[caption id="attachment_385331" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi SNI (Foto: Kompas Health)"][/caption]
Beberapa kali ikut rapat penyusunan SNI atau Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk beberapa produk, seringkali saya berdebat mengenai indikator mutu produk. Memang, harapannya tentu jika berproduk sudah memenuhi SNI, produk tersebut berkualitas baik. Logo SNI bukan sia-sia, menunjukkan bahwa produk tersebut terjamin mutunya.
Tetapi yang terjadi setiap kali rapat, jika parameter mutu dibuat bagus, selalu saja alasan kementerian perindustrian adalah apakah pelaku usaha sanggup memenuhinya? Tentu saja ini alasan yang sangat baik. Tetapi pertanyaan itu tidak akan terjawab jika kementerian perindustrian sendiri tidak memiliki peta kualitas produk di pasar yang hendak dibuatkan SNI-nya.
Seperti ketika membahas cat untuk mainan anak. Dari hasil uji yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), produk mainan anak lokal justru sangat baik kualitasnya, dengan indikator Pb (timbal) yang rendah. Sementara produk impor (terutama buatan Tiongkok), kualitasnya sangat rendah, dengan kadar Pb yang tinggi.
Jadi sangat tidak aman sebagai mainan anak, karena bisa terjadi migrasi kandungan timbal kepada anak-anak yang terpapar lama oleh mainan tersebut. Pb sendiri bisa mengakibatkan penurunan kecerdasan, dan jika terus menerus terakumulasi dalam jangka lama bisa mengakibatkan penyakit kanker atau kerusakan organ tubuh.
Yang menarik, ketika diusulkan agar sebelum membuat SNI dilakukan uji produk di pasar, ternyata hasilnya juga sangat bagus. Cat produksi lokal yang diambil sampelnya, ketika diuji kadar merkuri, cadmium, dan logam berat lainnya sudah tidak terdeteksi. Sementara 60% dari yang diuji juga sudah tidak terdeteksi kadar Pbnya. Jadi sebenarnya, jika hendak membuat SNI dengan parameter logam berat yang ketat, sudah tidak jadi masalah. Tetapi sekali lagi alasannya, nanti ada pengusaha yang tidak bisa memenuhinya. Pengusaha yang mana? Datanya mana?
Begitu juga dengan standar sabun dan deterjen. Saya jadi heran ketika parameternya hendak dibuat rendah, bahkan ada indikasi lebih rendah dari parameter SNI sebelumnya (yang saya ikuti penyusunan SNI revisi). Padahal dari uji sampel di pasar yang dilakukan, jelas produk yang diambil sudah sangat baik kualitasnya. Sekali lagi siapa yang hendak dibela?
Jika SNI terlalu rendah standar kualitasnya, maka:
1. Konsumen tidak akan puas, karena berarti logo SNI tidak menjamin bagusnya kualitas sebuah produk
2. Produk impor akan gampang sekali masuk, karena standar tersebut lebih rendah dari standar negara-negara ASEAN. Impor yang masuk bukan hanya ber-standar rendah, tetapi juga dengan harga yang murah meriah. Bukankah ini ancaman nyata bagi produk lokal?
3. Produk Indonesia tidak bisa masuk ke negara lain (sulit ekspor). Karena walaupun telah ber-SNI, ternyata negara lain menerapkan standar yang lebih tinggi.