Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Iklan Gita Wiryawan vs Kebijakan yang Tidak Pro-produk dalam Negeri?

25 September 2013   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:24 1704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_290805" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Heru Sri Kumoro)"][/caption] Tadi sepulang dari bandara, melihat hampir semua Damri yang lewat ada iklan Gita kampanye produk dalam negeri. Iklan ini dibiayai APBN-kah? Kalau iya, sekali lagi berapa anggaran untuk iklan ini, yang nyata-nyatanya lebih menonjolkan sosok seorang Gita Wiryawan daripada produk yang hendak dikampanyekan? Bukan hanya iklan di Damri, tetapi ketika perjalanan pulang, di beberapa tempat strategis juga terpampang billboard dengan tampang Gita yang dominan untuk kampanye sejenis. Sekali lagi, kalau niatnya memang untuk pencitraan diri, di mana nuraninya jika memakai dana rakyat alias APBN? [caption id="attachment_290804" align="aligncenter" width="384" caption="Iklan Gita di se-antero Damri. Foto by Ilyani"]

1380111900187652332
1380111900187652332
[/caption] Selain masalah itu, yang kontraproduktif dengan iklan itu adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Gita sendiri. Beberapa kebijakannya malah memukul produk dalam negeri, terutama untuk produk pertanian dan peternakan, di antaranya adalah: Permendag no.16 tahun 2013, yang mempermudah aliran impor dengan satu pintu  untuk semua jenis hortikultura, mengurangi pos tarif dan kuota. Permendag ini untuk menjawab gugatan AS di WTO mengenai pembatasan impor produk hortikultura. Yang mengherankan, mengapa Gita tidak mau 'berjuang' di WTO untuk melindungi produk dalam negeri? Sekarang ini, perselisihan perdagangan memang kerap sekali di WTO. Banyak negara yang digugat karena kasus yang sama, tetapi tetap bisa mempertahankan kebijakan dalam negerinya karena WTO sendiri memang 'memberi celah' suatu negara melindungi kepentingan rakyat dalam negerinya, dalam hal yang menyangkut keamanan pangan, makhluk hidup, dan pencemaran lingkungan.

[caption id="attachment_290773" align="aligncenter" width="333" caption="Defisit Neraca Perdagangan, sejak thn 2012, sblmnya Surplus Terus. Foto by Ilyani, sumber: Kompas TV"]

13800975691926155455
13800975691926155455
[/caption] Indonesia sendiri beberapa kali produknya ditolak di luar negeri. Dan itu alasannya memang menyangkut keamanan produk. Tetapi bisa-bisanya produk impor masuk ke dalam negeri bagaikan air bah, tanpa ada pemeriksaan keamanananya. Selain itu, kebijakan lainnya, tentu adalah impor daging beku ketika Ramadhan kemarin. Impor daging beku sama sekali tidak ada nilai tambahnya bagi ekonomi dalam negeri. Beda jika impor sapi potong, sapi bakalan, atau bibit, atau jika sekalian mengembangkan sapi lokal. Tetapi itu juga dilakukan Gita W dalam kebijakan yang kata seorang dirjen, sebagai Kebijakan SKS (Sistem Kebut Semalam). Karena hanya dengan rapat beberapa hari, diputuskan impor melalui Permendag no.22/2013. Keputusan ini juga dengan menunjuk Bulog untuk deal impor 3.000 ton daging beku. Yang menjadi pertanyaan, seorang Menteri Perdagangan seperti Gita tidak mengetahui bahwa yang namanya pasar tradisional itu tidak memiliki rantai dingin? Itulah, jarang blusukan ke pasar tradisional sih....:D Akibat kebijakan itu, daging yang terserap hanya 900 ton, sementara 2.100 ton lain membusuk. Kerugian akibat kebijakan ini bisa sampai ratusan miliar rupiah? Nah, kebijakan yang tidak pro-produk dalam negeri lainnya adalah kebijakan pajak 1% dari omzet kepada UKM. Omzet loh, bukan profit! Bayangkan, kalau jualan belum tentu untung, tetapi sudah dikejar-kejar pajak. Dan kebijakan ini semakin menambah beban ekonomi bagi produk lokal. Belum lagi kenaikan BBM, kenaikan UMP, sementara insentifnya tidak ada. Gita Wiryawan yang menjabat Menteri Perdagangan sejak Oktober 2011 (resuffle kabinet), malah membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk? Hal ini juga bisa dilihat dari neraca perdagangan tahun 2012 yang defisit, setelah sebelumnya selama 10 tahun surplus, baru setelah dipegang Gita W menjadi negatif. Defisit neraca perdagangan ini semakin tinggi sepanjang tahun 2013 hingga bulan Agustus lalu. Jadi, iklan itu bertujuan untuk apa? Jika keberadaan produk lokal semakin tergerus dengan kebijakan yang tidak pro terhadap kemampuan & kualitas produksi mereka? Ya sudah, Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun