Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jokowi vs SBY soal IMF; Hanya Beda Sudut Pandang?

28 April 2015   20:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:14 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan Jokowi maupun bantahan SBY terkait hutang IMF ke Indonesia. Hutang itu memang sudah dibayar tahun 2006 lunas oleh pemerintah Indonesia dimasa pemerintahan SBY. Dan itu tentu sangat kita hargai, bahwa di masa pemerintahan pak SBY, Indonesia bisa lepas dari jeratan hutang IMF.

Tetapi di tahun 2009, catatan hutang itu bisa muncul lagi di laporan BI mengenai Utang Luar Negeri. Mengapa? Karena Indonesia sebagai negara anggota IMF (membayar iuran), maka IMF tetap memasukkan dananya ke Indonesia sebagai bagian dari dana cadangan yang bisa  saja dipakai.  Atau istilahnya SDR (Spesial Drawing Rights), yang diberikan kepada semua anggota IMFyang membayar iuran.  Dan sejak tahun 2009, dana itu memang dimasukkan ke pos kewajiban (hutang?) kepada IMF.

Lah, kalau gini berarti kan seperti 'pemaksaan' ada hutang yang dikondisikan oleh IMF? Karena memang ditempatkan ke semua negara anggota IMF?

Yang menjadi pertanyaan saya (belum dijelaskan oleh BI diatas) adalah:

1. Berapa iuran yang dibayar Indonesia kepada IMF?

2. Apakah penempatan itu juga dikenakan bunga, kondisi kurs, harga minyak dan seterusnya? Jika penempatan itu tidak dikenakan bunga, tentu saja gak masalah toh ditaruh gitu aja. Yang ngeri kan dananya gak dipakai, tetapi argo bunganya jalan terus?

3. Sekalian,  kalau Indonesia ingin lepas dari IMF, bisa gak lepas keanggotaan dari IMF. Biar gak bayar iuran ataupun bunga pinjaman yang membebani negara. Mosok negara berkembang 'menghidupi' IMF termasuk gaji direkturnya yang selangit itu?  Lagian kalau ekonomi kita sehat, ngapain tetap memakai dana yang bisa disebut 'kewajiban' kepada IMF'?

Menurut saya,  ketika Jokowi menyebutkan didalam pidatonya soal Bank Dunia ataupun IMF mestilah bukan tanpa sebab. Saya pernah membaca tentang 'bantuan yang mematikan', kiprah bank-bank tersebut di negara miskin - berkembang.

Hutang (yang sering diperhalus disebut 'bantuan') semakin memperparah kondisi di negara-negara tersebut, menyuburkan praktik korupsi, dan hanya 'numpang lewat' di rekening negara bersangkutan, tetapi mulai dari konsultan hingga barang dari mereka semua. Balik lagi ke negara-negara maju tertentu. Lembaga Keuangan Dunia tersebut sangat memonopoli, dan kritik Jokowi diperlukan untuk mereformasi tubuh lembaga keuangan tersebut agar lebih transparan, akuntabel, lebih adil dan memang bisa menstimulus kemajuan negara-negara miskin-berkembang.

Dan yang lebih penting, harus ada alternatif lembaga keuangan lainnya, sehingga ada kompetisi dalam memberikan pinjaman, baik dari segi bunga, waktu pembayaran dan mekanisme pemanfaatan dana tersebut di dalam negara-negara msikin - berkembang. Kan enak, kalau semua negara bisa maju bersama,  saling membantu dalam tatanan yang lebih adil.

Ya sudah, gitu aja.  Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun