmas, dan harus melalui pelayanan dasar dulu, baru bisa mendapat rujukan. Semoga kapasitas pelayanan BPJS juga bisa ditingkatkan, baik kapasitas providernya maupun tenaga kesehatannya.
3. Anti pengobatan modern, dan lebih suka pengobatan tradisional dengan herbal, atau pengobatan alternatif lainnya. Ini juga ada loh, pokoknya apa pun sakitnya, akan dicari obatnya dengan herbal ataupun alternatif. Padahal pengobatan alternatif ini juga tidak murah. Dan belum tentu sesuai dengan penyakitnya.
4. Menganggap sepele penyakitnya sendiri. Kadang ada orang memiliki penyakit dengan gejala berulang, tetapi menganggapnya sebagai hal yang biasa. Paling dengan membeli obat penghilang rasa sakit di warung, dianggap sudah beres.
5. Kurang sabar dalam mengikuti proses pemeriksaan dan/atau terapi. Padahal, dokter yang baik akan berhati-hati memberikan diagnosis, sehingga seluruh proses pemeriksaan harus diikuti. Oh iya, dokter yang baik dan ahli banget, pasiennya juga banyak loh. Karena biasanya memang sudah tersebar di medsos 'kebaikannya'. Jadi kudu sabar antri. Begitu juga bagi pemegang BPJS. Proses di Puskesmas yang antri banget juga harus dilakoni.