Baru saja buka TV dan lihat pidato bu Mega diacara pembukaan Rakernas (Rapat Kerja Nasional) PDI-Perjuangan. Kebetulan gak dengerin semuanya, cuplikannya doank, hehee. Tetapi pas banget yang saya dengerin itu berkaitan dengan BUMN. Kritik Mega terhadap BUMN. Bagaimana BUMN tidak mencerminkan ekonomi kerakyatan. Padahal namanya saja BUMN, Badan Usaha Milik Negara. Negara (Megawati mengulangi negara 2 kali). Super sekali, kalo yang ini saya salaman dulu deh ma Bu Mega, maksute setuju sekali.
Tentu saja saya tidak mengaitkan ini dengan rumor ketidak-cocokan Mega dengan Rini S, Menetri BUMN loh. Sehingga naga-naganya PDIP pengen banget 'mendepak' Rini S dan minta jatah Menteri BUMN? Enggak, enggak ada kaitannya. Saya emang prihatin banget (seperti SBY, hihii) dengan sepak terjang BUMN, yang rasanya kok makin kapitalis?
Misalnya terkait dengan tarif PLN dan harga BBM yang megikuti harga pasar. Belum lagi tarif kereta api jarak jauh yang juga sudah dilepas murni ke pasar. Padahal transportasi massal loh. PSO (Public Service Obligation) yang seharusnya terdapat di APBN sudah dihapus, sehingga untuk menghidupi biaya operasional dan terdapat pula target keuntungannya, itu dibebankan kepada konsumen alias rakyat.Â
Tentu saja tidak semua golongan masyarakat yang harus disubsidi. Tetapi bahkan subsidi kepada kelas bawah, menengah-bawah pun mesti akan balik ke pemerintah dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, karena subsidi kepada sektor yang merupakan 'penopang' daya beli masyarakat akan mengakselerasi konsumsi ke arah barang produksi lainnya. Ada penopang ekonomi yang penting sekalibagi rakyat, misalnya listrik, transportasi yang murah dan harga BBM yang terjangkau dan barangnya tersedia selalu. Jika ini mahal atau langka, maka efek gandanya terhadap kepentingan ekonomi rakyat akan tinggi sekali. Biaya Listrik merupakan komponen terbesar ketiga dalam biaya produksi. Dan kalau byar pet, emang PLN mau gantirugi kerugian produksi?
Begitu juga dengan BBM. Ngeri, ketika harga jual premium dan solar menurut saya masih jauh lebih tinggi dari harga internasional, walaupun sekarang harganya sudah turun. Bisa lebih turun lagi deh. Belum lagi dengan kualitas premium yang RON 88 itu, emang pantes harga segitu? Apakah pemerintah mengira rakyat tidak melihat, bahwa ketika harga BBM Indonesia belum turun sepanjang tahun 2015, harga minyak dunia makin anjlok? Berapa kutipan keuntungannya sepanjang tahun 2015? Dana Ketahanan Energi ambil saja dari selisih di tahun 2015 itu, daripada dipakai untuk iklan Pertamina setiap hari di TV (sehari entah berapa kali tuh). Sekali iklan kan biayanya bisa milyaran rupiah.
Begitu juga kejadian kelangkaan BBM baru-baru lalu di banyak daerah, ketika harga BBM turun. Kalau kemacetan ada Dirjen yang mundur, harusnya masalah kelangkaan BBM itu juga ada pejabat yang mundur. Karena vitalnya ketersediaan BBM bagi hidup rakyat.
BUMN sahamnya dimiliki oleh rakyat Indonesia. Emang komisaris yang namanya tercantum kontribusi saham membesarkan BUMN? Tidak. Tetapi tentu kita juga menginginkan pengelola BUMN adalah orang yang profesional, amanah, dan itu sudah ada kompensasi yang besar juga dalam struktur gajinya.
Semoga BUMN juga menjadi pilar penopang ekonomi kerakyatan, salah satu nawacita Jokowi yang belum keluar geregetnya. Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Â
Â
Â