[caption id="attachment_396076" align="aligncenter" width="624" caption="Sejumlah kendaraan mencoba melintasi genangan air di kawasan bundaran air mancur samping Patung Arjuna Wiwaha atau yang terkenal dengan sebutan Patung Kuda, Jakarta, Senin (9/2/2015). (KOMPAS/LASTI KURNIA)"][/caption]
Siang ini, Jakarta akhirnya diterangi sang mentari. Walau malu-malu menampakkan diri, tetapi jeda dari hujan tanpa henti sejak hari Minggu kemarin benar-benar berkah tersendiri. Jadi ketika menyusuri jalanan depan Monas, Bundaran HI hingga Sudirman, tampaknya banjir yang sebelumnya menggenangi, sudah langsung surut dan mengering.
Tetapi dampak dari hujan yang tak berhenti itu, pagi ini acara yang kami buat sepi partisipan. Ibu-ibu PKK yang diundang tidak datang dengan alasan rumahnya kebanjiran. Peserta lain stuck di jalan. Alhasil aku kerja rangkap membuka acara, jadi moderator sekalian sebagai peserta yang nanya-nanya, wkkk.
Banjir di Jakarta memang menyusahkan. Tetapi yang bikin hati saya terenyuh hari ini adalah ketika Ahok meminta maaf soal banjir di Jakarta. Saya lihat beritanya di Kompas.com itu jam 10 pagi. Ndilalahnya, setelah jam 10-an itu hujan berhenti hingga sekarang saya nulis di Kompasiana ini. Udaranya adem, nyaman, kek di Puncak...:D
Jarang loh, seorang pemimpin mau meminta maaf kepada warganya. Sikap yang rendah hati dan memerlukan kebesaran jiwa tersendiri. Biasanya kan pemimpin suka menepuk dada, suka ngeles, dan paling pinter nuduh orang lain salah.
Soal banjir di Jakarta, memang diakui sulit sekali diatasi. Tetapi kita tetap harus optimis, apalagi dengan APBD DKI yang besarnya Rp 70 triliun itu. Yang penting kan upayanya. Masa sih secara teknis tidak bisa diatasi? Jika masalah waduk, sodetan, mesti sudah sering sekali dibahas. Dan sebagai warga yang baik, saya juga mendukung program mengatasi banjir ini dengan tidak buang sampah sembarangan dan rajin negur yang buang sampah sembarangan, walo suka dicuekin, hehee.
Dan juga sekalian mau sekedar saran di sini, semoga bisa diatasi segera:
1. Air pada dasarnya kudu 'dihormati' dengan memberikan tempat serta 'jalan' untuk mengalir. Dan saluran air yang ada di Jakarta sudah tidak memadai lagi (terlalu kecil) sebagai tempat air mengalir. Jelas sudah ada peta di mana air mesti ngumpul, dan jalan air itu yang harus dibuat.
2. Titik-titik banjir di Jakarta selalu sama setiap tahun. Tidak mungkin yang diharapkan air itu dilimpaskan ke tempat lain. Jadi, waduk kecil, atau danau kek atau empang kek, harus dibuat setempat di lokasi yang selalu banjir. Biasanya tidak bisa diatasi dengan sodetan ditempat tinggi. Karena banjir itu berasal dari debit hujan setempat/area sekitarnya; terjadi limpasan, karena aspal tidak bisa menyerap air.
3. Sumur resapan dibuat sebanyak mungkin di area gedung-gedung, halaman rumah warga. Sekali lagi, prinsipnya air harus diberi tempat, bukan ditahan di sini, dilimpaskan ke sana.
4. Banyak trotoar yang sudah disemen warga sebagai tempat usaha atau parkir, sehingga 'lubang' untuk jalan air juga tersumbat. Saya lihat ini di mampang, di mana air tergenang karena trotoarnya banyak yang sudah disemen. Ketika saya sepedahan di area sini (Tegal Parang-Mampang), sempat bilangin ke warga yang lagi nyemenin trotoar ini, kenapa jalan airnya juga ditutup? Eh, dia langsung mendelik, aku langsung keder.