[caption id="attachment_380612" align="aligncenter" width="554" caption="Rupiah (Tribunnews.com)"][/caption]
Sekarang ini kurs rupiah terus melemah terhadap dollar. Karena Indonesia menganut 'floating rate' atau kurs mengambang, nilai rupiah yang ada sekarang merupakan nilai riil dari dinamika moneter luar negeri maupun pengaruh dari dalam negeri.
Bagaimana menyikapi lemahnya nilai rupiah tersebut? Kebetulan tadi malam, ketika sambil makan, aku nanya ke suamiku. Bukannya dengan rupiah melemah, produk Indonesia bisa makin kompetitif untuk ekspor? Tapi doi bilang, banyak industri Indonesia masih sangat tergantung bahan bakunya pada impor. Jadi tetap, cost produksi semakin naik tinggi. Ditambah kenaikan BBM pula.
Kondisi Indonesia tentu berbeda dengan China. Melemahnya rupiah bisa bikin deg-degan karena sesungguhnyalah ketergantungan Indonesia terhadap impor masih sangat tinggi. Termasuk sebagai bahan baku industri, dan pembiayaan maupun hutang dalam mata uang asing, baik yang dilakukan industri maupun pemerintah. Bayangkan berapa uang negara yang tergerus karena bayar hutang, disamping impor BBM subsidi dengan rupiah yang melemah seperti ini. Hutang luar negeri, baik oleh pemerintah maupun industri, juga bisa melonjak jika rupiah terus melemah.
Sedangkan China, menggunakan fix rate agar kurs Yuan-nya tetap lemah, atau 'undervalued'. Tujuannya agar ekspornya bisa sangat tinggi dengan harga yang kompetitif. Selain itu, agar China juga bisa terbebas dari spekulan mata uang, selain dari gejolak mata uang akibat ekonomi global. Tetapi karena tekanan dari mitra dagangnya, akhirnya kurs ini dinaikkan sedikit demi sedikit. Jadi menggunakan sistem 'managed float'. Tetapi itupun masih dibawah nilai Yuan yang sesungguhnya, jika menggunakan sistem mengambang.
China bisa melakukan ini karena sistem produksinya sudah sangat kuat, dari hulu hingga ke hilir. Kemampuan produksinya juga sangat tinggi. Setiap orang tidak ada yang menganggur, anteng-anteng sambil melamun. Dan jika ingin memberikan bantuan, sifatnya juga bukan sekedar charity, tetapi ditanya,'Kamu bisa apa?"
Selain itu, perbankan China juga sangat kuat. Sehingga tidak ada dalil yang menyatakan sebuah perusahaan 'sehat' bisa kolaps hanya karena hutang luar negri. Begitu juga dengan semacam BI nya, bisa melakukan kontrol terhadap Yuan, dengan membeli Dollar dalam jumlah besar. Ini karena dukungan besarnya cadangan devisa China.
Berkaca dari itu, diharapkan Indonesia juga bisa memperkuat diri dari sisi:
1. Pembiayaan. Tentu dengan meningkatkan budaya menabung, sehingga perbankan memiliki uang yang cukup untuk pembiayaan. Di Indonesia, budaya masyarakat menabung itu masih sangat rendah. Pemerintah harus menggalakkan agar semua masyarakat hingga pelosok mempunyai budaya untuk menabung. Ini untuk memperbesar peluang perbankan dalam pembiayaan bagi industri dalam negeri, maupun UMKM. Kalau perlu pembiayaan yang membutuhkan investasi tinggi, perbankan bisa membuat konsorsium.
2. Memetakan bahan baku yang dibutuhkan industri. Bahan baku yang paling banyak dibutuhkan industri dan paling penting, seharusnya sudah ada produksinya disini. Lah misalnya garam untuk industri aja masih impor. Sementara pantai di Indonesia tidak kurang-kurang luasnya.
3. Meningkatkan kemampuan produksi, didukung oleh lab, peralatan & pembiayaan. Kebetulan tadi saya baru mengikuti rapat RSNI di kementrian perindustrian. Miris deh melihat industri cat Indonesia tidak mampu bersaing dengan impor untuk menjadi pemasok cat untuk kapal dalam negeri hanya karena labnya belum terakreditasi secara internasional. Jadi gitu, bahkan untuk kapal dalam negeri, bisa-bisa pemasok catnya adalah cat impor. Tetapi ini mau segera diberesin oleh Kemenperin bekerjasama dengan Kemenhub dan Kementrian Kelautan & Perikanan (KKP). Semoga bisa deh, jalan keluarnya ada, sehingga pasokan cat tersebut juga dari industri dalam negeri.