Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jokowi, Ganjar dan Lirihnya Suara Petani Kendeng

16 Maret 2017   09:02 Diperbarui: 16 Maret 2017   09:12 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah hari ketiga petani Kendeng melakukan aksi di depan istana negara dengan menyemen kakinya. Aduh saya merinding, gak tega. Mereka menagih janji Jokowi atas pertemuan di bulan Agustus 2016, dimana ketika itu Jokowi mengatakan akan melakukan Kajian Liingkungan Hidup Strategis (KLHS) selama setahun, terhadap berdirinya pabrik semen di Rembang. Tetapi ternyata belum setahun, tiba-tiba Ganjar membuat ijin kembali aktivitas pabrik semen. 

Keputusan Ganjar tersebut dinilai cacat hukum, karena putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung sudah melarang penambangan dan pengeboran di atas Cekungan Air Tangkapan (CAT). Keputusan PK MA ini meneguhkan kembali putusan MA yang mengabulkan tuntutan petani Kendeng terhadap ijin lingkungan PT. Semen Indonesia dan memerintahkan pencabutan ijin yang telah dikeluarkan karena cacat substantif dan cacat prosedural. Ganjar memang mencabut ijin, tetapi tanggal 23 Februari 2017 lalu, kembali mengeluarkan ijin lingkungan terhadap PT. Semen Indonesia. Protes petani di Jakarta ini adalah respon terhadap ijin yang dikeluarkan Ganjar.

Apa pentingnya gunung Kendeng bagi kehidupan warga? Atau gunung ini lebih penting untuk didirikan pabrik semen, dimana penyerapan tenaga kerjanya juga gak seberapa? Atau untuk memenuhi kebutuhan semen nasional? Padahal produksi semen Indonesia sudah melebihi kebutuhan nasional. Kebutuhan semen nasional 60 juta ton, sementara produksinya sekarang ini saja sudah 90 juta ton!

Sementara bagi warga, betapa berartinya gunung Kendeng bagi sumber kehidupan warga. Gunung Kendeng meliputi area Pati dan Rembang . Sebagai sumber air bersih, udara bersih dan lingkungan yang menopang kehidupan petani. Sumber air yang bersih ini digunakan warga untuk air minum, mandi, mencuci dan irigasi persawahan. Tetapi gunung karst ini juga diincar oleh korporasi untuk dijadikan pabrik semen. Perjuangan warga menolak pabrik semen ini sungguh luar biasa, sejak tahun 2006. Tuntutan ke PTUN dan MA sudah dimenangkan, bahkan pada tahun 2009 kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. 

Kemudian tahun 2010, kembali PT. Semen Indonesia melakukan berbagai cara agar pabrik bisa berdiri disini. Penolakan sudah tegas dan jelas dilakukan, tetapi upaya korporasi juga luar biasa. Hanya, jangan remehkan juga perjuangan petani untuk menolak. Ternyata kelompok petani yang gigih berjuang ini petani Samin yang sejak jaman Belanda melakukan perlawanan terhadap pajak yang dikenakan Belanda. Dulu Belanda, sekarang bangsa sendiri. Duhh....

Sesungguhnyalah, konflik yang paling mengenaskan adalah konflik mengenai 'keadilan sosial'. Konflik perebutan lahan, dimana pada tahun 2016 lalu berdasarkan data KPA meningkat 2 kali lipat daripada tahun 2015. Dan parahnya kali ini, banyak konflik diikuti oleh kekerasan, sehingga beberapa wafat, ratusan luka dan ratusan lainnya dipenjara. Bukan hanya petani, nelayan di kepulauan Seribu juga kini mengalami nasib yang sama. Di pulau Pari, 5 nelayan ditangkap karena tiba-tiba ada perusahaan mengklaim area mereka. 

Dan perjuangan mereka, perjuangan di jalan sunyi. Bahkan ketika petani longmarch dari Rembang ke Semarang (150 k), jarang media yang meliput untuk turut menyuarakan perjuangan mereka. Begitu juga longmarch petani dari Jambi ke Jakarta. Kali ini juga ketika petani Kendeng menyemen kakinya, hanya bisikan lirih untuk mereka, tanpa suara 'ayo mari berjuang bersama rakyat Kendeng!

Semoga Jokowi bersedia bertemu dengan para petani ini, dan sebagai pemimpin tertinggi negara ini, bisa membatalkan keputusan yang dibuat oleh Ganjar, karena menurut ICEL, merupakan 'penyelundupan hukum'.

Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun