Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jokowi Jangan Mengikuti Paradoks SBY dalam Menaikkan BBM

19 November 2014   18:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BBM Naik (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Alasan kenaikan BBM yang dikemukakan Jokowi juga sudah dikemukakan juga di masa kenaikan harga BBM era SBY (KOMPAS.com)"][/caption] Dalam setiap kenaikan BBM, sejak zaman SBY, alasan yang sama akan selalu diulang. Bahwa subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh orang kaya, kemudian alasan pemborosan energi, hingga cadangan minyak yang tinggal 12 tahun lagi. Selain itu, selalu alasan klasik juga muncul, mending ada pengalihan subsidi untuk membangun kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Jadi, alasan pengalihan subsidi ini bukan ada sejak zaman Jokowi, tetapi sudah ada sejak SBY menaikkan harga BBM. Tetapi apa langkah-langkah SBY dalam mengatasi masalah 'klasik'  tersebut? Adakah roadmap yang terstruktur, sistematis dan massif dalam mengendalikan konsumsi BBM atau mengalihkannya ke cadangan energi terbesar Indonesia, yaitu gas? Adakah langkah penghematan energi yang bisa dilakukan? Beberapa hal yang paradoks antara kampanye kenaikan harga BBM dengan kebijakan pemerintah era SBY adalah: 1. Pemerintah menyadarkan rakyat bahwa BBM Indonesia terbatas, tetapi tidak ada langkah kebijakan yang nyata untuk konversi energi ke gas. Cadangan minyak Indonesia tinggal 12 tahun lagi. Ini berbeda dengan Iran. Sebelum kenaikan harga BBM, pemerintah Iran secara konkrit membangun infrastruktur penyediaan gas selama 2 tahun, penyediaan kit converter gas, penyediaan SPBG, sehingga ketika kenaikan harga BBM, rakyat memiliki alternatif bahan bakar yang lebih murah (gas). Gas juga lebih ramah lingkungan. Cadangan gas Indonesia sangat besar, termasuk no.11 terbesar di dunia setelah Rusia, Iran, Qatar, Arab saudi, UAE, AS, Nigeria, Aljazair, Venezuela, Irak. 2. Pemerintah tahu, yang menyedot BBM subsidi adalah mobil pribadi. Tetapi mobil pribadi malah diberikan insentif tanpa pajak, penjualan secara kredit yang cepat, sehingga penjualan mobil pribadi di Jakarta saja mencapai lebih 1 juta unit tahun ini. Penambahan mobil & motor pribadi ini apakah sesuai dengan supplai BBM yang katanya terbatas? 3. Pemerintah tahu, salah satu cara untuk mengendalikan konsumsi BBM adalah memakai transportasi publik, menyediakan pedestrian, jalur sepeda. Bahkan kalau perlu, halte busway dilengkapi dengan parkir sepeda. Tetapi selama 10 tahun pemerintahan SBY, transportasi publik semacam apa yang telah dibangun? Nothing! Jadi kalau pemerintah menaikkan harga BBM, apa alternatif transportasi bagi rakyat? Yang ada sekarang sama sekali tidak memadai (hanya mengangkut ratusan ribu perjalanan, sementara mobilitas di Jakarta mencapai jutaan), tidak terintegrasi. 4. Katanya BBM terbatas, listrik terbatas. Tetapi upaya penghematan energi seperti apa yang diterapkan? Hemat energi di berbagai level, termasuk hemat listrik. Pernah datang di kantor kementrian? Ketika masa SBY, walau kita negara tropis, tetapi AC nya sangat dingin. Saya sampe meriang kalau pulang rapat. Atau sengaja biar gak bisa mikir? hehee. Lampu juga dinyalakan dimana-mana, walaupun mentari bersinar terik di luaran. Nah hitung ada berapa kantor pemerintahan, dan berapa pemborosan energi yang terjadi 5. Kalau BBM terbatas, mengapa terlalu bergantung pada BBM? Bahkan untuk energi primer pembangkit listrik! Padahal panas bumi Indonesia terbesar di dunia, belum dioptimalkan sebagai energi primer. Diversifikasi energi yang tebaharukan juga tidak dengan serius digarap. Kesadaran keterbatasan sumber energi yang tidak terbaharukan, tentu seharusnya membuat Indonesia bergegas menggarap energi yang terbaharukan. Mentari, air terjun, angin, bahkan hingga minyak jelantah (di jerman jadi bahan bakar), merupakan alternatif yang seharusnya dikampanyekan oleh pemerintah. Termasuk menyediakan fasilitas pendukungnya. Yang jelas, roadmap Kebijakan Energi Indonesia, berikut langkah-langkah realistisnya, bukan sekedar harus ada, tetapi dilaksanakan di lapangan. Kalau dibilang soal kenaikan BBM, jangan hanya tuntut rakyat untuk menerima, tetapi terus pemerintah emang sudah atau mau (kan Jokowi baru 1 bulan) berbuat apa saja mengantisipasi terbatasnya BBM kita? Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun